Saat Anakku Bilang “Aku Nggak Mau Jadi Orang Islam”

“Ayah, gue nggak mau jadi orang Islam.” Rasanya bagai
disambar geledek ketika gue mendengar kalimat itu keluar dr ekspresi anakku. Tapi aku
menahan diri untuk tak berkomentar dulu. Aku tidak ingin menanggapinya dengan
emosi.

“Ayah sedang nyetir, Sayang. Nanti saja ya kita bicara
lagi,” istriku berusaha mengambil alih. Agar ada jeda. Kami memang sudah punya
komitmen, jika kami belum siap memberikan tanggapan atau tanggapan atas
pertanyaan anak-anak, lebih kami kami tak berkomentar dulu. Sampai kami siap
dengan jawabannya.

“Nanti malam ya, Sayang,” pintaku.

“Nggak mau. Jam 4 sore saja.”

“Kalau jam 4 sore, mungkin kita baru nyampai rumah. Malam
saja ya Sayang,” istriku menerangkan.

“Ya udah, nanti malam.”

Sesampainya di rumah, anakku minta waktunya dimajukan. “Aku
maunya habis Maghrib. Kita kan tibanya lebih permulaan.”

Segera gue & istri masuk kamar. Kami mendiskusikan tanggapan
apa yg terbaik. Semua kemungkinan pertanyaan kami siapkan jawabannya. Jika nanti
terkait tauhid, bagaimana jawabannya. Meskipun semenjak kecil kami telah
membiasakan pendidikan tauhid, bisa saja muncul pertanyaan itu. Mungkin sebab ia
pernah mendengar sesuatu dr sahabat, membaca dr buku atau tontonan yang
kurang bijak.

Jika nanti ia ‘protes’ terkait shalat, puasa atau ibadah
yang lain, kami pula merencanakan jawabannya. Bahkan bagaimana argumentasinya untuk
anak seusia beliau. Pun jika nanti ia ‘protes’ terkait pedoman Islam yg lain,
kami berusaha memprediksi semua pertanyaan & menyiapkan jawabannya.

Ba’da Maghrib, sepulang dr masjid, gue & istri menemuinya. Bismillah, kami siap.

Baca juga: Ayat Kursi

“Nak, silakan kini kita bicara. Kita teruskan ngobrol
di kendaraan beroda empat tadi.”

  Keluarga Tanpa TV

“Aku nggak mau jadi orang Islam.” Kalimat yg sama. Persis.
Masih agak terkejut , tetapi gue berupaya lebih damai. Toh kami sudah mempersiapkan
penjelasannya kalau ada pemikiran Islam yg ia persoalkan.

“Mengapa ananda nggak mau jadi orang Islam?” Kami nggak mau
menghakimi, bahkan menyimpulkan, sebelum tahu alasannya.

“Soalnya gue nggak boleh makan Kinder Joy.” Kinder
Joy
? Ya Allah… kami sudah menyiapkan demikian banyak jawaban untuk sekian
banyak kemungkinan, ternyata alasannya cuma Kinder Joy. Mungkin ini
alasannya persyaratan orang dewasa terlalu serius, sementara anak-anak punya
standarnya sendiri.

“Kenapa dgn Kinder Joy?”

“Kan Kinder Joy nggak ada label halalnya.
Sedangkan orang Islam nggak boleh makan yg nggak halal,” jawabnya polos.

Ya Allah… ternyata sesederhana itu. Jawaban itu juga
menciptakan gue bersyukur, selama ini value dlm keluarga kami demikian menancap
di hati. Kami memang mengajarkan, kalau beli makanan kemasan, harus diperiksa
ada label halal atau tidak. Sebab selaku pemeluk Islam, mesti memastikan
kuliner yg dimakannya halal. Sementara Kinder Joy waktu itu belum ada
label halalnya.

Kini kami berpikir, bagaimana menanggulangi masalah sederhana
ini.

“Adik mau Kinder Joy, suka mainannya atau mau
makan coklatnya?” tanya istriku.

“Aku kepingin mainannya. Tapi kalau coklatnya boleh
dimakan, gue pula mau.”

“Baiklah. Kalau begitu, nanti Ayah belikan mainan seperti
Kinder Joy.”

“Memang ada, Ayah?”

“Ada. Di pasar Kapasan.”

Besoknya, saat mendapat KinderJoyKinderJoy-an
itu, ia menunjukkan pada teman-temannya. “Nih, gue pula punya. Harganya jauh
lebih hemat biaya.”

Beberapa pekan kemudian, sepulang sekolah, parasnya
tampak sumringah.

“Ayaahh… ada kabar bangga!”

“Kabar gembira apa?”

  Mengapa Kita Membela Palestina?

“Sekarang Kinder Joy sudah ada label halalnya.”
Aduh. Ini masalah baru. Bukan soal lain, namun soal harganya.

***

Kisah ini diubahsuaikan dr kisah kasatmata yg dialami Ayah Adri Suyanto, motivator yg dikenal dgn pelatihan Ngguyu Oleh Ilmu.

Tidak sedikit orang renta yg kadang lupa, bahwa anak memiliki standarnya sendiri. Yang perlu dijalankan orang bau tanah bukan mematikan daya kritis anak, tetapi bagaimana mendampinginya & mengarahkan pada jalur yg benar.

Biasakan anak mendapatkan tanggapan logis & latih mereka untuk beropini. Jangan menghakimi, namun tanyakan kenapa tatkala anak bersikap atau berkata yg tak sesuai impian kita. Insya Allah, anak akan berkembang menjadi anak yg taat. Yang senantiasa mentaati Allah kemudian mentaati aturan yg telah disepakati bareng . [Wargamasyarakat]