Stasiun televisi khusus gosip itu secara tiba-tiba sensi di dunia maya. Sejak kasus para jurnalisnya di lapangan tak diharapkan kehadirannya yg berujung pada ‘pelampiasan emosi’.
Tak lama kemudian di dunia maya, timbul tanda pagar #BoikotMetroTV. Tak lebih dr empat jam langsung memasuki posisi Trending Topic Indonesia. Apalagi kalau bukan karena ketidakproporsionalan televisi Surya Paloh itu dlm mengemas suatu berita. Kerap menyudutkan Islam.
“Dalam pergeseran kepemimpinan redaksi, tak pernah pemimpinnya seorang muslim,” kata seorang jurnalis senior.
Ini hanya satu acuan, kita selama ini seakan dipaksa dgn semua sajian pahit ala Metro. Pahit bukan obat, tetapi penyakit.
Telah lahir generasi baru teroris. Mereka ialah siswa Sekolah Menengah Pertama & SMA dr sekolah-sekolah umum. Mereka mengikuti acara ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Mereka dijejali dgn kepercayaan bahwa penguasa adalah thagut/kafir/lawan.
Begitulah MetroTV memberitakannya dlm Breaking News, Rabu 5 September bertahun-tahun lalu, berdasarkan penelitian seorang profesor bernama Bambang Pranowo. Secara mudah, dgn membaca ciri-ciri generasi baru teroris yg dimaksud, telunjuk tangan siapapun akan mengarah pada Rohis (rohani Islam).
Berita ini mengingatkan saya pada insiden penangkapan Noordin M.Top (NMT) di Temanggung Jawa Tengah. Tatkala itu, seorang wartawan dgn yakinnya mengabarkan bahwa itu ialah NMT. Saat itu pula seluruh stasiun tv berlomba-kontes menyajikan tayangan seputar perburuan ini. Masyarakat seolah dipaksa untuk menerima informasi mentah-mentah bahwa NMT sudah tewas.
Prinsip check & recheck diabaikan. Mereka pula mengabaikan salah satu kredo terpenting dlm pemuatan gosip; Show it, don’t tell. (hal.72)
Media dgn semangat mencitrakan bahwa SBY & Jokowi adalah sosok yg bisa menjinjing perubahan. Pencitraan ini belum tentu benar tetapi sebab setiap hari media massa memborbardir publik dgn gosip positif SBY & Jokowi, maka penduduk risikonya terpengaruh opininya. Tahun 2004, media menimbulkan SBY sebagai mitos & berhasil. Tahun 2014 mitos itu diarahkan pada Jokowi.
Publik baru terjaga jikalau SBY selama ini hanyalah mitos tatkala menyaksikan kinerjanya selaku presiden. Ternyata SBY tak seluar biasa yg diberitakan. Tak ternyata SBY tak sebaik yg dibilang media. Dan jadinya, sesudah mitos itu tak terbukti, publik ramai-ramai memaki SBY, tak terkecuali media massa yg ironisnya justru menjadi pihak yg paling gencar. (hal.32)
Mitosisasi sungguh berbahaya alasannya adalah subyektif tak ada ruang untuk bersikap kritis & terkesan memaksa publik untuk menentukan orang sesuai dgn selera media (hal.33)
Halaman demi halaman ihwal media itulah yg dibahas oleh Erwyn Kurniawan lewat buku anyarnya yg berjudul, “Dalam Lingkaran Kebisuan” (DLK). Buku yg coba menguak kebungkaman media yg meringkus akal sehat. Berkaca pada kehadiran John Mc Cain hingga Al-Maidah 51.
Dalam DLK, penulis yg pernah mencar ilmu ilmu jurnalistik dgn pendahulu Tempo, Yudhistira ANM Massardi itu mengarahkan pada pembaca untuk mengucek mata semoga melek & sensi apa yg terjadi di sekeliling seperti suasana politik yg dibungkus media. Agar melek pula betapa ‘yummy’ menjadi seorang penista agama namun proses hukumnya banyak menguras masa.
Bagi media massa, seharusnya jangan kehilangan saat-saat mengambil kembali posisinya sebagai lembaga yg memiliki otoritas banyak sekali informasi berharga serta memberikan seproporsional mungkin. Sebab, publik sudah semakin pintar dlm menakar pemberitaan.
Dalam Lingkaran Kebisuan, sebuah cemilan yg pas untuk dikunyah biar kita tak mentah-mentah mengunyah berita yg kucuran informasinya deras setiap waktu. Buku yg bisa dihabiskan dlm sekali jalan, di tengah ‘mannequin challenge’ raksasa di ibukota. [Paramuda/Wargamasyarakat]
Judul : Dalam Lingkaran Kebisuan
Penulis : Erwyn Kurniawan
Penerbit: Pustaka Fauzan
Tahun Terbit : 2016
Halaman : 186 hlm