Beredar Cerita Busuk dari Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Nusa Kambangan

Di tengah proses antisipasi hukuman hukuman mati yg ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini cuma untuk ugal-ugalan popularitas. Bukin karena upaya keadilan. Hukum yg sebaiknya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dlm menangani kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yg dilaksanakan Freddy Budiman, sangat menawan disimak, dr segi kelemahan aturan, sebagaimana yg saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 & kegiatan saya berpartisipasi memperlihatkan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya mendapatkan permintaan dr sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui permintaan gereja ini, saya jadi berkesempatan berjumpa dgn sejumlah narapidana dr perkara teroris, korban kasus rekayasa yg dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dgn John Refra alias John Kei, pula Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya pula sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yg dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (ketika itu), yg memberikan kesempatan bisa mengatakan dengannya & bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas & disiplin dlm mengurus penjara. Bersama stafnya ia melaksanakan sweeping & pemantauan kepada penjara & narapidana. Pak Sitinjak nyaris saban hari memerintahkan jajarannya melaksanakan sweeping kepemilikan HP & senjata tajam. Bahkan saya menyaksikan sendiri hasil sweeping tersebut, didapatkan banyak sekali HP & sejumlah senjata tajam.

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yg dipimpinnya, tergolong memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, ia pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yg sering berkunjung ke Nusa Kambangan, semoga mencabut dua kamera yg mengawasi Freddy Budiman tersebut.

Saya mengangap ini gila, hingga timbul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yg memantau Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman selaku penjahat kelas “kakap” justru mesti diawasi dengan-cara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita & kesaksian Freddy Budiman sendiri.

  Ketika Mereka Lebih Pilih SPBU Shell Ketimbang Pertamina

Menurut ibu pramusaji rohani yg mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berminat bertemu & mengatakan langsung dgn saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yg diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pramusaji gereja, & John Kei, Freddy Budiman bercerita nyaris 2 jam, tentang apa yg ia alami, & kejahatan apa yg ia kerjakan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:

“Pak Haris, saya bukan orang yg takut mati, saya siap dihukum mati alasannya adalah kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yg saya kerjakan. Tetapi saya pula kecewa dgn para pejabat & penegak hukumnya.

Saya bukan bandar, saya yaitu operator penyeludupan narkoba skala besar, saya mempunyai bos yg tak ada di Indonesia. ia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya pastinya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai & orang-orang yg saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yg saya jual di Jakarta yg pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”

Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab: “Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dr pabrik di Cina, makanya saya tak pernah takut bila ada yg nitip harga ke saya. Tatkala saya telepon si pihak tertentu ada yg nitip Rp 10.000 per butir, ada yg nitip 30.000 per butir, & itu saya tak pernah bilang tidak, senantiasa saya okekan. Kenapa Pak Haris?”

Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa mampu per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dlm institusi tertentu, itu tak ada dilema. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya tiba. Dari keuntungan pemasaran, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini pula menunjukkan perilaku main di aneka macam kaki. Tatkala saya bawa itu barang, saya ditangkap. Tatkala saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dr informan saya, bahan dr sitaan itu pula dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, namun kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yg main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yg bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, & itu dapatkan oleh jaringan saya di lapangan.”di

Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yg dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama bertahun-tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi duit 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas kendaraan beroda empat TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya tatkala saya menyetir mobil tersebut dr Medan hingga Jakarta dgn keadaan di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya kondusif lancar apapun.”

Saya prihatin dgn pejabat yg mirip ini. Tatkala saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku & menceritakan dimana & siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, & saya pun berangkat dgn petugas BNN (tidak terang satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina hingga ke depan pabriknya. Lalu saya bilang pada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan balasannya mereka tak tahu, sehingga kami pun kembali.

Saya selalu kooperatif dgn petugas penegak aturan. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dibilang kabur, bantu-membantu saya bukanh kabur, tatkala di tahanan, saya didatangi polisi & ditawari kabur, padahal saya tidak mau kabur, alasannya dr dlm penjara pun saya mampu mengontrol bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke ia kalau saya tidak mempunyai uang. Lalu polisi itu mencari sumbangan duit kira-kira 1 Miliar dr harga yg disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Tatkala saya keluar, saya berikan komitmen setengahnya lagi yg saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, sebab dr awal saya paham ia cuma akan memeras saya.”

  Kopi Luwak dan Cara Menyeduhnya agar Nonton Acara TV Lebih Asik

Freddy pula mengekspresikan bahwa ia kasihan & tak terima kalau orang-orang kecil, mirip supir truk yg membawa kontainer narkoba yg justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yg melindungi.

Kemudian saya mengajukan pertanyaan ke Freddy dimana saya bisa mampu kisah ini? Kenapa anda tak bongkar dongeng ini? Lalu freddy menjawab:

“Saya sudah kisah ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris mampu menceritakan ke publik luas, saya siap dieksekusi mati, tapi saya prihatin dgn keadaan penegak hukum ketika ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, mirip saya sampaikan di sana.”

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tak ada di website Mahkamah Agung, yg ada hanya putusan yg tercantum di situs web tersebut. Dalam putusan tersebut pula tak mencantumkan info yg disampaikan Freddy,y yaitu adanya keterlibatan pegawanegeri negara dlm kasusnya.

Kami di KontraS menjajal mencari kontak pengacara Freddy, namun menariknya, dgn begitu kayanya informasi di internet, tak ada satu pun gosip yg mencantumkan dimana & siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari isu yg disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga mampu kami mintakan gosip pertumbuhan perkara tersebut.

Cerita dr Haris Azhar (KontraS) perihal Freddy Budiman.