Imam Ghazali rahimahullah adalah salah seorang ulama besar yg brilian. Beliau populer dgn gelar hujjatul Islam & mujaddid al-qarn al-khamis (pembaru periode kelima hijriyah). Tak cuma ahli di satu bidang, Imam Ghazali menguasai begitu banyak bidang keilmuan. Dan uniknya, beliau tak memerlukan catatan untuk mengenang ilmu yg dikuasainya.
Sewaktu muda, Al Ghazali pula mencatat sebagaimana pelajar kebanyakan. Hingga sebuah hari, ia dirampok di tengah perjalanan. Para penyamun itu merampas seluruh barang Al Ghazali termasuk catatannya.
Al Ghazali tak terlalu gelisah kehilangan barang-barangnya. Namun, ia tak rela kehilangan buku-buku catatan yg merupakan sumber ilmu yg sungguh berguna. Ia ikuti para penyamun itu hingga berjumpa pemimpinnya.
“Kembalilah! Jika tidak, ananda akan mati,” kata pemimpin penyamun.
Al Ghazali tak gentar. “Dengan kebesaran Allah yg terhadap-Nya kamu-sekalian memohon keamanan, tolong kembalikan catatanku. Buku itu tak berguna bagi kalian.”
“Seperti apa catatanmu itu?”
“Buku-buku yg ada pada kantong itu. Aku sudah melaksanakan perjalanan jauh demi mendengarkan, mencatat, & memahami ilmu di buku tersebut.”
Mendengar itu, pemimpin penyamun itu tertawa. “Bagaimana ananda menilai sudah memahami ilmunya padahal dikala kami merampas catatanmu, kau-sekalian terlepas dr ilmu itu?”
Lalu ia menyuruh anak buahnya mengembalikan buku-buku tersebut.
Rupanya, kata-kata tadi menyentak kesadaran Al Ghazali. “Allah-lah yg menggerakkan orang tersebut berbicara demikian untuk menyadarkanku. Maka sesampainya di Thus, gue merepotkan diri tiga tahun lamanya hingga kuhafal semua ilmu yg kucatat.”
Istimewanya lagi, semenjak saat itu Imam Ghazali tak pernah membutuhkan catatan untuk mengenang ilmu yg didapatnya. Allah memberinya anugerah kecerdasan yg hebat. Puluhan kitab karyanya menjadi warisan bagi keilmuan Islam. Terutama karya momentalnya, Ihya’ Ulumuddin, & karya terakhirnya, Minhajul Abidin.
Baca juga: Doa Setelah Sholat
Kita tak dituntut sampai level menghafal ilmu mirip Imam Ghazali. Apalagi menulis banyak kitab tanpa menyaksikan referensi & catatan. Hanya berbekal hafalan. Cukuplah kita aib bila begitu banyak waktu, tetapi tak kunjung menghafalkan Al-Qur’an. Selayaknya kita memperbanyak istighfar.
Dan lebih malu lagi, jikalau Al-Qur’an saja tak hafal, tetapi mencela ulama besar seperti Imam Ghazali. Siapa yg lebih merugi dibandingkan dengan orang tak arif sekaligus tidak punya adat? Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]