Guru Ngaji Adalah Film Badut

Citra badut beberapa bulan ke belakang sempat rusak. Bukan karena masalah korupsi & menangis di depan hakim. Tidak benar-benar rusak memang, hanya sedikit angker & menyeramkan. Tak lain karena imbas dr film horor IT.

Beberapa badut di Kanada, bahkan, memajang lukisan wajah cemberut selaku tanggapan atas remake film IT yg tayang di bioskop berbagai negara tamat-tamat tahun 2017 lalu. Badut-badut profesional ini keberatan atas tampilan huruf utama dlm film horor tersebut: Pennywise, si badut menyeramkan yg kerjaannya tukang makan anak kecil.

Di Indonesia, pula mengalami hal yg sama. Di berbagai susukan perbincangan, tiap kali menyaksikan badut mereka akan terkenang dgn sosok Pennywise–bahkan ketika mampir ke resto ayam Amerika cepat saji.

Tampaknya cemas tersebut mulai mereda seiring berjalannya waktu. Katanya waktu mampu menyembukan luka—juga cemas. Lebih lagi, dgn kehadiran film badut yg berjudul Guru Ngaji.

“Kapan ya, Pak, kita mampu ke sana?” Bu Sopiah (Ade Irawan) di depan layar teve cembung, menayangkan jamaah haji di depan Kabah.

Pak Mukri (Donny Damara) yg tak jauh dr Bu Sopiah, sibuk memasang poster yg baru saja ia beli seharga Rp 10 ribu. Bukan poster biasa, namun poster bergambar masjid Istiqlal Jakarta. Ia menyelipkan doa, berharap kelak bisa ke sana dulu sebelum ke Mekah.

Ia paham bahwa dirinya tak memiliki cukup duit untuk mewujudkan impiannya. Ia hanya seorang guru ngaji kampung umumyg selama ini nrimo mengajar tanpa mengharap jawaban materi–seringnya dibayar sembilan materi pokok. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, Mukri terpaksa mengambil pekerjaan sampingan: jadi badut!

Anehnya, keluarganya tak mengenali lantaran memang Mukri merahasiakan. Pun dgn segenap warga Desa Tempuran, alasannya bapak satu anak itu merasa guru ngaji yaitu pekerjaan yg sakral & terhormat. Bertolak belakang dgn profesinya sebagai badut yg justru memancing tertawaan orang. Mau ditaruh di mana muka ini.

Mukri suatu dikala menerima undangan Pak Kepala Desa (Tarzan) untuk tampil memimpin doa di ulang tahun anaknya. Di sisi lain, ia pula mendapat proposal manggung menjadi badut di acara yg sama. Ini betul-betul gawat & tak mampu ditolak. Ia takut, keluarga & warga kampung akan mengetahuinya.

“Apakah badut itu teroris?”

Film garapan sutradara Erwin ini mulanya memang agak klise & mudah tertebak alurnya. Konfliknya berlangsung dgn tokoh utama yg begitu protagonis, pasrah begitu saja tatkala dizalimi & segala hal-hal yg seharusnya ada di sinetron berlatar lagu religi Opick. Nikmatnya, film ini digarap dgn obrolan-obrolan yg sangat cerdas. Lebih lagi, tatkala membincangkan perbedaan kepercayaan dgn bosnya Mukri di pasar malam yg bernama Koh Alung (Verdy Solaeman).

Penonton dibentuk deg-degan tatkala Mukri mendapat proposal menjadi Santa Claus. Menjadi badut saja ia ketakutan terlebih menjadi Santa. Tawaran tersebut tiba pribadi dr orang yg berjasa dlm hidupnya yg tak lain adalah Koh Alung. Di sini pula letak twistnya, yg membuat penonton cukup puas.

Orang desa yg angon angsa di tepian sawah, pemuda yg menarik sapi, sepeda onthel yg jadi alat transportasi keluarga,  tukang kredit baju & sebagainya yakni panorama lain yg disajikan di film ini untuk menegaskan wacana dunia lain di luar perkotaan. Penonton akan diajak nostalgia dgn guru ngaji.

Film ini memang badut. Kepedihan menjadi guru & badut porsinya agak berbeda. Kemasannya lucu, menghibur tetapi ternyata ada kepedihan & kegerahan yg tersimpan dr balik kostum atau sebaliknya. Memang begitu badut, ada, bermanfaat & mudah ditakacuhkan atau dipandang sebelah mata. Setakacuh kita pada guru ngaji yg mengajari kita tatkala kecil. [@paramuda/ Wargamasyarakat]

  Laki-laki yang Baru Masuk Islam Ini Tak Mau Beri Selimut pada Tamu