“Mas, tungguin ya?”
Saya menoleh ke arah laki-laki bundar berjenggot alakadar itu.
“Kita sholat bareng.” ucapnya sambil memutar keran. Air mulai mengucur.
Seperti pernah melihat, tetapi memori di kepala tak cukup kuat mengenang. Ketemu di mana ya?
Di stasiun? Di toko buku? Atau ia panitia penerimaan mahasiswa baru Nanyang Technology University? Ah, ngacau…
Usai wudhu ia mengganti kaosnya dgn koko, mengubah jeans belelnya dgn sarung. Lalu memercikkan minyak bacin.
Ketemu dimana ya…
“Mas yg jadi imamnya ya?”
Ia pun iqomat. Merdu suaranya.
Saya tanggalkan memori sesaat.
Alquran berlembaran yg menua ia ambil. Mulai tilawah. Lagi-lagi suaranya merdu. Lagi-lagi memori aku melakukan pekerjaan lagi.
Ketemu di mana ya?
Sesampai di pertigaan gres ingat. Dia, laki-laki itu, yg memarahi aku di tempat yg sama ketika aku mengingatnya. Dulu memarahi & meminta saya turun dr ojek online. Sebab, katanya, tempat itu masih wilayah kekuasaan opang.
Umar bin Khattab. Kita mengenal nama itu. Salah seorang yg permusuhannya begitu menjalar pada Nabi Muhammad saw. Ada hasrat besar lengan berkuasa dlm dirii Umar untuk membunuh ia.
Suatu malam Umar mendapati Rasul berjalan menuju Ka’bah. Kesempatan ini tak disiakan oleh Umar. Ia membuntuti. Di depan pintu Ka’bah Rasul shalat. Umar pun masuk ke dlm Ka’bah lewat pintu satunya yg saling bertolak belakang. Ia membuka pintu yg ada di hadapan Rasul. Kini Umar & Rasul cuma terpisah dgn selembar kain epilog Ka’bah. Mencekam.
Pedang di genggaman Umar. Erat. Sorot mata yg tajam. Namun ada bunyi alunan yg begitu memesona hati Umar. Alunan ayat Al Quran yg dibaca Rasul. Pada ketika itu Rasul membaca surat Al Haaqqah. Umar menyimak bacaan itu. Sampai pada ayat ke 40, Umar bergumam dlm hatinya, “Kalimatnya seperti syair yg indah”. Maka saat itu pula Allah SWT menjawab melalui ayat ke 41,
“Dan Al Alquran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali ananda beriman kepadanya.”
Umar terkejut, “Hei, kenapa ia tahu isi hatiku. Apakah ini sebuah sihir?”
Lagi, Allah SWT menjawab dgn firman:
“Dan bukan pula perkataan tukang sihir. sedikit sekali ananda mengambil pelajaran daripadanya.” (AlHaqqah: 42)
Jawaban firman Allah itu melunakkan hati Umar & ia urung membunuh Rasul malam itu.
Ya, Allah…semua orang mampu berubah.
Tak terbayang bagaimana tatkala itu jikalau aku terpancing kemarahannya untuk mencaci balik? Bagaimana kalau kata-kata lacur ikut meluncur?
Oh, hati, hati, memang perlu hati-hati. Ada hak memarahi, namun itukah jiwa rabbani?
Wallahua’lam
[Paramuda/ Wargamasyarakat]