Aku Menolak Karena Akhwat Itu Tak Punya Akun Media Sosial

Umurnya sudah cukup. Seperempat kurun lebih beberapa bulan. Sudah punya pekerjaan selaku karyawan swasta di perusahaan ternama di Jakarta. Tampang pula tak mampu dianggap “remah-remah rengginang” atau bikin yg lihat menutup mata & baca istighfar beberapa kali lalu baca do’a kafaratul majelis, meski kalah lah bila dibandingkan dgn Hamas Syahid Izzuddin si Azka di film Tausiyah Cinta–pada dasarnya wajahnya tidak mengecewakan good looking & camera face. Bacaan al-Qur’an pula manis lantaran pernah ikut forum tahfidh Qur’an di sela-sela kesibukannya. Bahasa Inggris pula nggak mampu dibilang sekelas “Come and invest in Indonesiaudah ya”

Lalu apa yg membuat seorang mitra itu belum pula menikah?

“Bukannya belum ada niatan menikah. Namun belum ada yg cocok.” ucapnya pada sebuah malam.

Apakah definisi tak cocok itu? Ia tak banyak menjelaskan. Hanya mengatakan bahwa kalau beli sepatu berukuran 43 tetapi adanya ukuran 40 apakah kita akan membelinya meski bakal nggak muat? Apakah beli lantaran suka warnanya & merknya? Tentu benar yg dikatakannya. Lalu sampai kapan?

“Saya sudah berulang kali menerima CV akhwat.” ujarnya mau membuka diri untuk mengembangkan kisah. Ia paham sekali bahwa menikah yg paling diutamakan adalah menyaksikan “agamanya”. Namun ada faktor penunjang lain sehabis itu, misal fisik yg asik dilihat, keturunan, pendidikan, & lain sebangsanya.

“Sebenarnya yg terakhir sudah cocok. Sudah mendekati kecocokan,” katanya lagi. Lalu kenapa ia tak melanjutkan proses ta’aruf lalu ke jenjang yg serius.

“Sudah ta’aruf sekali. Namun ada beberapa hal yg menciptakan saya tak cocok.” katanya melanjutkan sepotong-potong seperti JIL yg suka potong-potong ayat separahnya sendiri.

  Ingin Dapat Istri Shalihah? Baca Ayat Ini

Fisik kah? Namun ia tak menjawab fisik.

“Ia tak punya akun media sosial.”

Seremeh & selemah itu alasannya?

“Saya ingin mirip ikhwan atau akhwat lain yg setelah menikah suka show off perihal rumah tangga mereka, ihwal ngedate halal mereka tatkala malam Minggu. Saling mensyen-mensyen tatkala rindu. Posting bekal istri kemudian mensyen ucapan terima kasih. Interaksinya kerasa jika mampu mensyen.”

Hanya bergidik ajaib mendengar alasannya. Apa argumentasi ia seperti itu pula? Ikhwan yg ajaib bin mejik.

“Saya merasa, ini dakwah yg tidak mengecewakan efektif alasannya adalah yg halal itu perlu ditunjukkan, lha wong yg pacaran yg jelas-terang haram saja pada sibuk kampanye kemesraan. Lagi pula ini pula bisa mendorong para jomblo-jombli mulia terdorong pula untuk menikah secepatnya. Wajarlah kalau ada pengantin gres unjuk kemesraan & saling mensyen, karena mereka udah usang ‘puasa’ & tatkala perlu berbuka puasa.” jelasnya.

Begitukah? Padahal ‘puasa’ bahwasanya seseorang mampu tampaktatkala ‘buka puasa’. ia rakus membabi buta atau tetap dlm posisi sabar seperti sabarnya tatkala puasa.

“Pokoknya saya tetap memlih yg sudah punya akun media sosial, bukan yg gres buat tatkala saya ingatkan. Karena dgn punya akun media sosial juga, saya mampu melihat interaksi ia selama di media umum. Karena tulisan-goresan pena status memperlihatkan mutu seseorang”

Embuhlah, sak karepmu!

[Paramuda/ Wargamasyarakat]

Seperti yg dituturkan al-akh pada suatu malam.