Sekurangnya dua hal diandaikan di sini. Pertama, keterlemparan (Geworfenheit) itu sudah ada sebelum ada perbedaan subyek dan obyek wawasan, maka di sini mengerti bukanlah aktivitas cogito atau kesadaran Cartesian yang mendasari konsep terbaru ihwal subjectum, melainkan merupakan tindakan primordial pra-reflektif (bandingkan Einführung zu Gadamer, 118). Kedua, selaku konsekuensinya memahami juga bukanlah alat untuk mengetahui dunia, melainkan keterbukaan Dasein sendiri terhadap dunia dan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada dalam dunia. Kita tidak berlebihan mengatakan bahwa bagi Heidegger memahami tidak lain dibandingkan dengan Dasein itu sendiri.[10] Berada di dalam dunia tidak mampu lain kecuali memahami. Kita boleh menyebut rancangan Heidegger wacana mengetahui ini sebagai rancangan ontologis.
Pemahaman Dan Manfaat Hermeneutika Dan Fenomenologi
HEIDEGGER DAN HERMENEUTIKA FAKTISITAS[1]
F. Budi Hardiman[2]
Martin Heidegger dilahirkan di kota kecil Meβkirch dekat Freiburg i.Br. pada 26 September 1889 dari keluarga Nasrani Roma yang saleh dan sederhana. Ayahnya adalah seorang koster gereja St. Martin. Pastor paroki dan guru Latinnya memperantarainya untuk belajar di Gymnasium di kota Konstanz. Tanpa sumbangan finansial gereja Nasrani Heidegger tidak mungkin ia menempuh pendidikan tinggi. Dia sempat berguru teologi di Universitas Freiburg, dan di sana dia mengenal hermeneutika. Menurut pengakuannya, di awal studi teologinya Heidegger banyak menyibukkan diri dengan Schleiermacher dan Dilthey serta keterkaitannya dengan teologi.[3] Pada 1907 pastor paroki Kontanz yang ia kenal baik, Conrad Gröber, menghadiahinya karya Franz Brentano Von der mannigfachen Bedeutung des Seienden nach Aristoteles (Tentang Berbagai Makna Ada menurut Aristoteles), sebuah buku yang membongkar pemikirannya. Heidegger meninggalkan teologi setelah empat semester, masuk ke fakultas ilmu-ilmu alam dan matematika, dan menyelesaikan studi tanpa bea siswa gereja. Pada 1913 ia belajar filsafat dan lagi menerima sumbangan beasiswa dari gereja Kristen. Heidegger dijadwalkan untuk mengajar filsafat Kristiani, maka disertasinya, Die Lehre vom Urteil im Psychologismus. Ein kritisch-positiver Beitrag zur Logik (Teori Putusan dalam Psikologisme. Sebuah Kontribusi Kritis-Positif untuk Logika, 1914), ditulisnya di bawah bimbingan Arthur Schneider, seorang profesor filsafat Kristiani. Alih-alih memenuhi harapan itu, beliau malah memusatkan diri pada fenomenologi Husserl. Habilitationsschrift-nya yang berjudul Die Kategorien-und Bedeutungslehre des Duns Scotus (Teori Kategori dan Makna dari Duns Scotus, 1916) memang perihal filsuf Kristiani Abad Pertengahan, tetapi sistem yang dipakainya yakni fenomenologi.
Bila Schleiermacher hidup dalam abad Romantik, dan Dilthey dalam abad industralisasi Jerman, Heidegger hidup dalam periode totalitarianisme Nazi. Jerman yang sebelumnya mengalami krisis politis, ekonomi, militer yang parah mengkonsolidasi diri dalam bentuk rezim fasistis yang—seperti dicatat Hannah Arendt, mahasiswa dan kekasih gelap Heidegger—memobilisasi massa dengan ideologi dan teror dan melakukan pembunuhan massal secara sistematis. Karya utama Heidegger, Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927) memuat konsep dasar yang mencerminkan pengalaman dasar manusia di dalam abad ini, adalah: Angst (kecemasan), Sorge (kegelisahan-kepedulian), Unheimlichkeit (kengerian). Boleh dibilang turbulensi politis saat itu telah menggiring orang, termasuk Heidegger, pada pengalaman “Gott ist tot” (Allah sudah mati) sebagaimana dimaklumkan Nietzsche di ujung kala ke-19. Heidegger sendiri terlibat dalam partai Nazi, suatu skandal besar dalam dunia intelektual Jerman yang sampai hari ini masih dibahas dengan pahit.[4] Para lawannya menghubungkan keterlibatan Heidegger itu dengan karya-karyanya, utamanya isi pidato pengukuhannya selaku rektor Universitas Freiburg persis sesudah naiknya Hitler, Die Selbsbehauptung der deutschen Universität (Penegasan Diri Universitas Jerman, 1933). Namun tidak mampu diabaikan bahwa beberapa aspek pemikirannya juga kritis terhadap Nazi. Tidak diragukan bahwa imbas intelektualnya menjejak di kepala pemikir-pemikir berkaliber, seperti Hannah Arendt, Leo Strauss, Karl Löwith, Gerhard Krűger, Hans Jonas dan Hans-Georg Gadamer.[5]
Heidegger tidak eksplisit menggunakan kata hermeneutika, kecuali di dalam rangkaian kuliahnya pada 1920-an yang berjudul “Ontologie: Hermeneutik der Faktizität” (Ontologi: Hermeneutika Faktisitas). Salah seorang mahasiswanya ketika itu yaitu Hans-Georg Gadamer, tokoh yang nanti masih akan kita diskusikan.[6] Kata hermeneutika juga tetap implisit dalam Sein und Zeit (Ada dan Waktu, 1927), meskipun pokok-pokok pedoman terpenting Heidegger ihwal hermeneutika dapat dibaca di dalam buku itu. Konsep hermeneutika juga timbul eksplisit dalam kuliahnya pada 1927 yang kemudian diterbitkan dengan judul Grundprobleme der Phänomenologie (Masalah-dilema Dasar Fenomenologi). Pengertian hermeneutika dalam karya-karya itu tidak lazim alasannya tidak secara khusus dikaitkan dengan interpretasi seperti sudah kita ikuti dalam hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey, melainkan dikaitkan dengan eksistensi kita. Komentator mirip Palmer dan Zaborowski meneliti hermeneutika juga karya-karya Heidegger sehabis die Kehre (pembalikan) yang dikenal dengan Heidegger II. Dalam karya-karya itu hermeneutika terhubung dengan sejarah ada.
Heidegger menjadi emeritus dari perguruan tinggi mulai 1952, tetapi masih aktif memberi kuliah-kuliah sampai 1967. Dia tinggal di pondoknya di kawasan pegunungan Schwartwald dan meninggal di Freiburg i.Br. pada 26 Mei 1976.
Hermeneutika dan Fenomenologi
Jika hermeneutika Dilthey kita mengetahui dengan titik tolak Lebensphilosophie, untuk mengerti hermeneutika Heidegger, kita harus lebih dahulu memahami fenomenologi yang menjadi metodenya. Dilihat dari satu sisi, Dilthey telah membuka ruang untuk fenomenologi karena desain sentralnya, Erlebnis atau penghayatan diperdalam oleh pendiri fenomenologi, Edmund Husserl. Apa itu fenomenologi? Fenomenologi yakni suatu pendekatan untuk mendeskripsikan hal-hal sebagaimana kita mengalami atau menghayatinya, jauh sebelum hal-hal itu kita rumuskan dalam asumsi kita. Semboyan Husserl, Zurűck zu den Sachen Selbst (Kembalilah terhadap hal-hal itu sendiri), mampu menerangkan tujuannya. Yang dimaksud dengan “hal-hal itu sendiri” bukanlah kenyataan sebagaimana dirumuskan oleh filsafat atau ilmu wawasan, melainkan kenyataan yang dihayati sebelum filsafat dan ilmu wawasan merumuskannya. Ambillah pola kubus. Sebelum dirumuskan oleh geometri sebagai kubus “ideal”, kubus ada dalam bentuk yang cuma mampu kita ketahui segi demi sisi. Kita berjalan mengelilingi segi demi sisi dan mengalaminya cuma dari perspektif tertentu. Kita tidak pernah menyaksikan seluruh kubus itu, namun lalu kesadaran kita menghubung-hubungkan segi-sisi yang telah kita amati itu menjadi seluruh kubus yang diterangkan dalam geometri. Dalam contoh ini, “hal-hal itu sendiri” bukanlah kubus geometris atau seluruh kubus, melainkan kubus itu sendiri, ialah sisi demi sisi kubus sebagaimana kita inspeksi dengan menggerakkan tubuh kita.
Ada banyak hal lain yang sudah terlanjur diabstraksi atau dipikirkan oleh filsafat atau ilmu wawasan dan oleh fenomenologi dikembalikan terhadap hal-hal itu sendiri, seperti: penduduk , agama, aturan, emosi, persepsi dan badan. Tubuh, contohnya, diabstraksi oleh ilmu kedokteran selaku semacam prosedur jasmaniah yang obyektif. Fenomenologi menangguhkan—atau perumpamaan Husserl Einklammern (menempatkan dalam tanda kurung)—abstraksi macam itu, sehingga tubuh sekarang menampakkan diri selaku badan itu sendiri sebagaimana kita hayati sebagai makhluk bertubuh. Tubuh yang kita hayati itu, mirip ditemukan oleh pengikut Husserl, Maurice Merleau-Ponty, ambigu, yakni sebagai obyek sekaligus subyek: di satu segi kita itu memiliki tubuh, di sisi lain kita yakni tubuh. Heidegger masuk ke dalam fenomenologi dengan menjinjing sebuah desain sentral dalam ontologi semoga dapat dikembalikan terhadap hal-hal itu sendiri. Yang dikembalikannya itu adalah desain “Ada”.
Cara lain untuk menjelaskan fenomenologi diberi oleh Heidegger. Di dalam Sein und Zeit, ia mengembalikan fenomenologi pada kombinasi kata Yunani logos yang artinya “diskursus” dan phainesthai yang artinya “menampakkan diri”.[7] Kaprikornus, fenomenologi yakni suatu diskursus ihwal menampakkan diri. Artinya, fenomenologi juga suatu hermeneutika atau interpretasi dengan “membiarkan apa yang menawarkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri dengan cara beliau memperlihatkan diri dari dirinya sendiri” (Being and Time, 58). Kita mengerti hal-hal sebagaimana ada mereka tanpa kita memaksakan rancangan-desain kita terhadap mereka. Jika yang menampakkan diri itu “Ada”, diskursus wacana itu disebut ontologi, maka “ontologi dan fenomenologi bukanlah dua disiplin filosofis yang saling berjauhan” atau filsafat adalah “ontologi fenomenologis universal” (Being and Time, 62). Karena pokok permenungan seluruh Sein und Zeit ialah tentang makna Ada (der Sinn des Seins), fenomenologi ontologis atau ontologi fenomenologis yang dipraktikkan di situ ialah suatu seni memahami makna juga, adalah suatu hermeneutika.
Karena merupakan sebuah fenomenologi, yaitu membiarkan hal-hal menunjukkan diri, hermeneutika Heidegger melaksanakan interpretasi tidak dengan memasukkan kerangka berpikir penafsir ke dalam hal yang dimengerti, melainkan dengan membiarkan hal yang diinterpretasi itu tampak dan kita selaku penafsir menjumpai sendiri realita itu.[8] Kesulitan kita dalam menghadapi “Ada” selaku fenomena yakni bahwa “Ada” itu bukan suatu fenomena, melainkan sesuatu yang mencakup semuanya. Akibatnya, pandangan tradisional perihal dualitas subyek dan obyek dalam mengenali—seperti masih diandaikan oleh Husserl—tidak dapat digunakan di sini. Itulah sebabnya mengapa Heidegger memakai kata-kata yang tidak umum, seperti Dasein (ada di sana), es weltet (mendunia), in-der-Welt-sein (berada di dalam dunia), dan seterusnya. Tentu ada argumentasi mengapa manusia disebut Dasein. Dalam pemakaian kata manusia terdapat abstraksi yang membuat dualitas subyek-obyek, tetapi dalam kata Dasein abstraksi dan dualitas itu tidak berfungsi lagi. Dasein bermakna secara harafiah “ada-di-sana”. Pertama, tempatnya tak tergantikan oleh lainnya, maka beliau unik. Kedua, yang berada di sana itu juga terlempar, yaitu berada begitu saja. Pengalaman akan “berada begitu saja” itulah yang diacu oleh Heidegger dengan istilah “faktisitas”.
Bila kata hermeneutika disambungkan dengan faktisitas, kata itu tidak lagi dapat diterangkan sebagai mengerti faktisitas, karena faktisitas bukan dokumen historis, artefak atau teks, melainkan kenyataan eksistensial kita selaku Dasein. Memahami (Verstehen) itu sendiri ialah realita eksistensial yang mampu diinterpretasi. Jadi, yang dilakukan oleh Heidegger dengan hermeneutikanya itu bukanlah mengerti ini atau itu, melainkan membiarkan mengerti sebagai tindakan primordial menampakkan diri, dan mengetahui tidak lain dibandingkan dengan cara Dasein bereksistensi. Jika begitu, hermeneutika faktisitas lebih tepat dijelaskan selaku “membiarkan cara ada-nya (Sein) dan cara ke-di-sana-an (da) Dasein, tergolong mengetahui, tersingkap melalui interpretasi” (Holger Zaborowski, 23). Interpretasi dalam bahasa Jerman ialah Auslegung yang diartikan oleh Heidegger sebagai “membiarkan terbuka”. Jika demikian, makna bukan lagi sesuatu yang ada dalam kesadaran penafsir, melainkan berada di sana, di dalam hal itu sendiri yang menyingkapkan diri kepada penafsir.
Pra-Struktur Memahami
Heidegger mempunyai pedoman tersendiri tentang Verstehen, “mengerti”. Bagi Schleiermacher dan Dilthey mengetahui yakni sebuah acara kognitif, pada Schleiermacher untuk menangkap maksud pengarang dan pada Dilthey untuk menangkap ungkapan penghayatan. Pada Dilthey memahami berada pada ranah lebih dalam daripada Schleiermacher. Baginya mengetahui sebuah karya, artefak atau fakta, bukan sekadar soal menangkap maksud penciptanya, melainkan kehidupannya, sesuatu yang lebih luas dan dalam yang meliputi banyak sisi, seperti cara hidup, perilaku, cita rasa, wawasan dunia, dan seterusnya. Namun kedua pendahulu Heidegger ini menaruh memahami pada ranah epistemologis, yakni sebagai soal menerima info wacana sesuatu. Pembaca dan peneliti yaitu subyek-subyek wawasan yang menghadapi obyek-obyeknya, entah teks atau ungkapan penghayatan orang lain. Sangat berlainan dari kedua pendahulunya dalam hermeneutika, Heidegger menaruh mengetahui jauh lebih dalam dan menyeluruh lagi pada ranah ontologis. Saya kutip rumusannya dalam Sein und Zeit:
Dengan perumpamaan memahami (Verstehen) kita maksudkan suatu eksistensial yang mendasar; bukan suatu cara mengenal tertentu, yang berlainan misalnya dari menerangkan (Erklären) dan mengkonsepsi (Begreifen), juga bukan sebuah pengenalan dalam arti pemahaman tematis.[9]
Memahami bukan lagi soal menangkap berita wacana sesuatu, melainkan soal eksistensial, yaitu—saya pakai rumusan Palmer—“kesanggupan seseorang untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada”( Hermeneutics, 131). Memahami lalu bukan lagi suatu tata cara, melainkan cara kita bereksistensi di dalam dunia ini (bandingkan Einführung zu Gadamer, 119).
Memahami sebagai cara bereksistensi? Rumusan ini mesti aku jelaskan dengan lebih mudah. Di dalam pengertian Schleiermacher dan Dilthey mengerti ialah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang, entah pembaca atau peneliti. Kita, contohnya, memiliki pengertian perihal surat-surat Kartini atau wacana simbol-simbol dalam candi Borobudur. Dalam pengertian Heidegger mengetahui bukanlah sesuatu yang dimiliki. Kita berada di dalam dunia ini dengan mengetahui. Dalam Sein und Zeit kita baca drama berikut: Dasein terlempar ke dunia ini, maka dia tak lain daripada In-der-Welt-sein (Berada-di-dalam-dunia). Kenyataan bahwa dia ada begitu saja di dunia ini menghasilkan kecemasan eksistensial (Angst). Memahami yakni momen yang sama primordialnya dengan kecemasan itu.
Apakah perbedaannya dengan desain-konsep mengetahui yang dikembangkan oleh Schleiermacher dan Dilthey? Memahami pada ranah ontologis ini berciri primordial, ialah mendahului dan juga memungkinkan segala bentuk empiris mengetahui, entah itu memahami goresan pena-tulisan, seperti pada Schleiermacher atau mengerti ungkapan-ungkapan kehidupan, seperti pada Dilthey. Jadi, rancangan Heidegger tentang mengerti berciri primer, sedangkan kedua pendahulunya mengajukan hal sekunder saja (Einführung, 122). “Semua pengenalan,” demikian Heidegger, “berakar sebagai penelisikan dengan memahami atas hal yang tidak diketahui di dalam pemahaman primer Dasein” (Sein und Zeit, 336). Pemahaman primer Dasein inilah mengetahui para ranah ontologis, sesuatu yang tidak terartikulasi secara kognitif dan ekspresi, namun mendasar. Seandainya berada di dalam dunia tidak selaku memahami, manusia tidak mampu mengakses obyek-obyek pemahaman, seperti teks dan ungkapan kehidupan. Pada ranah ontologis ini mengetahui bukan sekadar sebuah acara kognitif, melainkan cara manusia berada di dalam dunia ini. Dalam tinjauan ontologis ini mengerti adalah ciri eksistensial kita sebagai Dasein.
Marilah kita diskusikan lebih jauh pembedaan antara ranah ontologis dan ranah empiris pemahaman itu. Jika kita ingin memahami makna, entah sebuah teks atau sebuah istilah kehidupan, pengertian kita tidak beroperasi hanya pada ranah empiris. Keseluruhan kekerabatan-relasi kita yang telah ada, ialah cara kita bereksistensi di dalam dunia, akan ikut menentukan pengertian kita, dan hal itu terjadi begitu saja tanpa kita sadari lebih dulu.[11]
Di sini Heidegger menyumbang sebuah tilikan yang termasyhur tentang Vorstruktur des Verstehens (pra-struktur mengetahui) (Sein un Zeit, 150). Memahami suatu makna tidak pernah tanpa presuposisi (voraussetzungslos); beliau mengandaikan pra-pengertian (Vormeinung) tertentu.[12] Kata-kata presuposisi atau pra-pengertian di sini tidak diartikan secara kognitif belaka, melainkan secara eksistensial, yakni sebagai cara bereksistensi. Pra-pemahaman itu terbentuk dari apa yang disebut Heidegger Bewandtnisganzheit, adalah totalitas keterlibatan kita dalam praktik-praktik hidup yang kita jalani, dan hal itu “bungkam”, yakni non-tematis, pra-predikatif, non-verbal. Kita terlibat begitu saja dalam praktik-praktik, dan dari keterlibatan itu tumbuhlah pemahaman kita. Seorang pematung di Bali, misalnya, memahami seni rupa, dan hal itu tidak mempunyai arti sekadar “wawasan” wacana seni rupa, melainkan kemampuan atau kepiawaian orang itu dalam melaksanakan seni rupa. Sebagai cara bereksistensi, berkesenian mendahului dan memungkinkan pemahaman orang Bali itu wacana hal-hal empiris, contohnya, perihal bagaimana memakai pahat, mengukir atau menghaluskan kayu. Kaprikornus, presuposisi atau pra-struktur pemahaman itu menjadi titik tolak interpretasi. Dalam arti ini pula menurut Heidegger suatu pengertian tanpa dugaan yaitu tidak mungkin.
Di sini kita harus berhati-hati agar tidak menyalahpahami Heidegger. Dengan ide ihwal pra-struktur mengetahui dia tak mau menyampaikan bahwa semua pengertian pada kesannya tergantung pada pra-pemahaman subyektif penafsir. Ada sesuatu yang mendasar yang dipikirkan Heidegger: Agar sebuah teks atau ungkapan gila mampu kita ketahui, lebih dulu mesti ada kejelasan perihal cara bereksistensi atau—dalam perumpamaan teknis—“situasi hermeneutis” pihak penafsir (Einführung, 126). Kita kemudian teringat pada bulat hermeneutis yang telah ditemukan oleh Schleiermacher.[13] Namun berbeda dari Schleiermacher dan Dilthey, lingkaran hermeneutis pada Heidegger beroperasi pada ranah ontologis: Memahami bergerak dalam suatu bulat dari cara berada kita selaku pra-struktur ke pemahaman kita akan sesuatu. Dengan demikian bundar hermeneutis dalam interpretasi teks berdasarkan Heidegger hanyalah perkara khusus dari fenomena umum bahwa semua pengertian berciri melingkar (Christina Lafont, 278).
Coba kita beri gambaran berikut untuk lingkaran hermeneutis itu. Contoh seniman Bali itu mampu kita tukar dengan cara hidup umat beragama. Cara hidup seseorang atau sebuah komunitas merupakan pra-struktur yang bungkam, adalah non-tematis, yang menjadi titik tolak orang atau komunitas itu memahami hal-hal secara artikulatif. Beriman bukan sekadar tahu tentang akidah sebuah agama, melainkan juga bereksistensi sebagai anggota sebuah komunitas religius. Cara berada selaku umat beriman itu—sesuatu yang non-ekspresi dan pra-predikatif—mendahului segala cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang terartikulasi. Praktik-praktik kehidupan yang mereka jalani secara spontan tanpa dipikir-pikir yaitu pra-struktur yang memungkinkan mereka untuk memahami diri, orang lain, masyarakat, dunia dan Tuhan.
Dalam arti ini, sebuah teologi, adalah refleksi rasional atas keyakinan, juga yakni suatu bentuk empiris pemahaman yang dimungkinkan oleh cara bereksistensi suatu komunitas religius. Interpretasi-interpretasi yang dijalankan di dalam komunitas itu, entah dalam bentuk khotbah-khotbah, ritual, penyebaran dogma atau pelayanan, bertolak dari situasi hermeneutis mereka atau cara mereka bereksistensi. Rekan Heidegger, seorang teolog Protestan terkenal, Rudolf Bultmann, sudah mengintegrasikan rancangan Heidegger wacana pra-struktur pengertian itu ke dalam eksegesis Kitab Suci (Einführung, 121).
Memahami sebagai Mengantisipasi
Selain pra-struktur mengerti, kita juga perlu membicarakan bantuan lain yang diberikan Heidegger untuk hermeneutika, adalah kemewaktuan memahami (Zeitlichkeit des Verstehens). Baik bagi Schleiermacher maupun Dilthey memahami yakni sebuah upaya untuk menangkap makna di abad silam. Heidegger memiliki pendirian yang sama sekali berlainan dalam hal ini. Baginya memahami senantiasa terarah ke abad depan. Pendirian ini terkait dengan pandangannya wacana waktu. Di tempat lain aku pernah mengulas topik ini, dan di sini saya tidak mau mengulang.[14] Yang penting untuk dimengerti di sini ialah bahwa manusia, adalah Dasein, tidak berada di dalam waktu, seolah-olah waktu disematkan pada hidupnya, melainkan insan itu sendiri mewaktu. Mewaktu bermakna bahwa Dasein mengorientasikan diri terhadap kemungkinan-kemungkinannya sendiri, maka Heidegger menyebut Dasein dengan kata Seinkönnen, kemungkinan (untuk berada). Dalam arti ini era depan (Zukunft) memiliki prioritas atas periode silam dan kurun sekarang.
Demikian juga bagi Heidegger, seperti dibilang oleh Palmer, mengerti selalu berkaitan dengan abad depan (Hermeneutics, 131). Apa maksudnya? Bukankah umumnya hermeneutika berhubungan dengan teks-teks dari periode silam? Tentu kita mampu memahami teks atau istilah dari kurun kemudian, namun pemahaman kita ihwal hal-hal dari periode kemudian itupun menurut Heidegger terarah ke kala depan. Begitu pula pemahaman kita akan sesuatu di masa sekarang. Jika seseorang mendapatkan surat dari orangtua yang telah meninggal beberapa puluh tahun yang lalu, contohnya, makna surat itu akan dipahaminya dalam kerangka kemungkinan-kemungkinan eksistensinya sendiri, yakni periode depannya. Apa makna isi surat itu untuk kehidupannya nanti? Perubahan apa yang kiranya akan terjadi melalui pesan yang terkandung di dalamnya? Begitu juga, orang mengerti tindakan orang lain dengan memproyeksikan makna perbuatan itu ke kemungkinan-kemungkinan di era depan. Implikasi apa yang akan terjadi melalui perbuatan itu? Bisa menjadi apakah kiranya orang itu dengan tindakan itu?
Prioritas pada abad depan itu yaitu konsekuensi logis dari desain Verstehen selaku kesanggupan Dasein untuk menangkap kemungkinan-kemungkinannya untuk bereksistensi. Jika demikian, mengetahui telah selalu mengantisipasi sesuatu yang belum ada. Kita memahami dalam pengertian Heidegger ini, saat kita mengambil keputusan eksistensial atas kehidupan kita, misalnya, untuk menikahi seseorang atau tidak, untuk mengambil suatu jabatan atau tidak, dan seterusnya. Makara, memahami selalu terkait dengan Entwurf (proyeksi) kita. “Sebagai proyeksi,” demikian tulis Heidegger, “memahami yaitu cara berada Dasein di mana ia ialah kemungkinan-kemungkinan selaku kemungkinan-kemungkinan”(Sein und Zeit, paragraf 31, 145). Mengatakan bahwa mengerti mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan sebagai kemungkinan-kemungkinan sama dengan menyampaikan bahwa mengetahui pada ranah ontologis, ialah sesuatu yang menjadi pra-struktur pengertian pada ranah empiris, ditandai dengan kemampuan eksistensial kita untuk mendahului apa yang ada. Dalam arti ini mengetahui selalu visioner.
Di dalam Sein und Zeit dapat kita dapatkan sebuah tilikan menawan. Tarikan ke masa depan sudah dimulai dalam pra-struktur pemahaman. Hal itu terjadi dalam acara interpretasi. Seperti sudah disinggung kata Jerman untuk interpretasi yaitu Auslegung, yang mampu diartikan dengan kata-kata pembentuknya, adalah legen (meletakkan) aus (terbuka), menguak hal yang sebelumnya tersembunyi. Interpretasi dan mengetahui sesungguhnya yaitu satu dan sama, namun kerap dibedakan. Di dalam pengertian biasa , interpretasi tiba lebih dulu, dan gres kemudian muncul pengertian. Kita, contohnya, menafsir makna sebuah surat wasiat, kemudian kita memahaminya. Heidegger membalikkan kekerabatan itu: Pemahaman tiba lebih dulu, dan gres kemudian berkembang interpretasi. Mengapa demikian? Tak lain alasannya adalah memahami adalah cara berada kita, dan interpretasi bagi Heidegger ialah artikulasi langkah-langkah primordial itu, bukan kegiatan pribadi seorang ekseget. Juga di sini kita mendapatkan lingkaran hermeneutis dalam bentuk hubungan antara mengetahui (Verstehen) dan artikulasinya dalam interpretasi (Auslegung).
Artikulasi itu menjadi mungkin alasannya adalah seorang penafsir sejak awal, yaitu sejak cara beradanya, sudah terarah ke periode depan. “Tiga besar” dalam interpretasi yang dipaparkan dalam Sein und Zeit, ialah: Vorhabe, Vorsicht, dan Vorgriff, menawarkan bagaimana pra-struktur pemahaman yang telah kita diskusikan di atas semenjak permulaan telah mengarahkan seorang penafsir pada makna sesuatu untuk kala depan (Sein und Zeit, 150). Awalan vor- dalam bahasa Jerman berarti “sebelum”, tetapi juga mampu memiliki arti “mendahului”, maka awalan ini lebih mengacu pada proyeksi kurun depan (Entwurf) ketimbang mengacu pada wawasan a priori. Apa perbedaan antara wawasan a priori dan proyeksi? Pengetahuan a priori mencetak realita yang sudah ada, sedangkan proyeksi menyingkap realita di abad depan. Yang satu mereproduksi, sedangkan yang lain mengantisipasi. Dengan perbedaan ini Heidegger mempersoalkan tradisi Kantian wacana wawasan a priori itu (bandingkan Sein und Zeit, 150; baca juga Christina Lafont, 279). Tiga besar dalam interpretasi harus kita pahami dalam konteks proyeksi (Entwurf) yang dalam pandangan Heidegger memiliki peran yang sungguh sentral.
Mari kita lihat satu per satu. Vorhabe, kata Jerman yang memiliki arti “rencana”, diartikan sebagai “memiliki lebih dulu”. Sebagai penafsir kita sudah memiliki lebih dahulu pemahaman lazim tentang kenyataan yang akan kita interpretasi. Tanpa pengertian lazim itu, contohnya perihal apa itu tragedi dalam seni teater Yunani kuna, susah kita mulai interpretasi. Pemahaman biasa ini mendahului pengertian kita, contohnya, tentang Odipus Rex, bukan semata-mata sebagai wawasan a priori, melainkan selaku persepsi yang memproyeksikan makna bencana itu bagi era depan. Kata Vorsicht yang arti leksikalnya “kewaspadaan” diartikan sebagai “menyaksikan lebih dahulu”. Kita selaku penafsir menginterpretasi karya sastra itu dengan memproyeksikan maknanya bagi kurun depan. Akhirnya, kata Vorgriff yang berarti “persiapan” diartikan sebagai “menangkap lebih dulu”, adalah dengan desain, Begriff. Interpretasi beroperasi dengan rancangan-desain, contohnya, perihal fatwa-pedoman sastra, untuk menangkap maknanya bagi kala depan. Ketiganya bersama-sama “beroperasi” dalam acara interpretasi, maka dengan sempurna Lafont menamai pendirian Heidegger ini “pandangan proyektif ihwal interpretasi”, ialah persepsi bahwa tugas interpretasi bukanlah mencari obyektivitas, melainkan menyingkap makna bagi kurun depan (bandingkan Christina Lafont, 281).
SUMBER ARTIKEL;
[1] Makalah untuk kuliah ketiga Kelas Filsafat Seni Memahami: Hermeneutika dari Schleiermacher sampai Gadamer, Serambi Salihara, 18 Februari 2014, 19:00 WIB. Makalah ini telah disunting.
[2] F. Budi Hardiman yakni pengajar di STF Driyarkara, Jakarta. Ia menerima gelar doktor filsafat dari Hochschule für Philosophie, München. Ia menulis sejumlah buku wacana fatwa Jürgen Habermas, di antaranya Menuju Masyarakat Komunikatif (2009) dan Kritik Ideologi (2004); di samping Humanisme dan Sesudahnya (2012) dan Demokrasi Deliberatif (2009).
[3] Jean Grondin, Einführung in die philosophische Hermeneutik (Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1991), 119. Selanjutnya ditulis Einführung.
[4] Dalam Der Spiegel kita masih mampu memperoleh evaluasi-penilaian nyata atas keterlibatan itu.
[5] Baca Jean Grondin, Einführung zu Gadamer (Tübingen: Mohr Siebeck, 2000), 10. Selanjutnya ditulis Einführung zu Gadamer.
[6] Baca Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics (Durham: Acumen, 2006), 51. Selanjutnya ditulis Understanding Hermeneutics.
[7] Baca Martin Heidegger, Being and Time (Oxford: Blackwell, 2001), 51-55.
[8] Baca Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston: Northwestern University Press, 1969), 128. Selanjutnya ditulis Hermeneutics.
[9] Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1953), 336.
[10] Bagian yang membicarakan hal ini diberi judul “Das Da-sein als Verstehen” (Dasein selaku Memahami). Baca Martin Heidegger, Sein und Zeit (Tübingen: Max Niemeyer Verlag, 1967), 142 dan seterusnya.
[11] Tentang keseluruhan korelasi-relasi (Bewandtnisganzheit) yang darinya makna diketahui, kita bisa menumukan di dalam analisis atas alat (Zuhandenes) di dalam Sein und Zeit. Baca Sein und Zeit, paragraf 18.
[12] Dalam kalimat Heidegger sendiri, “Auslegung ist nie ein voraussetzungsloses Erfassen eines Vorgegebenen” (Interpretasi tidak pernah merupakan suatu pemahaman tanpa pra-andaian wacana apa yang ada). Baca Sein und Zeit, 150.
[13] Baca Michael Inwood, A Heidegger Dictionary (Oxford: Blackwell, 2000), 89.
[14] Baca Francisco Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian (Jakarta: KPG, 2004).