Oleh: Parmo (Pelanggan Koran Republika di Kota Tangerang)
Saya merupakan pembaca koran Republika sejak dua belas tahun kemudian, sejak berada di sekolah menengah pertama, di sebuah perpustakaan sekolah yg letaknya di desa, di pantai utara Jawa Tengah. Sejak saat itu, dr konten-konten yg pro Islam, saya menjadikan koran ini sebagai rujukan dlm hal pemberitaan.
Masuk ke sekolah menengah atas, membaca koran Republika masih menjadi kegiatan unggulan. Alhasil, ketika sobat-sahabat asyik menghabiskan masa di kantin sekolah, saya & beberapa teman asyik, dengan-cara bergiliran, membaca koran Republika di perpustakaan. Kadang, kami berebut cepat dgn penjaga perpustakaan, sebab sekolah cuma berlangganan satu eksemplar saban hari.
Republika pula kerap menghelat program-program nasional di berbagai daerah. Satu yg rutin & berskala besar, merupakan Dzikir Nasional di Masjid at-Tiin yg dilaksanakan di akhir & awal tahun Masehi. Selain menghadirkan tokoh-tokoh nasional, hadir pula dlm program itu penceramah-penceramah populer dr aneka macam lintas organisasi masyarakat kaum Muslimin.
Pun dgn buku-buku bergizi tinggi yg diterbitkan oleh jaringan Mahaka Group ini. Tulisan-tulisan inspiratif nan menggerakkan dr Buya Hamka, novel-novel islami besutan Tere Liye, Kang Abik, & penulis lainnya, seluruhnya menunjukkan bahwa media ini memang cocok untuk dijadikan tumpuan dlm memegang & mengikuti Islam & kebenaran.
Namun, ada sedikit ganjalan yg belakangan saya dapatkan. Meski mendapatkan dlm beberapa edisi terakhir, ada satu edisi koran Republika yg berdasarkan saya perlu dikritisi. Bukan selaku jago, cuma pembaca dr kampung (yang sekarang menetap di Kota Tangerang) yg sedang mencar ilmu peduli dgn Islam, kaum Muslimin, & semua yg berafiliasi dgn agama mulia ini, tergolong partai politik Islam.
Dalah koran edisi Sabtu, 16 januari 2016 yg bertepatan dgn 6 Rabi’ul Tsani 1437 Hijriyah, menurut saya, ada perlakuan tak adil dr koran pimpinan Erick Thohir ini terkait sikap kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) & Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Di halaman muka edisi itu, ada 1 info utama & 4 info lain. Terpajang besar di sampul wajah suatu info utama yg masih ada hubungannya dgn bom Sarinah (14/1) lalu. Redaksi memilih judul ‘Aktivitas Berjalan Normal’. Yang menarik, di sisi sebelah kiri (kolom 4) Republika memuat berita dgn judul ‘Saling bentak Fahri Hamzah & Penyidik KPK’.
Tidak tanggung-tanggung, dlm gosip yg mau tidak ingin menyeret nama PKS selaku partai yg mencalonkan Fahri Hamzah selaku anggota DPR RI ini, Republika mengutip beberapa pernyataan langsung Fahri Hamzah yg membentak penyidik KPK berjulukan HN Cristian.
Selain itu, informasi ini disajikan dgn panjang (bersambung ke halaman 9 dlm tiga kolom), jumlahnya sekitar 21 paragraf. Jika satu paragraf terdiri dr sekitar 30 kata, maka ada sekitar 630 kata yg dihidangkan pada pembaca Republika yg mayoritasnya kaum Muslimin, & banyak di antara mereka yg kader, simpatisan, bahkan petinggi PKS.
Berbeda dgn informasi yg nadanya miring kepada Fahri Hamzah & PKS tersebut, Republika justru ‘membela’ PDIP & kadernya yg tertangkap tangan oleh KPK. Ialah DWP yg foto profil akun facebook-nya berdampingan dgn Presiden Joko Widodo.
‘PDIP Resmi Pecat DWP’. Selain nadanya yg postitif bagi PDIP, isu tersebut terkesan sebagai sesuatu yg tak penting, dilihat dr penempatan halaman & jumlah santapan beritanya.
Republika hanya menaruh info korupsi kadernya Bu Megawati Soekarno Putri di halaman 9. Itu pun cuma tiga kolom kecil (kolom 1-3), sekitar 8 paragraf atau 210 kata.
Jika mau mundur ke belakang, sejatinya Republika sudah melakukan hal ini berulang kali. Misalnya, mereka meletakkan riak kecil antara Fahri Hamzah & PKS di dlm kolom tajuk. Padahal perkara itu selesai dlm duduk halaqah antara Fahri Hamzah & pimpinan-pimpinan PKS lainnya.
Dalam waktu serempak, Republika justru menampung Rakornas PDIP sebagai info utama dgn nada manis & memperlihatkan dengan-cara lengkap pidato sang Ketua Umum Megawati Soekarno Putri.
Menurut hemat saya, menurut penempatan halaman, panjang info, & nada kalimatnya, Republika (Sabtu 16/1) menganggap bahwa teriakan Fahri Hamzah pada penyidik KPK yg dibela oleh pakar sekelas Mahfudz MD & profesor lainnya lebih penting untuk dikenali publik dibandingkan dengan korupsi yg dilakukan oleh kader partai pendukung Jokowi-JK.
Mungkin saja, sebagaimana penampilan & hidangan koran yg selama ini banyak mendatangkan artikel Islam & kegiatan-kegiatan kaum Muslimin, Republika menilai bahwa PDIP lebih islami dr PKS, sehingga membela PDIP & ‘memukuli’ PKS.
Mudah-mudahan curahan hati pelanggan Republika ini berfaedah, minimal supaya tak ada dusta di antara kita.
Wallahu a’lam. [Parmo/Wargamasyarakat]
Editor: Pirman Bahagia