Tugas Filsafat Dalam Ilmu Kimia

PERAN FILSAFAT DALAM ILMU KIMIA
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, Segala puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini berjudul “ PERAN FILSAFAT DALAM ILMU KIMIA”. Makalah ini berisi ihwal relasi sinergi antara filsafat, filsafat ilmu wawasan dan ilmu kimia
Makalah ini merupakan goresan pena ilmiah untuk berpikir rasional dalam mengaitkan teori kefilsafatan dalam membangun aliran ilmiah dalam mencari kebenaran dalam bidang ilmu kimia. Ilmu kimia mesti ada pembuktian ilmiah. 
Penulis menyampaikan permintaan maaf kalau dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan. Penulis juga berharap sekali anjuran dan kritik yang bersifat konsktruktif, sehingga dapat memberikan motivasi bagi penulis agar lebih baik untuk kedepannya. Semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca kebanyakan. Mungkin hanya inilah yang dapat kami lakukan untuk dunia pendidikan
Metro, Awal Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENGANTAR
DAFTAR ISI
1.1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………………….. 1
1.2 Tujuan Penulisan………………………………………………………………. 4
1.3 Manfaat Penulisan……………………………………………………………… 4
II. PEMBAHASAN…………………………………………………………………………. 
2.1. Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu………………………….. 5
2.1.1 Zaman Periode Yunani Kuno…………………………… 5
2.1.2 Zaman Periode pertengahan……………………………. 6
2.1.3 Zaman Periode Kontemporer…………………………… 6
2.2. Tinjauan Umum Filsafat……………………………………………………… 6
2.3. Pengertian Filsafat ……………………………………………………………… 9
2.4. Filsafat Ilmu………………………………………………………………………… 11
2.5. Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan …………………… 
Pengetahuan Alam……………………………………………………………….. 13
2.6. Filsafat sebagai induknya Ilmu pengetahuan…………………………… 16
2.7. Filsafat kimia……………………………………………………………………… 19
2.7.1 Ilmu Kimia dalam Tinjauan Ontologi………………………….. 19
2.7.2 Ilmu Kimia dalam Tinjauan Epistemologi……………………. 20
2.7.3 Ilmu Kimia dalam Tinjauan Aksiologi…………………………. 22
III. Kesimpulan Dan Saran………………………………………………………………….. 27
Kesimpulan……………………………………………………………………………. 27
Saran………………………………………………………………………………………27
DAFATAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan yang di identikkan dengan filsafat di mulai sebelum kala ke -17, bahkan filsafat ialah bahasa lain dari Ilmu
pengetahuan pada ketika itu. Misalnya pertumbuhan filsafat di Yunani, yang seluruhnya hampir meliputi aliran teoritis para pemikir, artinya para ahli pada saat itu membuat wangsit dan pendapat yang nantinya dijadikan referensi dan anutan oleh orang lain. Pada permulaan era ke -17, munculah pemikiran gres wacana filsafat, yaitu pemisahan filsafat dengan ilmu wawasan.
Perkembangan ilmu wawasan semakin lama makin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akibatnya menimbulkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru. Bahkan ke arah ilmu wawasan yang lebih khusus lagi, seperti keutamaan-spesialisasi. Menurut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, alasannya wawasan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu lahir sebagai penerusan pengembangan filsafat wawasan. Filsafat ilmu selaku cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu utamanya diarahkan pada bagian-unsur yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu adalah: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ilmu kimia lahir dari keinginan para jago kimia untuk memperoleh balasan atas pertanyaan apa dan mengapa perihal sifat bahan yang ada di alam, yang masing-masing akan menciptakan fakta dan pengetahuan teoritis ihwal materi yang kebenarannya mampu diterangkan dengan logika matematika.
Jenis wawasan selalu memiliki ciri-ciri spesifik perihal apa (ontology), bagaimana (estimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, mustahil bahasan estimologi terlepas sama sekali dari ontology dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan versi berpikir sistematik, justru ketiganya mesti selalu dikaitkan
Ilmu kimia merupakan ilmu mengenal materi kimia. Bahan kimia bukanlah zat abstrak yang perlu ditakuti oleh manusia biasa. Bahan ini mencakup benda yang ada disekitar kita. Ilmu kimia yakni cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat bahan, perubahan suatu bahan menjadi materi lain, serta energi yang menyertai pergantian bahan. Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bertujuan mendapatkan zat-zat kimia yang eksklusif berguna bagi kesejahteraan umat manusia belaka, akan tetapi ilmu kimia dapat pula memenuhi keinginan seseorang untuk mengerti aneka macam peristiwa alam yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, mengenali hakikat bahan serta perubahannya, menanamkan sistem ilmiah, menyebarkan kesanggupan dalam mengajukan gagasan-gagasan, dan memupuk ketabahan serta ketelitian bekerja.
Kimia adalah ilmu ihwal bahan dan perubahannya. Materi itu sendiri yakni segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa. Semua materi berada dalam tiga wujud yakni, padat, cair dan gas. Hakikat ilmu kimia yakni bahwa benda itu mampu mengalami pergantian bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk lainnya sehingga terjadi pergantian letak susunan yang mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dari wujud/bentuk semula. Ilmu kimia lahir dari keinginan para andal kimia untuk mendapatkan balasan atas pertanyaan apa dan mengapa tentang sifat bahan yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan wawasan teoritis perihal materi yang kebenarannya mampu diterangkan dengan logika matematika.
Ilmu Kimia ialah salah satu ilmu-ilmu eksak yang telah tidak abnormal lagi di pendengaran masyarakat. Pemanfaatan ilmu kimia itu itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Setiap harinya, di mana pun itu, kita dapat mendapatkan proses kimia berlangsung serta hasil dari proses kimia tersebut. Baik itu manfaat yang diberikannya baik ataupun tidak bagi kita sendiri ataupun lingkungan serta penduduk .
Ilmu kimia itu sendiri terbagi menjadi beberapa bab, diantaranya yaitu Kimia Organik, Kimia Anorganik, Biokimia, Kimia Fisika, Kimia Nuklir (inti), Kimia terapan yang mencakup banyak ilmu-ilmu terapan, contohnya Kimia Polimer, Kimia Bahan Alam, Kimia Medisinal, dan lain-lain.
Persepsi masyarakat tentang kimia kebanyakan lebih terdengar negatif. Hal ini juga tidak bisa dipungkiri dari adanya andil kimia dalam penyebab beberapa kerugian yang diderita oleh penduduk . Misalnya saja limbah dari pabrik yang menimbulkan gangguan kesehatan, penggunaan materi-materi kimia berbahaya pada kuliner, hingga dengan penggunanaan ilmu kimia dalam menciptakan senjata pembunuh massal yakni bom atom.
Jika kita lebih bijak, maka semua kerugian itu dapat saja kita tanggulangi. Pada dasarnya ilmu itu ada bukan untuk merugikan insan tetapi sebaliknya. Oleh sebab itu, diangkatlah tema perihal ilmu kimia yang dikaji menurut ontology, epistimologi dan aksiologi semoga kita sungguh-sungguh mengenali apa bergotong-royong ilmu kimia tersebut.
Tujuan Penulisan
Pada makalah ini di berikan urain ilmia ihwal Filsafat ilmu bidang kimia dengan tujuan untuk menjadi pola dasar berpikir kimia dengan konsep pengertian filsafat ilmu guna mencari kebenaran dari apa yang kita rumuskan dan teliti terkait bidang ilmu kimia
Manfaat Penulisan
Penulisan ini berguna untuk lebih memahami ihwal filsafat, filsafat ilmu dan penerapan filsafat ilmu dalam bidang kimia dalam hal observasi, pembuatan teori dan kebenaran mutlak

II. PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Filsafat dan ilmu ialah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya pertumbuhan ilmu memperkuat eksistensi filsafat. Filsafat telah sukses mengubah pola fikir bangsa Yunani dan umat insan dari persepsi mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para tuhan. Karenanya para ilahi harus dihormatidan sekaligus ditakuti lalu disembah. Dengan filsafat, teladan fikir yang selalu tergantung pada tuhan diubah menjadi teladan fikir yang tergantung pada rasio.
Perkembangan sejarah filsafat di dunia barat dapat dibagi dalam empat periodisasi yaitu :
2.1.1 ZamanYunani Kuno atau era klasik,
Ciri pemikiran filsafat yaitu kosmosentris ialah para filosof periode ini mempertanakan asal-seruan alam semesta dan jagad raya. Pada era ini, orang Yunani berupaya memberikan deskripsi yang rasional dari persoalan-persoalan yang mereka hadapi, termasuk menimbang-nimbang perihal asal-mula amam semesta. Periode filsafat Yunani ialah era sangat penting alasannya terjadi pergeseran teladan fikir insan dari Mitnosentris ( Mengandalkan mitos untuk menerangkan fenomena alam) menuju Logosentris. Thales adalah orang pertama yang berupaya mencari jawaban atas pertanyaan wacana segala benda dalam alam ini sehingga ia dikenal selaku bapak filsafat. 
2.1.2 Zaman masa pertengahan
Pada kala ini, tradisi berpikir ( berfilsafat ) bersentuhan dengan tradisi agama (Teologi ). Ada 2 era di jaman pertengahan yaitu era skolastik Islam dan periode skolastik Kristen.
2.1.3 Zaman periode kontemporer
Pemikiran filsafat pada masa ini, dominan mengkritisi, memperbaiki, dan menyempurnakan pedoman-anutan filsafat pada era sebelumnya. Yang terpenting pada abad ini yakni membuatkan pendekatan interdisipliner. Filsafat sebagai “ibu” ilmu pengetahuan yang diperlukan dapat kembali mengarahkan “anak cucunya” selaku “kawan obrolan” dalam menyelesaikan problem aktual periode sekarang dan masa mendatang yang semakin kompleks ruang lingkupnya.
2.2 Tinjauan Umum Filsafat
Ditinjau dari segi historis, kekerabatan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami pertumbuhan yang sungguh menyolok. Pada awal sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” mencakup hampir seluruh pedoman teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan lainnya. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan lalu menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan hadirnya ilmu pengetahuan alam pada kala ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan fatwa Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dulu ilmu ialah bagian dari filsafat, sehingga definisi ihwal ilmu bergantung pada metode filsafat yang dianut.
Dalam kemajuan lebih lanjut berdasarkan Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri sudah mengantarkan adanya sebuah konfigurasi dengan menawarkan bagaimana “pohon ilmu wawasan” sudah berkembang mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, pertumbuhan ilmu wawasan semakin lama kian maju dengan hadirnya ilmu-ilmu baru yang pada risikonya memunculkan pula sub-sub ilmu wawasan gres bahkan kearah ilmu wawasan yang lebih khusus lagi seperti keutamaan-keutamaan. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu wawasan mampu dilihat selaku sebuah sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari istilah-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari banyak sekali macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) menyebarkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita mampu mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan kepada kehidupan insan, baik perorangan maupun sosial menjadi sungguh menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat keterkaitannya dengan cabang ilmu lainnya serta kian kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau mudah.
Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang yang lain, diharapkan sebuah bidang ilmu yang mampu menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh alasannya adalah itu, maka bidang filsafatlah yang mampu menangani hal tersebut. Hal ini senada dengan pertimbangan Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang bisa memperlihatkan batas-batas dan ruang lingkup wawasan insan secara sempurna. Oleh alasannya adalah itu Francis bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, alasannya adalah wawasan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu selaku penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu selaku cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu utamanya diarahkan pada bagian-unsur yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari wawasan biasa tentang ilmu atau ihwal dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat cukup umur ini tidak mampu meningkat dengan baik kalau terpisah dari ilmu. Ilmu tidak mampu tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip istilah dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah alasannya adalah terlibat dengan duduk perkara-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak dilema filsafati sekarang sungguh membutuhkan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas serta dikaitkan dengan persoalan yang penulis akan jelajahi, maka penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan wacana: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang pendidikan penulis ialah ilmu wawasan alam (MIPA – Kimia).
2.3. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy yang mempunyai arti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang biasa diterjemahkan selaku cinta kearifan. Akar katanya yakni philos (philia, cinta) dan sophia (kearifan). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat memiliki arti cinta kearifan. Namun, cakupan pemahaman sophia yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya mempunyai arti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, wawasan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal simpel (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pemahaman atau definisi-definisi wacana filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat mempunyai arti cinta kecerdikan. Maksud bergotong-royong ialah pengetahuan ihwal realita-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala faktor perilakunya mirip: nalar, akhlak, estetika dan teori pengetahuan. Kalau menurut tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos adalah Pytagoras (592-497 S.M.), adalah seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang memutuskan a2 + b2 = c2. Pytagoras menilai dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sebetulnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui selaku Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia ialah seorang Filsuf yang mendirikan pemikiran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat yaitu suatu penelaahan kepada alam semesta untuk mengetahui asal awalnya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999). Menurut sejarah kelahiran istilahnya, filsafat terwujud selaku sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu perilaku seorang yang cinta akal yang mendorong anggapan seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan fikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah terhadap kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk menerima kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat alasannya adalah insan merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, sebab masalah insan kian kompleks, maka tidak seluruhnya dapat dijawab oleh filsafat secara memuaskan. Jawaban yang diperoleh berdasarkan Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi adalah berpikir perihal pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua problem itu harus duduk perkara filsafat.
2.4. Filsafat Ilmu
Pengertian-pemahaman perihal filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The Liang Gie (1999), filsafat ilmu yakni segenap fatwa reflektif kepada masalah-dilema mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala sisi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu ialah suatu bidang wawasan adonan yang keberadaan dan pemekarannya bergantung pada kekerabatan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari goresan pena ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat wawasan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu setiap saat ilmu itu berganti mengikuti pertumbuhan zaman dan kondisi tanpa meninggalkan pengetahuan usang. Pengetahuan usang tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (selaku teori) yaitu sesuatu yang senantiasa berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan pandangannya pada seni manajemen pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan hingga pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja kegunaan atau kemanfaatan ilmu, namun juga arti maknanya bagi kehidupan manusia (Koento Wibisono dkk., 1997). Oleh karena itu, dibutuhkan perenungan kembali secara fundamental perihal hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap perenungan yang fundamental, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam daerah filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu sisi mampu didefinisikan selaku ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang ialah salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang berusaha untuk mengetahui apakah hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan bahwa hakekat ilmu menyangkut problem iktikad ontologik, ialah sebuah akidah yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan wacana apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga seseorang akan menentukan persepsi yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sungguh menentukan dalam penyeleksian epistemologi, ialah cara-cara, paradigma yang mau diambil dalam upaya menuju target yang mau dijangkaunya, serta penyeleksian aksiologi ialah nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang hendak dipergunakan dalam seseorang membuatkan ilmu.
Dengan mengerti hakekat ilmu itu, berdasarkan Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah diketahui bahwa perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya, keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu, dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk mengerti kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, akal validasinya, struktur ajaran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan intelektualnya.
2.5 Filsafat Ilmu selaku Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah rantai sebagai perbandingan, menerangkan bahwa fungsi filsafat ilmu wawasan alam yakni menyebarkan pengertian wacana taktik dan taktik ilmu wawasan alam. Rantai tersebut sebelum tahun 1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu wawasan alam di ujung lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan simpel dalam menurunkan aturan-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu pengetahuan alam yakni menjembatani putusnya rantai tersebut dan memperlihatkan bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip biasa ilmu wawasan alam. Filsafat ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan persepsi dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan alam, filsafat dan kemanusian memiliki kekerabatan akrab.
Sastrapratedja (1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara mendasar dan struktural diarahkan pada buatan pengetahuan teknis dan yang dapat dipakai. Ilmu pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur tindakan instrumentasi, yakni tindakan yang ditujukan untuk mengatur kondisi eksternal manusia. Ilmu wawasan alam terkait dengan kepentingan dalam meramal (memprediksi) dan mengatur proses alam. Positivisme menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan ilmu wawasan alam.
Menurut Van Melsen (1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu melukiskan realita berdasarkan faktor-aspek yang mengijinkan registrasi inderawi yang pribadi. Hal kedua yang penting perihal pendaftaran ini ialah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini pendaftaran itu tidak menyangkut pengamatan kepada benda-benda dan tanda-tanda-tanda-tanda alamiah, sebagaimana spontan dihidangkan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu memungkinkan suatu analisis jauh lebih cermat terhadap banyak aspek yang dalam observasi konkrit selalu terdapat gotong royong. Tanpa observasi eksperimental kita tidak akan tahu menahu wacana elektron-elektron dan bagian-bagian elementer yang lain
Ilmu pengetahuan alam mulai bangkit sendiri semenjak periode ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste Comte mengadakan penggolongan ilmu wawasan. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996), sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menawarkan bahwa tanda-tanda-tanda-tanda dalam ilmu wawasan yang paling biasa akan tampil apalagi dahulu. Dengan mempelajari tanda-tanda-tanda-tanda yang paling sederhana dan paling lazim secara lebih damai dan rasional, kita akan menemukan landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berhubungan untuk dapat meningkat secara lebih singkat. Dalam penggolongan ilmu wawasan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia, Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat
Penggolongan tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).
Pada pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi yakni bagian dari golongan ilmu wawasan alam.
Ilmu kimia ialah suatu ilmu yang mempelajari perubahan bahan serta energi yang menyertai perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik, kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira ialah ilmu yang berhubungan dengan aturan gejala komposisi dan dekomposisi dari zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (pengamatan) dan percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan nama/perumpamaan filsafat alam bagi ilmu wawasan alam. Hal ini mampu dilihat dari judul karya utama dari aktivis andal kimia adalah John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah berargumentasi bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari relasi dengan ilmu induknya yakni filsafat. Untuk itu dibutuhkan uraian ini mampu memberikan dasar bagi para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan dalam pengembangan ilmu IPA berikutnya.
2.6 Filsafat sebagai induknya Ilmu wawasan
Beberapa mahir filsafat menjelaskan bahwa filsafat itu adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dahulu pada mulanya filsafat meliputi semua ilmu yang ada pada zamanya: politik, ekonomi, aturan, seni, dan sebagainya. Akan namun usang kelamaan dengan intensifnya usaha-perjuangan yang bersifat empiris dan eksperimental terciptalah satu persatu ilmu yang khusus memecahkan satu bidang duduk perkara. Sehingga terwujudlah banyak sekali ilmu pengetahuan yang mendasarkan penyelidikannya secara empiris dan eksperimental dan terlepaslah dari filsafat sebagai induknya. Tetapi dengan hadirnya ilmu-ilmu tidak mempunyai arti telah lenyaplah keberadaan filsafat dan fungsinya. Filsafat masih tetap eksis dan mempunyai fungsi sendiri yang tidak mampu digantikan oleh ilmu pengetahuan. Garapan filsafat berlawanan dengan garapan ilmu pengtahuan dan masing-masing diperlukan. Dalam kenyataan, setiap ilmu memerlukan filsafatnya. Ada ilmu hukum ada pula filsafat aturan, ada ilmu pendidikan ada pula filsafat pendidikan.
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa bimbang dan filsafat dimulai dari keduanya. Dalam berfilsafat kita didorong untuk mengetahui apa yang kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Filsafat dalam pandangan tokoh-tokoh dunia diartikan sebagai berikut:
  1. Plato (427 – 348 sm), filsafat ialah ilmu wawasan yang berhasrat meraih kebenaran yang asli
  2. Aristoteles (382 – 322 sm), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mencakup kebenaran yang terkandung dalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, ekonomi, politik dan estetika 
  3. Al Kindi (801 – ……m), filsafat adalah wawasan tentang realisasi segala sesuatu sejauh jangkauan kemampuan manusia
  4. Al Farabi (870 – 950 m), filsafat yaitu ilmu pengetahuan ihwal alam wujud bagaimana hakikat bahu-membahu.
  5. Prof. H. Muhammad Yamin, filsafat adalah pemusatan fikiran, sehingga insan menemui kepribadiannya. Di dalam kepribadiannya itu dialami sebenarnya.
  Pemahaman Tata Cara Penetapan Harga Break Even (Break Even Pricing)
Dalam kamus Bahasa Indonesia, filsafat mampu diartikan sebagai berikut 
Teori atau analisis logis tentang prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan, pemikiran pengetahuan, sifat alam semesta. 
Prinsip-prinsip umum perihal sebuah bidang pengetahuan. 
Ilmu yang berintikan logika ,estetika, metafisika, dan epistemology 
Falsafah. 
Tujuan filsafat yakni menghimpun wawasan manusia sebanyak mungkin dan mempublikasikan serta mengendalikan semua itu dalam bentuk sistematik. Dengan demikian filsafat memerlukan analisa secara hati-hati kepada akal sehat-pikiran sehat sudut pandangan yang menjadi dasar sebuah tindakan. Semua ilmu baik ilmu sosial maupun ilmu alam bertolak dari pengembangannya yakni filsafat. Pada awalnya filsafat berisikan tiga segi, yaitu
  • Apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (nalar);
  • Mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (budpekerti);
  • Apa yang tergolong indah dan apa yang tergolong buruk (estetika).
Kemudian ketiga cabang utama itu berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang kajian yang lebih spesifik. Cabang-cabang filsafat tersebut antara lain meliputi:
  • Epistemologi (Filsafat Pengetahuan)
  • Etika (Filsafat Moral)
  • Estetika (Filsafat Seni)
  • Metafisika
  • Politik (Filsafat Pemerintahan)
  • Filsafat Agama
  • Filsafat Ilmu
  • Filsafat Pendidikan
  • Filsafat Hukum
  • Filsafat Sejarah
  • Filsafat Matematika
Ilmu tersebut pada tahap selanjutnya menyatakan diri otonom, bebas dari konsep-konsep dan norma-norma filsafat. Namun demikian saat ilmu tersebut mengalami kontradiksi-pertentangan maka akan kembali kepada filsafat sebagai induk dari ilmu tersebut. Oleh sebab itu, mengapa filsafat sering disebut para andal selaku induk dari semua ilmu pengetahuan di mana ilmu tersebut selalu berkaitan dengan filsafat selaku sumber acuan.

2.7 Filsafat Kimia
2.7.1. Ilmu Kimia dalam Tinjauan Ontologi
Nama ilmu kimia berasal dari bahasa Arab, yakni al-kimiya yang artinya pergeseran materi, oleh ilmuwan Arab Jabir ibn Hayyan (tahun 700-778). Ini berarti, ilmu kimia secara singkat mampu diartikan selaku ilmu yang mempelajari rekayasa materi, adalah mengganti materi menjadi materi lain. Secara lengkapnya, ilmu kimia ialah ilmu mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, pergantian serta energi yang menyertai perubahan suatu zat atau materi. Zat atau bahan itu sendiri ialah segala sesuatu yang menempati ruang dan mempunyai massa
Susunan bahan meliputi komponen-unsur pembentuk bahan dan perbandingan tiap komponen tersebut. Struktur bahan mencakup struktur partikel-partikel penyusun suatu bahan atau menggambarkan bagaimana atom-atom penyusun materi tersebut saling berikatan. Sifat bahan meliputi sifat fisis (wujud dan performa) dan sifat kimia. Sifat suatu materi dipengaruhi oleh : susunan dan struktur dari bahan tersebut. Perubahan materi meliputi perubahan fisis/fisika (wujud) dan pergeseran kimia (menciptakan zat gres). Energi yang menyertai pergeseran bahan = menyangkut banyaknya energi yang menyertai sejumlah bahan dan asal-permintaan energi itu.
Ini memiliki arti bahwa faktor ontologi dari ilmu kimia adalah:
  • Konsep kimia, yang bermakna kimia yakni ilmu yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, pergantian serta energi yang menyertai perubahan sebuah materi
  • Objek studi dari ilmu kimia adalah zat atau bahan.
  Pemahaman Westernisasi Untuk Dapat Menyeleksi Kebudayaan Barat
Bagian yang paling penting dari ilmu kimia yaitu mempelajari reaksi kimia, perubahan yang terjadi kalau senyawa kimia berinteraksi membentuk suatu senyawa gres yang berlainan. Reaksi kimia merupakan sebuah hal yang menakjubkan untuk diteliti dan ialah bab yang mengasyikkan dari ilmu kimia untuk mengamati terjadinya reaksi kimia.
Hakekat ilmu kimia ialah benda itu bisa mengalami pergantian bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk lainnya sehingga terjadi deformasi, pergeseran letak susunan, ini mempengaruhi sifat-sifat yang berlainan dengan wujud yang semula.
2.7.2. Ilmu Kimia dalam Tinjauan Epistimologi
Epistimologi ilmu ialah mengatakan perihal bagaimana ilmu itu diperoleh dan dikembangkan. Ilmu kimia ialah ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan menurut percobaan (induktif) namun pada kemajuan selanjutnya ilmu kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif).
Ilmu kimia dikembangkan oleh mahir kimia untuk menjawab pertanyaan “apa” dan “mengapa” tentang sifat materi yang ada di alam. Pengetahuan yang lahir dari upaya untuk menjawab pertanyaan “apa” ialah sebuah fakta bahwa sifat-sifat bahan yang diperhatikan sama oleh setiap orang akan menciptakan wawasan deskriptif yang diperoleh dengan merancang percobaan dan melakukan eksperimen. Sedangkan pengetahuan yang lahir untuk menjawab pertanyaan “mengapa” suatu bahan mempunyai sifat tertentu akan menciptakan wawasan yang teoritis. Pengetahuan ini diperoleh lewat tindakan ilmiah sehingga muncul dan diciptakannya suatu teori. Teori yang telah didapatkan akan terus dibuktikan oleh peneliti lain demi memperkuat teori tersebut atau mungkin menyempurnakannya. Teori yang sudah mendekati tepat akan diakui. Berikut adalah bagaimana ilmu kimia dikembangkan.
2.7.3. Ilmu Kimia dalam Tinjauan Aksiologi
Aksiologi ilmu membicarakan ihwal nilai atau kebermanfaatan sebuah ilmu. Ilmu kimia mirip halnya ilmu-ilmu lainnya memiliki faedah apabila dipelajari oleh siapapun. Manfaat dari mempelajari ilmu kimia mencakup :
  • Pemahaman kita menjadi lebih baik kepada alam sekitar dan aneka macam proses yang berlangsung di dalamnya.
  • Mempunyai kemampuan untuk mengolah bahan alam menjadi produk yang lebih berkhasiat bagi manusia.
  • Membantu kita dalam rangka pembentukan sikap.
  Pengertian Peta Dan Penjelasannya
Secara khusus, ilmu kimia memiliki peranan sungguh penting dalam bidang : kesehatan, pertanian, peternakan, aturan, biologi, arsitektur dan geologi. Pada bidang kesehatan contohnya adalah ditemukannya obat-obatan dari proses kimia yang mampu membantu dalam proses pemulihan terhadap sebuah penyakit.
Dibalik sumbangannya yang besar bagi kehidupan kita, secara jujur harus diakui bahwa perkembangan ilmu kimia juga memperlihatkan efek negatif bagi kehidupan insan. Contohnya materi pangan yang beredar di tengah penduduk yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti : tahu, bakso yang mengandung bahan formalin, pengawet. Krupuk yang kita konsumsi pun tak luput dari materi racun kimia “boraks”. Bahkan, minuman es di kantin-kantin maupun yang dijual dipinggir jalan diindikasikan bahwa bahan pewarnanya tak lain ialah bahan yang dipakai untuk pewarna kain. Produk kecantikanpun tak luput dari penggunaan racun-racun berbahaya, mercuri, yang berakibat paling fatal yakni akhir hayat serta masih banyak lagi manfaat negatif dari ilmu kimia.
Dampak negatif dari ilmu kimia ada alasannya para pelaku tersebut paham desain dan proses ilmu yang didapatkan tetapi tidak mempedulikan nilai dari ilmu tersebut, sehingga ilmu yang ditemukan cuma akan menenteng kerugian bagi masyarakat. Jika setiap insan menemukan ilmu dengan menatap daerah aksiologi, maka ilmu tersebut akan memiliki nilai yang tinggi. Contohnya yakni tentang peluruhan atom yang mampu dimanfaatkan oleh insan untuk tujuan tertentu. Peluruhan atom telah dimengerti oleh ilmuwan, bahwa dalam proses peluruhan atau fisi suatu unsur akan disertai pelepasan energi beberapa elektron yang pastinya mampu dimanfaatkan, misalkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Ilmu kimia ialah ilmu mengenal materi kimia. Bahan kimia bukanlah zat abstrak yang perlu ditakuti oleh manusia biasa. Bahan ini meliputi benda yang ada disekitar kita. Ilmu kimia yaitu cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari struktur bahan, sifat-sifat materi, pergeseran sebuah materi menjadi materi lain, serta energi yang menyertai perubahan bahan. Mempelajari ilmu kimia tidak hanya bermaksud menemukan zat-zat kimia yang eksklusif bermanfaat bagi kesejahteraan umat insan belaka, akan namun ilmu kimia mampu pula memenuhi harapan seseorang untuk mengerti aneka macam kejadian alam yang didapatkan dalam kehidupan sehari-hari, mengetahui hakikat materi serta perubahannya, menanamkan metode ilmiah, berbagi kemampuan dalam mengajukan ide-gagasan, dan memupuk kesabaran serta ketelitian bekerja.
Kimia yaitu ilmu tentang bahan dan perubahannya. Materi itu sendiri adalah segala sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa. Semua bahan berada dalam tiga wujud adalah, padat, cair dan gas. Hakikat ilmu kimia adalah bahwa benda itu mampu mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi pergantian letak susunan yang mempengaruhi sifat-sifat yang berlainan dari wujud/bentuk semula.
Ilmu kimia lahir dari harapan para andal kimia untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan apa dan mengapa tentang sifat bahan yang ada di alam, yang masing-masing akan menghasilkan fakta dan pengetahuan teoritis tentang bahan yang kebenarannya dapat dijelaskan dengan akal matematika. Jenis pengetahuan selalu mempunyai cirri-ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana (estimologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan, tidak mungkin bahasan estimologi terlepas sama sekali dari ontology dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistematik, justru ketiganya mesti selalu dikaitkan.
Filsafat adalah pengetahuan ihwal segala apa yang ada. Filsafat memberi balasan atas pertanyaan “apakah hakikatnya segala yang ada di atas bumi dan dikolong langit?”. Segala apa yang ada ini dapat dibagi dalam dua bagian, adalah benda hidup dan benda mati. Benda hidup berupa berkembang-flora, hewan dan manusia. Benda mati berbentukcangkir, piring, meja, batu dan sebagainya. Makara segala apa yang ada cuma berisikan benda hidup dan benda hidup dan benda mati.
Benda mati tidak bergerak, dan tidak mengalami perubahan kecuali bila digerakkan dan dirubah oleh benda lain. Sedangkan benda hidup bergerak dan mengalami perubahan walaupun tidak digerakkan atau dirubah oleh benda lain. Dengan demikian maka gerak dan pergeseran itu bersifat langsung. Wujud satuan benda jadi yakni hewan, insan, meja, kursi dan sebagainya. Wujud manusia selaku benda disebut badan (raga). Raga manusia selalu mampu bergerak sendiri dan mampu mengalami perubahan sesuai keinginannya, baik dalam hal pergantian sifatnya, bentuk dan energi yang dihasilkan. Jika raga itu tidak mampu lagi bergerak sendiri dan melakukan perubahan, maka raga itu disebut mati.
Perubahan ada dua adalah pergeseran fisika dan pergeseran kimia. Perubahan fisika ialah pergeseran yang tidak menghasilkan zat gres, yang berubah hanyalah bentuk dan wujudnya tanpa mengubah jenis dan sifat zat tersebut. Sedangkan perubahan kimia ialah pergantian yang menghasilkan zat baru, berubah sifat dan susunannya.
Benda mati ini apabila mengalami pergeseran tidak akan mengubah sifat dan jenisnya, cuma berubah bentuk dan wujudnya saja. Misalnya kayu yang sudah di bentuk atau dimasak oleh seseorang menjadi dingklik atau meja, yang berubah hanyalah bentuk dari kayu itu yang semula berupa panjang lingkaran, sesudah dimasak berupa meja dan bangku yang memiliki kaki, sifat dari benda itu tetap yakni kayu. Lain halnya dengan benda hidup seperti insan, binatang dan tumbuh-tanaman. Disini insan sama halnya dengan pergantian kimia yang mengalami pergantian menciptakan zat baru, berubah sifat dan bentuknya. Misalnya bayi yang gres lahir dengan bentuk yang kecil dan cuma mampu menangis dan menggerakkan tangan dan kaki, tetapi sehabis bayi itu berkembang remaja maka otomatis bentuk tubuh dan sifatnya berubah. Energy yang dikeluarkannya juga lebih banyak seiring dengan aktivitas/pekerjaan yang dia lakukan.
Energy ialah sesuatu yang mempunyai kesanggupan untuk melaksanakan usaha, tidak dapat diperhatikan langsung keberadaannya, namun dapat diamati akhir yang ditimbulkan.
III. KESIMPULAN
  • Berdasarkan uraian di atas, maka ditarik kesimpulan bahwa filsafat ilmu sangatlah sempurna dijadikan landasan pengembangan ilmu utamanya ilmu wawasan alam bidang kimia, karena kenyataanya, filsafat ialah induk dari ilmu wawasan alam. 
  • Hakikat dari ilmu kimia yaitu benda itu mampu mengalami pergeseran bentuk, baik itu susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain maupun perubahan letak susunan yang mana hal ini mensugesti sifat-sifat yang berlawanan dengan wujud yang semula. 
  • Ilmu Kimia ada sebab untuk menjawab pertanyaan “apa” dan “mengapa” ihwal materi yang diperhatikan. 
  • Ilmu Kimia secara aksiologi adalah berhubungan dengan kebermanfaatan dari ilmu kimia tersebut yang dikaitkan dengan etika insan yang menggunakannya. Ilmu kimia akan bermanfaat jikalau watak manusia yang menggunakannya baik, dan ilmu kimia akan mendatangkan kerugian jika moral insan yang menggunakannya tidak baik.
2. Saran
Saran yang diberikan berkaitan dengan topic yang diambil adalah ilmu kimia ialah ilmu yang berfaedah bagi manusia jikalau dimanfaatkan secara benar dan sempurna. Benar dalam hal sesuai dengan fungsinya dan tepat dalam hal komposisinya.
DAFTAR PUSTAKA
  • Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”, Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
  • Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara, Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
  • Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”, Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16
  • Nuchelmans, G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,
  • Relevansi Filsafat dalam Pengembangan Ilmu Kimia (Wilayah Aksiologi).