BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Islam yaitu satu-satunya agama yg tepat yg menertibkan seluruh sendi kehidupan insan & alam semesta. Kegiatan perekonomian insan pula diatur dlm Islam dgn prinsip illahiyah. Harta yg ada pada kita, sebetulnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dr Allah swt biar dimanfaatkan sebaik mungkin demi kepentingan umat manusia yg pada kesannya semua akan kembali pada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Islam yaitu metode kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat aturan yg lengkap bagi kehidupan insan, termasuk dlm bidang ekonomi. Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam potongan tak terpisahkan (integral) dr agama Islam. Sebagai derivasi dr agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dlm aneka macam aspeknya. Ciri khas ekonomi Islam adalah tak memisahkan antara norma & fakta, serta desain yg rasional.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam?
2. Bagaimana Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam?
3. Bagaimana Perkembangan Praktik Ekonomi Islam?
4. Bagaimana Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Perkembangan ekonomi Islam yaitu wujud dr upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kemakmuran & kemakmuran bagi alam semesta, tergolong insan di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja & pemilik modal, tak ada eksploitasi sumber daya alam yg berujung pada kerusakan ekosistem, tak ada bikinan yg hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yg tak terlalu dalam, tak ada konsumsi yg berlebihan & mubadzir, tak ada korupsi & mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, & tak ada tipuan dlm jual beli & muamalah yang lain. Dalam keadaan tersebut, insan menemukan harmoni dlm kehidupan, kebahagiaan di dunia & insya Allah di kehidupan sehabis akhir hayat nantinya.
Ekonomi Islam yg ada sekarang, teori & praktik, ialah hasil konkret dr upaya operasionalisasi bagaimana & melalui proses apa visi Islam tersebut mampu direalisasikan. Walau mesti diakui bahwa yg ada kini belum merupakan bentuk ideal dr visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yg semestinya mengemban visi tersebut, dikala ini distigmakan selaku teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yg lain tak henti-hentinya saling mewaspadai, berburuk sangka, berperang & bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam yaitu salah satu harapan untuk merealisasikan visi Islam tersebut. Hal ini lantaran ekonomi Islam yakni satu bentuk integral dlm mewadahi, sebagaimana dinyatakan Masrhal[1], dua kekuatan besar yg mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi & agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dlm satu wadah ekonomi Islam yaitu merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu & bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid yakni menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran & pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar & menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam sebaiknya tak ditemukan pertentangan antara dua hal, yg terlebih mensugesti eksklusif-pribadi muslim menjadi eksklusif yg pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dlm Islam berasal dr ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yg telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, & janganlah ananda melewatkan bahagiaanmu dr (kenikmatan) duniawi & berbuat setuju (kepada orang lain) sebagimana Allah sudah berbuat baik kepadamu, & janganlah ananda berbuat kerusakan di (paras ) bumi. Sesungguhnya Allah tak menyukai orang-orang yg berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dr bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dlm bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dr dua wujud yg saat ini sudah meningkat , yaitu wujud teori ekonomi Islam & praktik ekonomi Islam.
2.2 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI ISLAM
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dr diturunkannya ayat-ayat perihal ekonomi dlm al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 & 279 tetang jual-beli & riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 wacana pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 & 10 tentang pengaturan penelusuran, penitipan & membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, berdasarkan At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah memutuskan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) & dilanjutkan dengan-cara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yg timbul pun belum beragam. Hanya saja yg sungguh subtansial dr perkembangan fatwa ini ialah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dr sejak masa nabi sampai sekarang mampu dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), ajaran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi Islam dr beberapa pemikir di atas sebagai berikut :
1. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), ialah pengagas permulaan pemasaran suatu komoditi dengan-cara kredit dgn harga yg lebih tinggi dr harga tunai.[5]
2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih diketahui selaku imam madzhab hukum yg sungguh rasionalistis, Ia pula menggagas keabsahan & kesahihan aturan kontrak jual beli dgn apa yg diketahui remaja ini dgn bay’ al-salām & ah%al-murābah.[6]
3. Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yg berasal dr Beirut, Libanon & hidup sezaman dgn Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dlm ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan & kesahihan sistem muzara’ah sebagai belahan dr bentuk mura`bahah & mengijinkan peminjaman modal, baik dlm bentuk tunai atau sejenis.[7]
4. Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih diketahui selaku penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, & Imam Madzhab aturan. Namun, ia pun memiliki fatwa orisinal di bidang ekonomi, mirip: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kemakmuran rakyatnya. Para pengusaha mesti peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dlm ilmu aturan Islam yg diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dlm filsafat Barat yg di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan & John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yg mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bareng .[8]
5. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf ialah seorang hakim & teman Abu Hanifah. Ia diketahui dgn panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim & diketahui perhatianya atas keuangan lazim serta perhatianya pada kiprah negara, pekerjaan lazim, & pertumbuhan pertanian.[9] Ia pun diketahui selaku penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berlainan dgn karya Abu ‘Ubayd yg tiba kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dlm pengantarnya, ditulis atas permohonan dr penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dgn tujuan untuk menyingkir dari kedzaliman yg menimpa rakyatnya serta menghadirkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10] Sedangkan anutan kontroversialnya ada pada pandanganya yg menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas dengan-cara lebih rinci dgn menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dlm mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dijalankan oleh pemerintah & kapan tidak, & bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[11]
6. Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat hewan atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara harapan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar keperluan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau penduduk komunis; Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
7. Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dlm karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dgn enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya & hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan selaku karya klasik dlm bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dgn merekam sejumlah ayat Al-Quran & Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, misalnya, diawali dgn mengutip hadis yg menyatakan bahwa agama itu yaitu kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yg menyatakan bahwa setiap orang ialah “penggembala” yg bertanggungjawab atas gembalaanya yg dengan-cara tegas dicontohkan: seorang pemimpin yaitu penggembala rakyatnya & bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri yakni penggembala & bertanggung jawab atas rumah suaminya & anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya & bertanggung jawab atasnya.
8. Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:
a. insan adalah makhluk berekonomi;
b. ekonomi membutukan negara;
c. perkembangan ekonomi melalui kemajuan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, & ekonomi negara;
d. ekonomi negara ia beropini bahwa tujuan politik negara mesti diarahkan pada keseragaman seluruh masyarakat dlm merealisasikan perekonomian & kestabilan ekonomi mesti dijaga;
e. Prinsip yg lain yakni arta milik berasal dr warisan & hasil kerja;
f. wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi berdasarkan jalannya yg sah;
g. pengeluaran & pendapatan harus dikontrol dgn anggaran;
h. pengeluaran wajib atau nafaqah yg sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (penduduk & negara) yg sifatnya wajib pula harus dicukupkan dgn hati yg iklas;
i. setiap orang mesti mempunyai rencana simapanan yg menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau ketika dibutuhkan.[13]
9. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yg lebih dikenal sebagai sufi & filosof serta pengkritik filsafat ternama ini menyaksikan bahwa:
a) pertumbuhan ekonomi bertolak dr hd) akikat dunia terdiri dr 3 unsur, yakni materi, insan & pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b) kemajuan ekonomi perlu adanya transportasi;
c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;
d) kemajuan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu relasi jasa di antara insan;
e) perlu adanya pemerintah;
f) mata duit negara Islam;
g) perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba;
h) Dua jalur transaksi perbankan, langsung & negara.[14]
10. Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15] yakni pakar dr kubu Syafi’iyyah yg menyatakan bahwa institusi negara & pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia & agama atau urasan spiritual & temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, patokan-kriteria kepala negara dlm karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas & fungsi pemerintah & negara yg dibebankan di atas bahu kepala negara yakni untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik dengan-cara spiritual (ibadah), ekonomi, politik & hak-hak perorangan (privat: hak Adami) dengan-cara berimbang dgn hak Allah atau hak publik. Tentu saja tergolong di dalamnya ialah pengelolaan harta, lalu lintas hak & kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang & jasa, distribusi serta konsumsinya yg kesemuanya ialah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11. Tusi (1201-1274). Tusi ialah penulis buku dlm bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yg menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, & alat-alatnya sendiri, tentu ia tak akan dapat bertahan hidup karena tak akan mempunyai masakan yg cukup untuk jangka usang.
12. Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dlm kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi & kiprah pemerintah selaku pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yg ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi cuilan dr seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik aturan publik & privat).[16]
13. Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih diketahui sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tak mengabaikan perhatianya dlm bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[17] tak membicarakan bidang ini dlm bagian tertentu, namun ia membahasnya dengan-cara awut-awutan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas ketimbang definisi TusiDi Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen penduduk mulai dr mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yg sudah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam sudah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada & Universitas Brawijaya.[18]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yg menulis buku ekonomi Islam & banyak dijadikan referensi (dengan tak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yg lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dgn kemajuan pedoman ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yg memulai membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam yakni UNAIR dgn S-3 ekonomi Islam, UII dgn Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dgn Jurusan Muamalahnya (1997).
2.3 PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM
Praktek perbankan di zaman Rasulullah & Sahabat telah terjadi dikarenakan telah ada forum-forum yg melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:
1) mendapatkan tabungan uang;
2) meminjamkan duit atau menunjukkan pembiayan dlm bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah & musaqah;
3) memberikan jasa pengantaran atau transfer uang.
Istilah-ungkapan fiqh di bidang ini pun timbul & disangka berpengaruh pada perumpamaan teknis perbankan modern, seperti ungkapan qard yg mempunyai arti santunan atau kredit menjadi bahasa Inggris credit & perumpamaan suq jamaknya suquq yg dlm bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar & ditransfer ke dlm bahasa Inggris dgn sedikit perubahan menjadi check atau cheque dlm bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yg lazimnya sampaumur ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tak diketahui zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya sudah terealisasi dgn kesepakatan sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yg melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan meningkat setelah munculnya bermacam-macam jenis mata uang dgn kandungan logam mulia yg beragam. Dengan demikian, diperluan kemampuan khusus bagi mereka yg bergelut di bidang pertukaran duit. Maka mereka yg mempunyai kemampuan khusus itu disebut naqid, sarraf, & jihbiz[19] yg kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai terkenal pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932).[20] Sementara itu, suq (cek) dipakai dengan-cara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani selaku orang pertama yg mempublikasikan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dgn Alepo (Spanyol).[21]
Mengingat penting & strategisnya institusi & metode perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka banyak sekali upaya dijalankan jago ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, tetapi tak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan menjajal mendirikan forum perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yg relatif berhasil dijalankan oleh Mesir dgn mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yg disambut baik oleh para petani & masyarakat pedesaan. Namun, kesuksesan ini terhenti lantaran problem politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt & Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dgn dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga kesudahannya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, timbul kesadaran baru umat Islam untuk membuatkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam wacana ekonomi, kembali mendapat perhatian serius & menjelma disiplin ilmu yg berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir & muncul para ahli ekonomi syariah yg tangguh & mempunyai kapasitas keilmuan yg memadai dlm bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dr ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di aneka macam negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Momentum Indonesia Syariah Expo hendaknya mampu menyentakkan & membuka mata pemerintah untuk melirik & menerapkan ekonomi syariah selaku penyelesaian perekonomian Indonesia. Pemerintah mesti melihat ekonomi syari’ah dlm konteks evakuasi ekonomi Nasional. Sehubungan dgn itu, pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dgn memasukkan para pakar ekonomoi syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di Indonesia sudah memperlihatkan ketangguhannya di masa krisis & lagi pula dlm praktek perekonomian di Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan dual system, yakni konvensional & metode ekonomi syari’ah, terutama yg berkaitan dgn lembaga perbankan & keuangan.
3.2 SARAN
1) Semoga makalah yg dibuat oleh penyusun ada keuntungannya bagi pembaca khususnya bagi penulis.
2) Ekonomi syariah islam sudah terbukti dlm membangun ekonomi nasional jadi pemerintah mesti segera mempergunakan system ekonomi islam untuk mencapai keadilan & kemakmuran bagi rakyat.
3) Pemerintah jangan menetralisir system ekonomi islam pada era sekarang ini melainkan mesti terus mempertahankan ekonomi syariah islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l. Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
Adiwarman A. Karim, Refleksi & Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar & Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yg diterjemahkan ke dlm bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dlm Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh & Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta penerimaan kelompok santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur. Perkembangan Kopontren kian menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dr Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), & A. Karim (2001).
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dlm Mekanisme Pasar, makalah dihidangkan dlm Seminar Nasional yg diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dgn BAPPEBTI Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.com/aksesori/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217 tanggal 30 Nov 2006.