9 Contoh Puisi Iwan Simatupang

Iwan Simatupang & Contoh Puisinya – Siapakah Iwan SImatupang? Pastinya sobat telah mempelajari atau mengenal nama atau biografinya di sekolah. Sekedar menyegarkan kembali kenangan sahabat, Iwan Simatupang yg diketahui selaku sastrawan angkatan 50-60-an, merupakan sastrawan Indonesia yg lahir pada tanggal 18 Januari 1928 di Sibolga (Sumatra Utara). Setelah beranjak sampaumur, ia melanjutkan pendidikannya di banyak sekali perguruan tinggi, namun tak satu pun yg tamat. Beliau pernah mencar ilmu bidang ilmu kedokteran (Surabaya), berguru antropologi & filsafat di Leiden & Paris.

Jejak langkah Iwan selanjutnya adalah pernah menjadi Guru, Wartawan & Pengarang, yg hasil karyanya kebanyakan merupakan karya sastra abstrak, irrasional & filosofis. Hasil karangan ia nyaris semuanya bergenre sastra mirip Cerpen, Novel, Puisi, Drama, Esei & kritik sastra. Beliau wafat pada tanggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. 

Hasil dr proses inovatif Iwan Simatupang dlm dunia sastra Indonesia antara lain Merahnya Merah (1977), Kering (1972), Ziarah (1976), Koong, kisah ihwal seekor perkutut (1975), Tunggu Aku dipojok Jalan Itu, Jang Tak Terpadamkan (Cerpen 1965), Perang di Taman (Drama 1966), Tegak Lurus dgn Langit (Antologi Cerpen 1982) & Monolog Simpang Jalan.

Ingin mengenang kembali puisi-puisi pilihan Iwan Simatupang? Berikut kami sajikan 9 puisi opsi Iwan SImatupang yg bis teman baca & pahami kedalaman arti yg terkandung didalamnya.
Potret

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Tunggu! Sepulangku, perahu kita kayuh!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
belum jua pulang.

Kini dara sudah usang tak menanti lagi.
Langkah-langkah pelan, yg biasa datang
Menjelang tengah malam dr kebun belakang
Bawa cium & kembang –
Takkan lagi kunjung tiba.

Di sudut kamar seorang dara
Tergantung potret serdadu senyum:
“Jangan tunggu! Aku bangkai dlm bingkai!
Di atasnya salib: Pahlawan kasih yang
masih jua belum pulang.

Kini dara sudah usang dlm biara.

Ballade Kucing & Otolet


Di jalan ada bangke
Kucing digilas otolet

Darah
Ngeong tak sudah
Selebihnya:
Langit biru
Dan insan tergesa-gesa

Otolet makin rame
Di tuhan punya jalan

Bangke makin rata
Di aspal panas

Penumpang gigimas
Bercanda

Di Surga
Kucing pangku supir kaya
Dan cekik
Tuhan

Gemercik Gerimis di Retak Nisan


Pada satu kemarau berkepanjangan
Di kerajaan padang hanya padang
Bersabda baginda satu hari:

Dari semua degup & warna berlalu
Satu mesti utuh selalu:
Lembut & putih dr domba

Rakyat gembala segera gali sumur
Peras air dr lumpur
Penyiram hijau padang-padang

Tapi kemarau kian kering kian kering
Bilangan gembala makin tenang kian tenang
Domba kian kurus kian haus

  Puisi Periode Kecil Yang Indah Bareng Orang Bau Tanah Sobat

Pada sebuah hari gembala terakhir meninggal
Di sumur-sumur tak setitik air pun tinggal
Baginda & domba cuma di padang tandus kering

Kini baginda tukar singgasana dgn seruling
Domba demi domba ia iring
Cari hijau cari penjuru

Tapi kemarau makin kering kian kering
Bilangan gembala makin damai kian damai
Akhirnya cuma baginda yg tinggal

Di satu subuh bercuaca sangsai
Sampai baginda di satu pantai
Tanpa domba tanpa mahkota

Berakhir sekarang kasih dr singgasana kekeringan
Pada mula dr satu kebasahan
Sedang kemarau kian gerah, makin gerah

Di pantai ada kini nisan dr gembala bangsawan
Yang dlm menunggui kemarau berkepanjangan
– Kian retak makin retak

Akhirnya mengguntur guruh satu senja
Bawa berita dr kemarau mencerah
– gerimis sehembus hanya jatuh

Di jauhan, segumpal mendung iseng berlalu…


Apa Kata Bintang di Laut
Cerita buat Bayu Suseno, bayi Bu Tono

Jauh di pulau
ada seorang lanun
penguasa dr suatu selat
tak berbatas tak bertepi
tak berjulukan tak bersebut

Ia tuan tak bernobat
dari daerah tak berpunya
di mana kesunyian & kegemuruhan
bersipongah dlm suatu kisah
tak berawal tak rampung

Siap akrab siapa rapat
tujuh kali tiarap ditimba ruang
siapa lupa siapa alpa
nakhoda, pala & janda-janda
kena angin pusaran
atau pitam

Ia panglima dr suatu pasukan
tak berbilang tak bernegeri
ia sekutu dr segala hantu
datu angin kencang pengasuh pelangi

Ia berasal dr pegunungan
dari puncak mengabut selalu
– di mana jurang, tebing & bukit
berkisah sehari penuh dlm sepi menggelepar
tentang bayang memburu sinar
tentang redup memagut cuaca

– di mana air terjun dr tinggi menjulang
menghempas diri dlm suatu hisak
wacana titik yg demi titik
tiada jemu cari butir perhentian

– di mana bulbul sayu berseru
menghari siamang sepi kerinduan
dan angin lautan swara-swara
di suatu swarga tiada bidari

Ah, ini semua ia sudah lewati
di saat ia pada suatu hari
dapati orang pantai depan pintunya
bawa kabar:
“Ibumu tiada akan pulang lagi, kawan,
ia sudah dibawa pergi oleh orang-orang
datang merompak ke pekan nelayan
dan bawa segala gadis & janda
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak”

Sejak itu –
ia telah tempuh
jalan curam menungging pantai
yang ia selama ini hanya pandangi
bila ia terdiri curam atas tebing menghunjam
memagut sinar-sinar terakhir
dari mentari membenam diri
– yg ia selama ini tiada berani jalani
takut bertemu bota-bota
dari kisah-dongeng ibunya

  Puisi Pagi Yang Cerah Memperbesar Indahnya Hidup Ini

Sejak itu –
ia sudah tinggalkan puncak kelabu
dan pergi ke maritim lepas
segala selat ia telah harungi
segala teluk ia telah masuki
segala nakhoda ia sudah tanya
segala nelayan ia sudah sapa
tiada berita
tiada ibu

Sejak itu –
ia telah tetapkan
menjadi pencari larut
dari suatu penelusuran tak berkedapatan
dalam sebuah bumi tak bermentari
– menjadi pelalu sunyi
dari suatu jalan tak berkeakhiran
dalam sebuah gurun tak berkelengangan

Sejak itu –
ia telah putuskan
jadi mahir waris dari
ayah tiri yg ia tak kenal
pembawa lari ibunya dr pantai
dalam kapal layar berpanji hitam
berlambang tengkorak

Jauh di pulau
ada seorang lanun
anak orang utas di pegunungan
pencari kesunyian dlm kegemuruhan
pencari kegemuruhan dlm kesunyian

Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya

Irama dr ancaman & tragedi
Lagi-lagi gentayangan dr jauhan
Ah, kenapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang lingkaran ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?

Usah duga
Mana tugu ujung segala penelusuran
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dr bintang-gerhana –
Datang, datanglah kamu
Ziarahi gue dlm bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer…

Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah

Dengan senyum –
Seribu-akhir zaman

Merah Jambu Di Melati
Kepada Sitor Situmorang

Ada darah tiris
Dari hati atas melati
Satu satu

Ada melati berkembang
Diciuman segara dgn gurun
Jauh jauh

Darah beku
Melati layu
Tapal sayu

Ada murai atas cactus
Ada cactus dlm hati
Ada kicau berduri

Sunyi sunyi

Pengakuan

Aku ingin memberi pengesahan:

Bulan yg gerhana esok malam
sudah kutukar pagi ini
dengan wajah terlalu bersegi
pada beling yg retak oleh
tengadah derita pada esok

Kulecut hari berbusa merah

Jambangan di depan jendela terbuka
menyiram kesegaran pagi dengan
akreditasi:

esok yakni bulan purnama

Sungai Batanghari, 13 Agustus 1961

Requiem
Mengenang insan perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!

Aku tiada mampu katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
saya cuma tahu
kamu pergi berlangit merah mencerah

Sejak kamu pergi, tentara-kematian,
kami berkesulitan mengusir gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru sepanjang hari dlm suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami sekarang bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yg bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang makin tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami sekarang menimbang-nimbang
pengerahan gadis-gadis & orang renta kami
untuk menghunus segala tombak & keris dekorasi
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
semenjak kamu pergi
cowok-pemuda gembala & petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman satria
atau pembongkar mayat-mayit

  Pelajari Perbedaan Antara Puisi Dan Syair

Saksikanlah
di sini ada tantangan dr sebuah kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama & kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dr nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berantakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yg bukan datang
dari kelenjar & darah kami
alasannya kami tahu
kekuatan yg dlm jawaban
yaitu jua kekurangan

Tidak mitra
kami akan tantang pertandingan ini
tanpa sikap & gita kepahlawanan
alasannya kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dr pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dr gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
penggalan dr sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yg tiada akan
memikul gejala tanya lagi

Tapi
andaikata gagak mampu kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dgn luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil memandang kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera …

Pun tiada akan kami kutuki
cowok-cowok kami yg lari ke kota
mencari kegemuruhan dlm menunggui kelengangan
alasannya
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dgn diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan & keakanan
tapi
kamilah kelampauan & keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yg pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat gres
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesejukan & keserta-mertaan!

Aku tiada mampu katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku cuma tahu
kamu pergi berlangit merah mencerah,
pendekar!

Surabaya, 29 Januari 1953

Bintang tak Bermalam
(nocturne untuk Nany Jasodiningrat)

Bertengger atas resah lembayung
Bintang tak tahu
Ke mana pijar hendak dipenjar

(Siang sudah reguk segala warna
Bahkan kelam
Tak lagi bagi malam)

Dan pada pelangi
(Yang hanya di siang)
Tak ada berwakil

Warna bintang jatuh