Pernahkan kau berbelanja barang contohnya di kota Jakarta harganya 50.000 rupiah tetapi di kota Bandung harganya 40.000 rupiah di pasaran?.
Mengapa mampu terjadi perbedaan harga pasar do aneka macam kawasan?. Harga pasar dari sebuah sumber daya ekonomi belum pasti menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya untuk menghasilkan atau menemukan barang tersebut.
Nilai ekonomi ialah nilai yang berperang dalam input dan output suatu produksi yang memiliki pengaruh mengubah pemasukan nasional.
Nilai ekonomi tersebut dinamakan shadow price atau accounting price (harga bayangan ataupun harga yang dipakai dalam perhitungan ekonomi). Ada setidaknya 4 daktor yang membuat harga pasar tidak sama dengan nilai ekonominya, yaitu:
1. Nilai Tukar Valuta Asing
Nilai tukar valuta asing pada kurs resmi kadang-kadang tidak menggambarkan langkanya valuta abnormal.
Di banyak negara berkembang mirip Indonesia misalnya, kurs gelap valuta ajaib lebih tinggi dibanding kurs resmi. Ini mampu mendeskripsikan bahwa kurs resmi valuta aneh terlalu rendah dan perlu dinaikan agar ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran.
Pada negara yang mempunyai kurs gelap, perlu adaptasi yang cukup besar atas kurs resmi yang berlaku.
Namun pada negara meningkat yang kurs gelapnya tidak ada atau kurs resmi dan kurs yang terjadi di pasar tidak berbeda, maka hanya perlu sedikit adaptasi. Memang terdapat keseimbangan usul valuta aneh pada kurs resmi tersebut.
Akan tetapi hal ini alasannya adanya aneka macam peraturan yang menghalangi impor. Seandainya hambatan impor ini dihilangkan dan tarif bea masuk sama mirip negara maju lain, kurs itu mungkin akan lebih tinggi lagi.
Jadi masih perlu sedikit pembiasaan meski tidak setinggi mirip negara yang masih mempunyai kurs gelap. Dalam beberapa studi di Indonesia dipakai faktor konversi 1,075 artinya kurs remsi dikali 1,075.
Bila dalam ongkos proyek terdapat materi dan alat yang diimpor atau upah tenaga mahir yang dibayar dalam mata uang aneh maka nilai rupiahnya mesti dikalikan faktor konversi tersebut.
2. Pajak
Pajak ialah sebuah transfer payment artinya pembayaran bukan sebab imbalan jasa. Pajak tidak menggambarkan biaya ekonomi.
Kalau di dalam sebuah proyek pembangunan jalan perlu berbelanja peralatan yang harga pasarnya 100 juta rupiah dalam harga itu ada komponen pajak sebesar 20% sehingga harga ekonominya cuma 80 jutaan.
Artinya seandainya tidak ada pajak maka barang itu harga di pasarnya adalah 80 jutaan. Perlu diingat bahwa tarif pajak tersebut mampu berganti dari waktu ke waktu padahal sebagai sumber ekonomi nilai/fungsi alat tersebut tetaplah sama.
Pajak yang mesti dikeluarkan dari bagian ongkos/manfaat adalah semua pajak tak eksklusif mirip bea cukai dan pajak pertambahan nilai.
3. Upah Karyawan
Upayah tenaga kerja atau karyawan tidak selalu menggambarkan adanya kondisi keseimbangan antara undangan dan penawaran tenaga kerja.
Hal ini terlihat dari selalu adanya pengangguran. Dari sudut lain misalnya, biaya penggunaan seorang tenaga kerja terhadap proyek tertentu adalah hilangnya faedah alasannya adalah karyawan harus meninggalkan daerah pekerjaan lama (benefit forgone).
Misalnya, dibangun sebuah proyek jalan yang melintasi suatu desa dan pekerja proyek diambil dari masyarakat desa tersebut.
Proyek membayar pekerja 20.000 rupiah per hari sedangkan pada perkerjaan yang ditinggalkannya (bertani), nilai tambah pemasukan mereka rata-rata 15 ribu rupiah per hari.
Maka kerugian ekonomi dari mempesona pekerja tersebut dari pekerjaan yang lama yakni 15.000 per hari. karena sulitnya menjumlah shadow price tenaga kerja ini secara sempurna sering dipakai pendekatan yaitu upah yang dibayar dikalikan (1-tingkat pengangguran).
4. Suku Bunga
Tingkat suku bunga yang berlaku di pasar (bank komersil) tidak menggambarkan biaya ekonomi yang sebenarnya sebab pada tingkat suku bunga tersebut terdapat bagian inflasi dan resiko.
Dalam analisis ekonomi, komponen inflasi dan resiko dalam suku bunga dianggap tidak ada. Biasanya dalam memutuskan besarnya tingkat suku bunga ekonomi yakni lebih rendah dari suku bunga bank.
Dalam beberapa studi di Indonesia, pernah dipakai angka 9%, 12% dan 15% tergantung pada jenis proyek yang mau akan dievaluasi dan keadaan makroekonomi pada periode itu, padahal tingkat suku bunga bank umum selalu di atas 20% per tahun.