4 Ciri-Ciri & Karakteristik Pendidik PAUD yg Ideal. Menjadi sosok pendidik PAUD yg ideal yg dicintai anak-anaknya sungguh penting. Ciri-ciri seseorang dibilang selaku pendidik atau Guru apabila menyanggupi ciri-ciri selaku berikut:
- seseorang yg dituntut untuk komitmen terhadap profesinya, orang yg senantiasa berusaha memperbaiki & memperbarui cara kerjanya sesuai dgn tuntutan zaman
- seseorang yg memiliki ilmu, yg bisa menangkap hakikat sesuatu, orang yg mampu menjelaskan hakikat dlm wawasan yg diajarkannya
- seseorang yg kreatif, yg mampu menyiapkan peserta didiknya supaya bisa berkreasi, sekaligus mengatur & memelihara hasil kreasinya untuk tak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, penduduk , & alam sekitar,
- seseorang yang berupaya menularkan penghayatan budpekerti atau kepribadian pada peserta didiknya,
- seseorang yg berupaya mencerdaskan penerima didiknya, melatihkan berbagai keterampilan mereka sesuai talenta, minat, & kemampuan
- seseorang yg beradab.
Daftar Isi
4 Ciri-Ciri & Karakteristik Pendidik PAUD yg Ideal
Sedangkan seorang pendidik anak usia dini (Guru PAUD), perlu mempunyai karakteristik guru PAUD yg ideal sebagai berikut:
1. Menanamkan Kebaikan Tanpa Pamrih
Karakteristik yg pertama ini seorang pendidik walaupun telah berupaya menjadi pendidik yg ideal, namun belum menjamin akan sukses dlm membantu perkembangan anak, sebab banyak faktor lain yg mempengaruhinya, contohnya pendidikan di rumah, efek mitra, & sebagainya.
Namun dgn memberikan layanan pendidikan & tutorial yg sarat perhatian, kasih sayang, siswa akan menjadi lebih baik. Lebih-lebih pada pendidikan anak usia dini, hasil pendidikan tak akan secepatnya nampak hasilnya. Ada sebuah teori yg disebut sleeper effect, yg menyatakan bahwa imbas pendidikan, hasilnya baru tampakbertahun-tahun kemudian.
Oleh karena itu satu karakter penting untuk dimiliki pendidik adalah “mendidik (menanam kebaikan) tanpa pamrih”
Guru PAUD atau Pendidik anak usia dini dlm melaksanakan tugasnya senantiasa mengedepankan kode etik “menanam kebaikan tanpa pamrih mencintai anak”, dgn asah, asih, & asuh, mendidik & mengasuh dgn kasih sayang semata alasannya amanah Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Membangun Citra Diri Positif Anak
Banyak sikap pendidik yg mampu membunuh karakter anak, yaitu dgn membuat anak merasa rendah diri. Seorang pendidik yg tak pernah memberi kebanggaan atau kata- kata positif, kecuali cemoohan & kata-kata negatif akan memuat muridnya menjadi tak yakin diri. Rasa tak percaya diri yg sudah terbentuk semenjak anak usia dini akan terbawa hingga dewasa.
Peran pendidik dlm membangun gambaran diri yg positif pada anak sangat besar, sehingga suatu sekolah dasar di Medford Massachusetts yg bernama Dame School, membuat kebijakan untuk membangun citra diri positif pada murid-muridnya.
Di sebuah lembaga PAUD A, seluruh murid sekolah dasar dr kelas 1 sampai kelas 3, tak boleh diberikan nilai angka atau huruf di rapornya, tetapi hanya berupa uraian consisten & not consisten, berlawanan dgn pada umumnya rapor anak diisi dgn angka, bahkan diberi peringkat atau ranking.
Menurut PAUD A, jika seorang anak usia di bawah 9 tahun diberikan nilai (baik & buruk), maka akan “memvonis” anak; pintar, sedang & terbelakang. Padahal belum dewasa pada usia itu masih terus berkembang kemampuannya. Baru nanti tatkala anak sudah kelas empat SD, nilai mulai diberikan, tetapi ranking tetap tak diberikan.
Hasil Kerja harian murid-murid di PAUD A cukup diberikan “nilai” dgn gambar stiker (bintang, bunga atau kendaraan beroda empat ) atau dgn goresan pena pendidiknya yg berbunyi : good & good effort. Ternyata dgn cara ini, bawah umur bersemangat untuk menjalankan tugasnya dgn baik, sebab setelah selesai pendidik akan menempelkan stiker di lembaran bukunya.
Dalam menilik hasil kerja, pendidik tak mencoret hasil kerja anak yg salah, namun dgn membetulkannya dgn cara menuliskan jawaban yg benar di samping hasil kerja anak yg salah.
Murid-murid didorong untuk aktif berdiskusi, & pendidik senantiasa memberi komentar positif pada setiap pertimbangan yg dilontarkan pada anak. Dengan carta ini murid-murid menjadi bersemangat un tuk tetap masuk sekolah. Bahkan anak bertekad untuk tetap masuk sekolah walaupun suhu badannya panas tinggi.
IRONISNYA:
Kebanyakan Pendidik di Indonesia condong jarang menawarkan pujian pada anak, namun lebih banyak mengkritik & memarahi anak. Hal ini menjadi salah satu faktor yg sering menjadi penyebab seorang anak tak yakin diri yakni tatkala di kelas ia tak dapat menjawab pertanyaan atau tatkala maju ke depan papan tulis untuk menyelesaikan soal yg diberikan pendidik.
Banyak pendidik yg bersikap negatif tatkala memperoleh muridnya tak mampu menjawab pertanyaan, misalnya dgn perkataan : “itu salah, ananda niscaya tak belajar ya?“ atau “lihat belum dewasa, betul tak jawaban Rika?”. Seharusnya reaksi pendidik adalah “jawabannya belum lengkap, mungkin ada jawaban yg lain?” atau “jalannya sudah hampir benar, tetapi coba ananda ulangi lagi, mungkin ada jawaban yg ananda lupakan” atau “Ana, nanti ananda duduk sama Shella & ananda berdua dapat memecahkan soal itu ?”
Sering pendidik mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Kita semua niscaya pernah menyaksikan atau mempunyai pengalaman ihwal sikap pendidik yg seperti itu.
Sekali anak dipermalukan, ia kan takut, gemetaran tatkala mesti menjawa pertanyaan pendidik, sehingga ia menjadi tak yakin diri untuk mengungkapkan pendapatnya di depan kelas. Sejak anak kecil pula sudah divonis dgn diberikan ranking atau dgn perumpamaan “mendapat ranking sepuluh besar” atau “tidak masuk ranking.”
Sikap pendidik yg demikian, memang bukan cuma kesalahan pendidik saja, tetapi yakni kesalahan suatu metode pendidikan yg orientasinya cuma semata-mata mengejar-ngejar keberhasilan akademik, yakni tata cara mengejar target kurikulum dgn segenap tes harian, ulangan umum, cobaan simpulan.
Padahal untuk anak usia dini, yg paling penting ditanamkan adalah sikap agar anak-anak cinta mencar ilmu. Bukan semata-mata mesti bisa alasannya bila “mesti” bisa, suasana mencar ilmu menjadi sarat beban, sehingga otak limbik anak tertutup, hasilnya anak tak dapat meraih potensi optimalnya.
Di dlm ilustrasi ini, dikandung bahwa seorang pendidik perlu memperlihatkan etika membangun citra positif anak melalui perilaku-perilaku : santun, nrimo, mencintai anak, memperlihatkan pujian & membuat kesenangan anak dgn melabel atau memberi cap negatif anak.
3. Pendidik selaku Model/Tokoh Idola Anak
Kisah diatas menggambarkan betapa seringnya kita sebagai pendidik mengkritik & menyalahi sikap anak kita. Padahal sikap yaitu hasil dr proses sosialisasi & pendidikan yg diberikan dr lingkungannya, terutama dr orang renta atau pendidik.
Seseorang telah menceritakan wacana pengalamannya dgn seorang pendidik, yg berinisial A, bahwa ia telah meminta nasehat bagaimana mendidik anaknya agar menjadi anak yg baik & beraklak mulia. Sang pendidik tak memberikan jawaban yg panjang & berteori, namun cuma dgn “perbaiki saja diri ananda dahulu, nanti dgn sendirinya anak ananda akan menjadi baik “.
Pakar Pendidikan Luar Negeri Thomas Lickona mengatakan bahwa “values are caught“, artinya nilai-nilai yg ditangkap anak yakni lewat contoh dr pendidik & orang tuanya. Nilai-nilai ialah yg diterangkan pribadi oleh pendidiknya.
Menjadi pendidik PAUD tak cukup cuma berbekal kurikulum atau Acuan Pembelajaran Menu Generik, namun pula menyangkut bagaimana pendidik sebagai pendidik menjadi idola bagi muridnya.
Bagaiman ciri-ciri pendidik yg menjadi idola murid-muridnya, antara lain sebagai berikut:
- anak bergairahkesekolah, bawah umur tak sabar bersekolah & hari-hari libur menjadi hari yg menjemukan
- anak akan menyampaikan sayang atau suka pada pendidiknya bila ditanyakan apakah mereka menyayangi pendidiknya,
- anak senantiasa merindukan pendidiknya dan
- anak akan menjalankan tugas yg diberikan, alasannya adalah tidak mau mengecewakan pendidiknya.
Pengalaman seorang pendidik bernama Bill Rose, seperti diungkapkan diatas ialah salah satu bukti bagaimana seorang pendidik yg berupaya menumbuhkan rasa percaya diri murid-muridnya dgn penuh perhatian & kasih sayang (etika kepribadian) sehingga bikin murid- muridnya mau bersusah payah untuk menyenangi pendidiknya.
Inti dr pesan dlm sub bagian ini yakni bagaimana ampuhnya sosok panutan orangtua atau pendidik dlm mensugesti perilaku anak. Apabila kita ingin menjadikan diri selaku tokoh panutan, maka diri kita sendiri mesti diperbaiki dulu.
4. Mendidik dgn Mencelupkan Diri
Seorang pendidik yg berhasil adalah yg mampu mencelupkan dirinya dengan-cara menyeluruh, fikiran, & perasaan, mampu membangun personal dgn murid- muridnya, mempunyai kemampuan komunikasi dengan-cara efektif, mampu mengurus emosi dgn baik, bisa menghidupkan situasi yg menawan & menggembirakan semoga anak senang berjalan/bermain.
Mencelupkan diri dengan-cara total memang membutuhkan sikap & dedikasi & kecintaan terhadap profesi yg sedang dijalani. Seorang pendidik yg dapat mencelupkan dirinya pada profesinya sebagai pendidik yaitu seorang yg mampu berkontemplasi (merenungkan) perasaan, asumsi & perilakunya dengan-cara rutin agar mampu melihat kelemahan- kekurangan yg ada pada dirinya. Seorang pendidik bukan berarti mesti sempurna, namun dibutuhkan untuk memperbaiki & mengontrol terus tindakannya biar tetap dijadikan versi konkrit bagi murid-muridnya.
Seringkali orang tak mau menerima atau mengakui bahwa dirinya masih banyak kelemahan. Merasa dirinya sudah benar, tak mungkin salah & tak mau dikritik & disalahkan. Menurut Carl G. Jung, setiap insan mempunyai sisi gelap, jika kita tak mendapatkan keberadaan segi gelap tersebut, maka sifat-sifat gelap akan menjadi kekuatan yg suatu ketika akan keluar & tampakoleh orang lain, meskipun diri kita tak menyadarinya. Inilah yg menimbulkan banyak manusia yg tak konsisten antara kata & tindakannya.
Pendidik yg demikian tak dapat menjadi model bagi murid-muridnya, bahkan malah dapat menjadi berbahaya, karena jika murid-muridnya menganggap pendidik sering kali berkata moral, namun tak dlm tindakan.
Akibat negatif lain dr penolakan sisi gelap adalah ingin memarahi orang lain yg dianggap bersalah. Murid-murid biasanya akan menjadi tumpahan kemarahan pendidik, yg bergotong-royong yaitu kemarahan pada sifat yg ada dlm diri pendidik sendiri, pendidik yg sering menyalahkan murid-murid, tak akan menjadi pendidik yg efektif.
Oleh alasannya itu, seorang pendidik sebagai pendidik anak usia dini hendaknya terus merenung untuk melihat kelemahan & mengevaluasi diri & berupaya untuk terus menerus memperbaiki segala kelemahan demi membentuk citra diri pendidik yg positif.