Dalam mengisi alam kemerdekaan Indonesia, umat Islam Indonesia selaku masyarakatagama mayoritas juga turut serta berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa didalam aneka macam bidang, utamanya dalam membuat bidang sumber daya manusia yang unggul religius. Bukan kasus yang mudah untuk mengisi alam kemerdekaan yang baru terwujud tersebut, tetapi dibutuhkan mental manusia yang paripurna.
Berikut yakni 3 tokoh umat Islam Indonesia yang berperan pasca kemerdekaan diantaranya yaitu sebagai berikut :
1. Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (w. 1981 M)
Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah gelar Datuk Indomo, populer dengan nama penanya Hamka lahir di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatra Barat tanggal 17 Februari 1908. Beliau meninggal di Jakarta pada umur 73 tahun. Beliau ialah seorang ulama dan sastrawan Indonesia.
Ia berkiprah sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia terjun dalam politik lewat Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah sampai final hayatnya.
Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo, Jakarta mengukuhkan Hamka selaku guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah. Hamka dewasa meninggalkan pendidikannya di Thawalib, menempuh perjalanan ke Jawa dalam usia 16 tahun.
Setelah setahun melupakan perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah. Pengalamannya ditolak selaku guru di sekolah milik Muhammadiyah sebab tak memiliki diploma dan kritik atas kemampuannya berbahasa Arab melecut impian Hamka pergi ke Mekkah.
Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak. Kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karier selaku wartawan sambil bekerja selaku guru agama di Deli. Dalam pertemuan memenuhi kerinduan ayahnya, Hamka mengukuhkan tekadnya untuk meneruskan cita-cita ayahnya dan dirinya selaku ulama dan sastrawan.
Kembali ke Medan pada1936 setelah pernikahannya, beliau menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat karyanya Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka melonjak selaku sastrawan. Selama revolusi fisik, Hamka bergerilya bareng Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) menyusuri hutan pengunungan di Sumatra Barat untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda.
Pada 1950, Hamka membawa keluarga kecilnya ke Jakarta. Meski mendapat pekerjaan di Departemen Agama, Hamka mengundurkan diri karena menggeluti di jalur politik. Dalam penyeleksian lazim 1955, Hamka dicalonkan Masyumi selaku wakil Muhammadiyah dan terpilih duduk di Konstituante. Ia terlibat dalam perumusan kembali dasar negara.
Sikap politik Masyumi menentang komunisme dan ide Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungannya dengan Sukarno. Usai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat yang berumur pendek, dibredel oleh Sukarno setelah menurunkan goresan pena Hatta yang sudah mengundurkan diri sebagai wakil presiden berjudul “Demokrasi Kita”.
Seiring meluasnya dampak komunis, Hamka dan karya-karyanya diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melaksanakan gerakan subversif membuat Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Ia menyelesaikan Tafsir Al-Azhar dalam kondisi sakit selaku tahanan. Seiring peralihan kekuasaan ke Soeharto, Hamka dibebaskan pada Januari 1966.
Ia mendapat ruang pemerintah, mengisi acara tetap ceramah di RRI dan TVRI. Ia mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid AlAzhar. Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia pada 1975, penerima musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua.
Sepeninggal Hamka, pemerintah menyematkan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada Hamka. Sejak 2011, ia ditetapkan selaku Pahlawan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan untuk sekolah tinggi tinggi Islam di Jakarta milik Muhammadiyah, adalah Universitas Muhammadiyah Hamka.
2. KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (w. 2009 M)
Dr. (H.C.) K. H. Abdurrahman Wahid atau yang erat disapa Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Beliau yaitu tokoh Muslim Indonesia yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B.J Habibie sehabis diseleksi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999.
Penyelenggaraan pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan selsai pada Sidang spesial MPR pada 23 Juli 2001. Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah.
Terdapat iktikad bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus, tetapi kalender yang dipakai untuk menandai hari kelahirannya yaitu kalender Islam yang mempunyai arti dia lahir pada 4 Sya’ban 1359 Hijriah, sama dengan 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih diketahui dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur yakni putra pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dalam keluarga yang sungguh terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya ialah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syamsuri, yakni pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya ialah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa, beliau yakni keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini ialah anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V.
Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Prancis, Louis-CharlesDamais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan. Pada tahun 1944, Gus Dur pindah dari Jombang ke Jakarta, kawasan ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan pemberian prajurit Jepang yang saat itu menduduki Indonesia.
Pada akhir perang tahun 1949, Gus Dur pindah ke Jakarta dan belajar di Sekolah Dasar KRIS sebelum pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari. Gus Dur tetap tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya telah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Gus Dur meninggal dunia balasan kecelakaan kendaraan beroda empat.
Pada tahun 1963, Gus Dur mencar ilmu Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo Mesir. Kemudian menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, selanjutnya Gus Dur pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikan di Universitas Leiden, namun kecewa alasannya adalah pendidikannya di Universitas Baghdad tidak diakui.
Dari Belanda lalu Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia tahun 1971. Gus Dur kembali ke Jakarta bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) organisasi yg berisikan kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah Prisma dan Gusdur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut.
Selain melakukan pekerjaan selaku kontributor LP3ES, Gusdur juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada tahun 1984 – 2000 Gus Dur terpilih sebagai ketua lazim Tanfidziyah Pegurus Besar Nahdlatul Ulama. Pada 20 Oktober 1999, MPR melaksanakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Abdurrahman Gus Dur lalu terpilih selaku Presiden Republik Indonesia ke-4 bareng Megawati Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden. Kabinet pertama Gus Dur berjulukan Kabinet Persatuan Nasional. Gus dur lalu mulai melaksanakan dua reformasi pemerintahan. Reformasi pertama ialah membubarkan Departemen Penerangan dan departemen Sosial alasannya di anggap kurang maksimal dalam hal fungsi dan perannya.
Pada tahun 2000 di pemisahan institusi TNI dan POLRI dimana dikala orde baru kedua institusi keselamatan tersebut menjadi satu dengan nama ABRI. Rencana Gus Dur ialah memperlihatkan Aceh referendum. Namun referendum ini menentukan otonomi dan bukan kemerdekaan seperti referendumTimor Timur.
Gus Dur juga ingin mengadopsi pendekatan yang lebih lembut kepada Aceh dengan meminimalisir jumlah personel militer di negeri Serambi Mekkah tersebut. Pada 30 Desember 2000, Gus Dur mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama kunjungannya, beliau berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin Papua untuk menciptakan perdamaian dan memberi izin pemberian nama Papua sebagai pengganti Irian Jaya.
Pada Januari 2001, Gus Dur menginformasikan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan karakter Tionghoa. Abdurrahman Wahid melaksanakan kunjungan terakhirnya ke luar negeri selaku presiden pada Juni 2001 dikala dia mendatangi Australia.
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan semenjak ia mulai menjabat selaku presiden. Ia menderita gangguan penglihatan, Diabetes dan gangguan ginjal juga dideritanya. Ia meninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada pukul 18.45 dan di makamkan di pemakaman keluarga Pondok pessantren Tebuireng Jombang.
Berbagai penghargaan diterima Gus Dur diantaranya: Pada tahun 1993, Gus Dur mendapatkan Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius untuk klasifikasi Community Leadership, “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie Gang Lombok. Pada tanggal 10 Maret 2004.
Ia menerima penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, suatu yayasan yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia. Gus Dur menemukan penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles sebab Gus Dur dinilai mempunyai keberanian membela kaum minoritas, salah satunya dalam membela umat beragama Konghucu di Indonesia dalam mendapatkan hak-haknya yang sempat terpasung selama kurun orde baru.
Dan masih banyak penghargaan lain di terima Gus Dur. Pada dikala ini para murid, pengagum, dan penerus fatwa dan perjuangan Gus Dur disebut Gusdurian, mereka mendalami fatwa Gus Dur, meneladani huruf dan prinsip nilainya, dan berupaya untuk meneruskan perjuangan yang sudah dirintis dan dikembangkan oleh Gus Dur sesuai dengan konteks tantangan zaman.
Pemikiran, abjad dan prinsip perjuangan Gus Dur terangkum pada 9 (Sembilan) Nilai utama ialah ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kekesatriaan, dan kearifan lokal.
3. Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie atau Habibie (w.2019 M)
Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 – meninggal di Jakarta pada umur 83 tahun. Beliau adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga. Sebelumnya, B.J. Habibie menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ke-7, menggantikan Try Sutrisno.
B. J. Habibie menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada tanggal 21 Mei 1998. B.J. Habibie kemudian digantikan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang terpilih sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 oleh MPR hasil Pemilu 1999.
Dengan menjabat selama 2 bulan dan 7 hari (selaku wakil presiden) dan juga selama 1 tahun dan 5 bulan (selaku presiden), B. J. Habibie ialah Wapres dan juga Presiden Indonesia dengan abad jabatan terpendek.
Dari sekian banyak presiden Indonesia, B. J. Habibie ialah satusatunya Presiden yang berasal dari Gorontalo, Sulawesi dari garis keturunan Ayahnya yang berasal dari Kabila, Gorontalo dan Jawa dari ibunya yang berasal dari Yogyakarta. Saat ini, Pemerintah Provinsi Gorontalo telah menginisiasi dibangunnya Monumen B.J. Habibie di depan pintu gerbang utama Bandar Udara Djalaluddin, di Kabupaten Gorontalo.
Selain itu, penduduk Provinsi Gorontalo pun sempat mengusulkan nama B.J. Habibie digunakan sebagai nama universitas negeri setempat, menggantikan nama Universitas Negeri Gorontalo yang masih digunakan. B.J. Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo.
Ayahnya yang berprofesi sebagai jago pertanian yang berasal dari etnis Gorontalo, sedangkan ibunya dari etnis Jawa. Alwi Abdul Jalil Habibie (Ayah dari B.J. Habibie) mempunyai marga “Habibie”, salah satu marga orisinil dalam struktur sosial Pohala’a (Kerajaan dan Kekeluargaan) di Gorontalo.
Sementara itu, R.A. Tuti Marini Puspowardojo (Ibu dari B.J. Habibie) ialah anak seorang dokter spesialis mata di Jogjakarta, dan ayahnya yang bernama Puspowardjojo bertugas sebagai pemilik sekolah. Marga Habibie dicatat secara historis berasal dari daerah Kabila, sebuah daerah di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Dari silsilah keluarga, kakek dari B.J. Habibie ialah seorang pemuka agama, anggota majelis peradilan agama serta salah satu pemangku etika Gorontalo yang tersohor pada dikala itu. Keluarga besar Habibie di Gorontalo terkenal gemar beternak sapi, mempunyai kuda dalam jumlah yang banyak, serta memiliki perkebunan kopi.
Sewaktu kecil, Habibie pernah berkunjung ke Gorontalo untuk mengikuti proses khitanan dan upacara budpekerti yang dilaksanakan sesuai syariat Islam dan etika istiadat Gorontalo. B. J. Habibie pernah belajar di Sekolah Menengah Atas Kristen Dago. Habibie kemudian belajar tentang keilmuan teknik mesin di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung (sekarang Institut Teknologi Bandung) pada tahun 1954.
Pada 1955–1965, Habibie melanjutkan studi teknik penerbangan, spesialisasi konstruksi pesawat melayang, di RWTH Aachen, Jerman Barat, menerima gelar diplom ingenieur pada 1960 dan gelar doktor ingenieur pada 1965 dengan predikat summa cum laude. Habibie pernah bekerja di Messerschmitt-Bolkow-Blohm, suatu perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, Jerman.
Pada tahun 1973, beliau kembali ke Indonesia atas permintaan mantan presiden Soeharto. Habibie lalu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi sejak tahun 1978 hingga Maret 1998. Gebrakan B. J. Habibie dikala menjabat Menristek diawalinya dengan keinginannya untuk mengimplementasikan “Visi Indonesia”.
Menurut Habibie, lompatan-lompatan Indonesia dalam “Visi Indonesia” bertumpu pada riset dan teknologi, khususnya pula dalam industri strategis yang dikontrol oleh PT. IPTN, PINDAD, dan PT. PAL. Targetnya, Indonesia selaku negara agraris mampu melompat pribadi menjadi negara Industri dengan penguasaan ilmu wawasan dan teknologi.
Sementara itu, ketika menjabat selaku Menristek, Habibie juga terpilih sebagai Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang pertama. Habibie terpilih secara aklamasi menjadi Ketua ICMI pada tanggal 7 Desember 1990.
Puncak karir Habibie terjadi pada tahun 1998, dimana dikala itu dia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), sesudah sebelumnya menjabat selaku Wakil Presiden ke-7 (menjabat semenjak 14 Maret1998 hingga 21 Mei 1998) dalam Kabinet Pembangunan VII di bawah Presiden Soeharto.
B.J. Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto pada tanggal 11 September 2019 pukul 18.05 WIB alasannya adalah penyakit yang dideritanya (gagal jantung) dan faktor usia. Sebelumnya, Habibie sudah menjalani perawatan intensif sejak 1 September 2019.
Sebelum Dimakamkan, pada malam hari Jenazah B.J. Habibie dibawa dari RSPAD menuju ke kediaman Habibie-Ainun di Jalan Patra Kuningan XIII Blok L15/7 No.5, daerah Patra Kuningan untuk disemayamkan. Ia kemudian dimakamkan di samping istrinya yakni Hasri Ainun Besari di Taman Makam Pahlawan Kalibata slot 120 pada tanggal 12 September 2019 pukul 14.00 WIB.
Upacara pemakaman didatangi oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia adalah Ir. Joko Widodo selaku inspektur upacara.
Itulah bahasan wacana 3 tokoh umat Islam Indonesia yang berperan pasca kemerdekaan.
Semoga bermanfaat.