close

3 Tokoh Perjuangan Umat Islam Indonesia Pada Era Kebangkitan Nasional

Dalam menghadapi penjajahan dari pihak ajaib, masyarakat nusantara waktu itu belum memiliki satu tujuan yakni satu perjuangan kemerdekaan bangsanya, alasannya adalah masih terpecah-pecah sebab pemerintahan dikala itu masih berupa kerajaan-kerajaan antar kawasan yang satu dengan yang yang lain. Hal inilah yang membuat lebih mudah para penjajah untuk mengadu domba penduduk Indonesia.
Akhirnya pada masa kebangkitan inilah lahir tokoh-tokoh yang mempertimbangkan bagaimana agar rakyat Indonesia ini bersatu dalam mempertahankan wilayah negerinya meskipun beda suku, ras dan agamanya. Berikut yakni penjelasan ihwal 3 tokoh perjuangan umat Islam Indonesia pada kala kebangkitan nasional.  

1. HOS. Cokroaminoto (Hadji Oemar Said Tjokroaminoto)

HOS Cokroaminoto lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 6 Agustus 1882 dan meninggal di Yogyakarta, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Tjokroaminoto yakni anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada ketika itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai bupati Ponorogo.
Sebagai salah satu pelopor pergerakan nasional, ia memiliki beberapa murid yang berikutnya memperlihatkan warna bagi sejarah pergerakan Indonesia, ialah Musso yang sosialis/komunis, Soekarno yang nasionalis, dan Kartosuwiryo yang agamis. Namun ketiga muridnya itu saling bertikai. Pada bulan Mei 1912, Tjokroaminoto bergabung dengan organisasi Sarekat Islam. 
Sebagai pimpinan Sarikat Islam, HOS dikenal dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas namun bersahaja. Kemampuannya berdagang menjadikannya seorang guru yang disegani karena mengetahui tatakrama dengan budaya yang beragam. Pergerakan SI yang pada mulanya sebagai bentuk protes atas para pedagang abnormal yang tergabung sebagai Sarekat Dagang Islam yang oleh HOS dianggap sebagai organisasi yang terlalu mementingkan perdagangan tanpa mengambil daya tawar pada bidang politik. 
Dan pada karenanya tahun 1912 SDI berkembang menjadi Sarekat Islam, SI digiring menjadi partai politik sehabis mendapatkan status Badan Hukum pada10 September 1912 oleh pemerintah yang ketika itu diatur oleh Gubernur Jenderal Idenburg. SI kemudian berubah menjadi parpol dengan keanggotaan yang tidak terbatas pada penjualdan rakyat Jawa-Madura saja. 
Kesuksesan SI ini menjadikannya salah satu aktivis partai Islam yang berhasil saat itu. Perpecahan SI menjadi dua kubu alasannya adalah masuknya infiltrasi komunisme memaksa HOS Cokroaminoto untuk bertindak lebih hati-hati masa itu. Ia bersama rekan-rekannya yang masih percaya bersatu dalam kubu SI putih berlawanan dengan Semaun yang berhasil membujuk tokoh-tokoh pemuda ketika itu seperti Alimin, Tan Malaka, dan Darsono dalam kubu SI Merah. 
Namun bagaimanapun, kewibawaan HOS Cokroaminoto justru diperlukan sebagai penengah di antarakedua belahan SI tersebut, mengenang ia masih dianggap guru oleh Semaun. Akhirnya Semaun dan Darsono dikeluarkan dari SI. Pada tahun 1929, SI diusung selaku Partai Sarikat Islam Indonesia sampai menjadi peserta pemilu pertama pada 1955. 
HOS Cokroaminoto sampai dikala ini hasilnya dikenal selaku salah satu pahlawan pergerakan nasional yang berbasiskan perdagangan, agama, dan politik nasionalis. Kata- kata mutiaranya seperti “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-cendekia siasat” jadinya menjadi embrio pergerakan para tokoh pergerakan nasional yang patriotik, dan dia menjadi salah satu tokoh yang berhasil menerangkan besarnya kekuatan politik dan perdagangan Indonesia. H.O.S. Cokroaminoto meninggal di Yogyakarta pada 17 Desember 1934 pada usia 52 tahun.

2. KH. Ahmad Dahlan (Muhammad Darwisy w.1923 M)

Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) yaitu seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Dia yaitu putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada kala itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan yaitu puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada era itu. 
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan ialah Muhammad Darwisy. Dia ialah anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dia tergolong keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang ternama di antara Walisanga, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. 
Silsilahnya tersebut yaitu Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, kiai Ilyas, kiai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). 
Pada umur 15 tahun, dia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada era ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan ajaran-fatwa pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha wwwdan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, dia berubah nama menjadi Ahmad Dahlan. 
Pada tahun 1903, dia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada abad ini, ia sempat belajar terhadap Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, dia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melakukan impian pembaharuan Islam di bumi Nusantara. 
Ahmad Dahlan ingin menyelenggarakan sebuah pembaharuan dalam cara berpikir dan bederma berdasarkan tuntunan agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup berdasarkan tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Perkumpulan ini bangun bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan semenjak permulaan Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. 
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan terhadap Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu gres dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu cuma berlaku untuk tempat Yogyakarta dan organisasi ini cuma boleh bergerak di kawasan Yogyakarta. 
Dari Pemerintah Hindia Belanda muncul kegelisahan akan pertumbuhan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah bangkit cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas berlawanan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. 
Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan merekomendasikan semoga cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta menggunakan nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. 
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri dia mengusulkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan melaksanakan kepentingan Islam. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke banyak sekali kota, di samping juga lewat relasirelasi jualan yang dimilikinya. 
Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari penduduk di aneka macam kota di Indonesia. Ulama-ulama dari banyak sekali tempat lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan pinjaman kepada Muhammadiyah. Muhammadiyah semakin usang makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permintaan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. 
Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Atas jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 
Dasar-dasar penetapan itu yakni sebagai berikut: 
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya selaku bangsa terjajah yang masih harus berguru dan berbuat. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan pedoman Islam yang murni terhadap bangsanya. Ajaran yang menuntut pertumbuhan, kecerdasan, dan bersedekah bagi penduduk dan umat, dengan dasar akidah dan Islam dengan organisasinya.
Muhammadiyah sudah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diharapkan bagi kebangkitan dan perkembangan bangsa, dengan jiwa anutan Islam dan dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian perempuan (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.

3. KH. Mohammad Hasjim Asy’ari (w. 1947 M)

KH. Hasyim Asy ‘Ari lahir di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 meninggal di Jombang, Jawa Timur pada umur 76 tahun; 24 Dzul Qo’dah 1287 H- 3 Ramadhan 1366 H, dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) yaitu salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. 
Di kelompok Nahdliyin dan ulama pesantren beliau dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru. K.H Hasjim Asy’ari yaitu putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya berjulukan Kyai Asy’ari, pemimpin Pondok Pesantren yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya berjulukan Halimah. Sementara kesepuluh saudaranya antara lain: Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi dan Adnan. 
Berdasarkan silsilah garis keturunan ibu, K.H. Hasjim Asy’ari mempunyai garis keturunan baik dari Sultan Pajang Jaka Tingkirjuga memiliki keturunan ke raja Hindu Majapahit, Raja Brawijaya V (Lembupeteng). K.H. Hasjim Asy’ari berguru dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. 
Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menuntut ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. 
Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy’ari pergi menuntut ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi, Syekh Ahmad Amin Al Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. 
Di Makkah, mulanya K.H. Hasjim Asy’ari belajar di bawah tutorial Syaikh Mafudz dari Termas (Pacitan) yang merupakan ulama dari Indonesia pertama yang mengajar Sahih Bukhori di Makkah. Ia menerima ijazah langsung dari Syaikh Mahfudz untuk mengajar Sahih Bukhari, di mana Syaikh Mahfudz ialah pewaris terakhir dari pertalian penerima (Isnad) hadis dari 23 generasi peserta karya ini. 
Selain belajar hadis dia juga berguru tassawuf (sufi) dengan mendalami Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. K.H. Hasjim Asy’ari juga mempelajari fiqih madzab Syafi’i di bawah asuhan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang juga hebat dalam bidang astronomi (ilmu falak), matematika (ilmu hisab), dan aljabar. 
Pada periode belajar pada Syaikh Ahmad Khatib inilah K.H. Hasjim Asy’ari mempelajari Tafsir Al-Manar karya monumental Muhammad Abduh. Pada prinsipnya ia mengagumi rasionalitas ajaran Abduh akan tetapi kurang oke dengan olok-olokan Abduh kepada ulama tradisionalis. 
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan paling penting di Jawa pada era 20. Pada tahun 1926, K.H Hasjim Asy’ari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang bermakna kebangkitan ulama. 
Dalam upaya usaha untuk menjangkau kemerdekaan, pada tanggal 17 September 1945 fatwa Jihad telah di tanda tangani KH Hasyim Asy’ari yang kemudian dikukuhkan dalam rapat para kyai tanggal 21-22 Oktober 1945 dan di kenal dengan nama Resolusi Jihad. Resolusi Jihad selaku pengobar semangatpara ulama dan santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah dalam melakukan perlawanan kepada penjajah. 
Selain itu juga mendesak pemerintah biar segera menentukan sikap melawan kekuatan abnormal yang ingin menggagalkan kemerdekaan. Surabaya menjadi medan pertempuran antara laskar Hizbullah dan sekutu. Berbekal pedoman Jihad yang diteguhkan dalam resolusi Jihad yang isinya menyerukan kepada seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 Nopember 1945 laskar ulama dan santri menjadi garda terdepan dalam pertempuran. 
Berikut isi teks resolusi jihad Nahdlatul Ulama sebagaimana pernah diangkut di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. 

Toentoetan Nahdlatoel Oelama kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia Soepaya mengambil langkah-langkah jang sepadan Resoloesi wakil-wakil kawasan Nahdlatoel Oelama Seloeroeh Djawa-Madoera Bismillahirrochmanir Rochim Resoloesi : Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.

Mendengar : Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja kehendak Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek menjaga dan menegakkan agama, kedaoelatan negara repoeblik indonesia merdeka.

Menimbang : 

a. Bahwa oentoek menjaga dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia berdasarkan hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.

b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja yaitu sebagian besar berisikan Oemmat Islam. Mengingat: Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini sudah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.

Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat sudah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.

Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar sudah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe menerima perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.

Memoetoeskan : 

Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe perilaku dan tindakan jang njata serta sebanding terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama kepada fihak Belanda dan kaki tangannja. Seoapaja menyuruh melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.

Soerabaja, 22 Oktober 1945
NAHDLATOEL OELAMA
Itulah bahasan ihwal 3 tokoh perjuangan umat Islam Indonesia pada kurun kebangkitan nasional.
Semoga berguna.