20 Contoh Puisi Korrie Layun Rampan

Siapakah Sastrawan Korrie Layun Rampan? – Sastrawan yg mempunyai nama lengkap Korrie Layun Rampan ini merupakan sastrawan yg banyak memberikan sumbangsih bagi khazanah kesusastraan di Indonesia. Beliau lahir di Samarinda, Kalimantan Timur pada 17 Agustus 1953 & meninggal dunia pada 19 November 2015 dr pasangan beretnis Dayak Benuaq. Ayah Korrie berjulukan Paulus Rampan & ibu-nya bernama Martha Renihay-Edau Rampan. Beliau tinggal cukup usang di Jogjakarta. Selain kuliah, dia aktif dlm kegiatan sastra yg pada masa itu bergabung dgn Persada Studi Club yg merupakan sebuah klub sastra di bawah asuhan penyair yakni Umbu Landu Paranggi. Dari grup ini, lahirlah sejumlah sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A. G, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi, R. S.

Pengalaman kerja yg Korrie miliki dimulai dr tahun 1978 di Jakarta, dimana dia melakukan pekerjaan sebagai wartawan & editor buku untuk suatu penerbit yg kemudian menjadi seorang penyiar di RRI & TVRI Studio Pusat, Jakarta. Beliau pula sempat mengajar, serta menjabat selaku Direktur Keuangan sekaligus merangkap menjadi Redaktur Pelaksana di Majalah Sarinah, Jakarta.

Tahun 2001 Korrie menjadi Pemimpin Umum atau Pemimpin Redaksi koran Sendawar Pos yg terbit di Barong Tangkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Disamping itu, dia pula mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tahun 2004, ia sempat menduduki bangku anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat, namun balasannya memilih mengundurkan diri disebabkan mengikuti proses pencalegan. Oleh konstituen, ia dipercaya untuk mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat pada 2004-2009 & menjabat sebagai Ketua Komisi I. Akan tetapi Korrie tetap aktif menjadi penulis, alasannya peran sebagai jurnalis & duta budaya. Berbagai karya mirip novel, esai, cerpen, puisi hingga kisah anak telah ditulis olehnya.

Beliau pula sudah menerjemahkan kurang lebih 100 judul buku cerita anak & puluhan cerpen dr cerpenis dunia, mirip Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov dan lain sebagainya. Novelnya antara lain Upacara dan Api Awan Asap menjangkau kado Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 & 1998.

Beberapa cerpen, esai, referensi buku dongeng film serta karya jurnalistiknya menerima kado dr berbagai macam sayembara. Beberapa dongeng anak yg ditulisnya ada yg mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas gunung & Lembah (1985) & Manusia Langit (1997). Sejumlah buku yg dijadikan bahan bacaan utama & referensi di tingkat SD, SMP, SMU serta Perguruan Tinggi diantaranya Aliran Jenis Cerita Pendek.


Berikut 20 Contoh Puisi Korrie Layun Rampan yg bisa Sobat simak..




Menunggu malam di sini
Menunggu laut & pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan

Menunggu malam di sini
menanti genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara

Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal & sampan nelayan
Menunggu gelepar camar & harum sayap rama-rama
Serta angin yg membersihkan pelabuhan di malam sisa

Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yg dahaga sendiri



Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar & ganas
gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yg mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
darah tetap mengucur dr luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah & tersentak dlm cermin wajah kita
(O, yg ada
Kita cuma berteriak ‘aduh’ & meraba-raba)




Bayangan kekasih yg lapang dada
Pergi bersama matahari
Bumipun pupus segala tuntas & aus
Juga sunyi nyanyian kudus
Siapa yg menyeru dr balik hari
Mengetuk lukuk likukan nurani
Segala hanyut : jiwa & hati
Tuhanku yg di pintu menanti ?
Irama yg salih menyeru malam putih
Gadiskukah yg di sana melambai sayup
Aku terhenyak gue masih merangkai tasbih
Menyisir peluru menyisih dosa hujan yg kuyub
Pada meja gue menghabiskan gelas
Tuak & Tuhan & kekasih yg tak ternoda
Menyanyikan keras-keras firman dr kitab pada nabi
Seru-Mu dr sunyi : ‘Fajar ! Fajar ! Matahari !’

  7+ Puisi Buat Sahabat Yang Telah Pergi



Gerimis pun memahat-mahat kaca
jendela. Dan di luar pintu
kita masih setia menanti
isu terkini tak kemudian !
Bunga-bunga. Aromanya mengeras
di atas lanyai bumi
Dan kematian senantiasa mengundang-manggil
usia ! dr balik jendela
nestapa. Mengelupas kita dlm masbodoh menggigil
Betapa pahit dosa & cinta
di verbal kita
yang dikunyah : darah
Di jendela tinggal matahari.
Berahi & bunga sepi.



Senja pun membenam dlm bencana
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga

Angin dr relung itu
Semakin runcing
Dan membuat garis ungu

Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!

Tualang panjang ini
Semakin jauh makin lengang
Langkah pun lelah menapak juang

Lalu kelepak yg menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh

Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi


Z


Siapakah yg pulang dgn langkah masai
menyandang duka Adam yg pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?

Iakah itu wisatawan tak berjulukan.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dlm desau prahara
sehabis letih mengedangkan jaring nasib melawan bencana

Siapakah masih mengaliri saya, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk & tongkang, detak jantung luka
memeram isu terkini memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yg menggedor pintu & jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yg terus mengaliri dasar jiwa

Siapakah yg pulang dgn langkah masai
menyandang sedih Adam yg pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yg tak kunjung tersembuhkan

  Puisi Resah Menjamah Hati Dalam Memadu Kasih

Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu & borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta

Aku terbanting atas lantai kehidupan
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yg gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yg perih dlm pusat pusaran segala rindu

Memang maritim-Mu teramat dlm terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita bisa mendengarkansegala rahasia
Yang bermain antara gelap & denyar cahaya?

Adalah seluruhnya berpulang pada akad, pada sunyi
Cinta yg memahat-mahat setiap bait awet
Bagai hujan yg setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi

Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah kurun ini
Dan luka-luka

Perjalanan ini
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran kurun padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan awet dahsyat sunyi

Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani

Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yg lelah

Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit bagus & langit abnormal
adalah kita yg sempoyongan menyandang berjuta beban

Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
yaitu kita yg menyandang luka & seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja & sejuta salib
hitam

Bunga-bunga daun luruh
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan

Suara menyapa dlm luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah kamu-sekalian apakah bosan
Yang setia berdiri di segi kesepian

Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk & kolam
Kita pun di sini ngungun dlm gerimis murung jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had akrab & jauh

Kotaku di sini
Gemuruh yg sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam

Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya gue berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam

Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat

Sayap-sayap camar, gaung-Mu berkabar
Serpotong awan luka
menyelisik wajah-Mu bercadar

Bias larut. Legam laut & senja tertawa
Ada yg luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar

Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera

Sang waktu pun terbangun dgn 100 matahari
Dan kucuran darah dr nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yg amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yg terbakar

Sang waktu pun terbangun dlm angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa & bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana

  20+ Puisi Kemerdekaan, Semangat Juang Tanpa Henti

Sang waktu pun terbangun dgn 1000 bianglala
Dan jerawat-jerawat darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya

Sang waktu pun terbangun dlm erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam tatkala mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dlm rabu & nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja suatu kitab terbuka siap dgn daftar nama-nama

Lengan-lengan yg capai
Suara mistik itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu

Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah

Riap lalang & kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa & suara serangga
Gigir bukit yg sunyi
Menanti teka-teki

Dahulu kita bertikai
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita hingga
Antara dua siku

Dahulu kamu-sekalian ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang kamu-sekalian & aku

Engkau memetik melati
Aku merencanakan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi

Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita sudah hingga di sudut jalan
Memandang tamasya di sana

Siapakah kau-sekalian siapakah aku
Siapakah kita yg tersedu di pojok jalan itu

Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar & ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita

Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin cuek
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yg mengucur darah

Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dr luka demi luka
Kita datang-tiba pecah & terserak dlm cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita cuma berteriak, “aduh!” & meraba-raba)

Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dr enam belas ufuk
Siang pun bernafsu sepanjang kulminasi

Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih

Pengantinku
Antara batu & pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yg singgah

Kota kita di sini
Dijilat ruh-ruh hidup & mati

Kota kita di sini
Petak-petak pahir bagus & asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam

Kota kita di sini
Diri kehidupan yg gelisah
Memanjat rumah demi rumah

Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yg terlantar

Seperti sejumlah trend
Yang kering, lembap, & mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita

Seperti sejumlah risau, benci & cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu keinginan ziarahmu

Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita

DALAM KIRAI SAYAP WAKTU
Dalam kirai sayap waktu
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih

Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan

Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya