Acep Zamzam Noor & Contoh Puisinya – Sastrawan yg berjulukan Acep Zamzam Noor ini ialah sastrawan yg berasal dr kawasan Pasundan, Jawa Barat tepatnya dr kabupaten Tasikmalaya. Kumpulan puisinya: Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng dr Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007). Kumpulan puisi berbahasa Sunda: Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) & Paguneman (Nuansa Cendekia, 2011). Kumpulan Esai: Puisi & Bulu Kuduk (Nuansa Cendekia, 2011).
Bila sobat ingin membaca karya-karya puisinya, berikut kami suguhkan 20 contoh puisi dr penyair ternama Indonesia, Acep Zamzam Noor. Silahkan disimak ya….
Buat Padwa Tuqan
Semuanya belum pula menepi. Kapal-kapal di samudera
Pesawat-pesawat di udara, panser-panser di jalanan
Di medan-medan perselisihan. Dan era-kala yg bergulir
Tahun-tahun yg mengalir, isu terkini-musim yg bau
Entah kapan selsai. “Dilarang kencing!” seekor anjing
Menyalak pada dunia. Langit nampak masih membara
Hujan bom di mana-mana. Terdengar tangis bayi
Jerit para pengungsi. Tak henti-henti –
Bukankah seratus Hadiah Nobel telah diobral
Dan seribu negosiasi digelar? Tapi di manakah
Perdamaian? Masih adakah perdamaian itu? Semuanya
Belum mau menepi, belum mau melabuhkan diri
Lalu kapan menepi? Kapan akan melabuhkan diri? Kapal-kapal
Kehilangan pelabuhan, pesawat-pesawat kehilangan landasan
Panser-panser kehilangan terminal. Peluru-peluru berdesingan
Berita-isu berhamburan, pidato-pidato tak terbendung
Maklumat-maklumat, anutan-fatwa, slogan-slogan
Konferensi-konferensi, pelatihan-seminar
Meledakkan udara. Membakar seluruh cakrawala
Tapi kekuasaan terus berderap seperti sepatu
Seperti langkah waktu. Kekuasaan makin menderu
“Dilarang kencing di sini, bangsat!” seekor anjing
Kembali menyalak pada tembok-tembok kota
Yang sering dikencingi polisi & serdadu
Menyerap Tinta di Lautan
Akulah si miskin yg kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini gue menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi & keluasan langit
Aku terus menggeliat & menari
Sedih & riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu kekal
Beribu penyair sudah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dgn basi keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dr tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yg ada di bumi
Hingga gairahku menyala & berkobar kembali
Siang & malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup & mati. Lihatlah, tak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bareng pohon-pohon menuliskan cinta
Surat Cinta
Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dr belahan dunia yg hancur
Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yg mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung
Rauplah daun-daun yg jatuh, kembang-kembang yg luruh
Bayi-bayi yg terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi kala & milenium yg ngungun
Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan badan hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu
Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan menciptakan hari-harimu lebih bermakna
Ini ekspresi dominan gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dr reruntuhan waktu
Makati
Cahaya berpendaran dlm kepungan dentang lonceng
Yang berulang. Kusaksikan langit mulai beranjak tua
Ketika raung ambulan di jalan raya tak kunjung menjauh
Dari pendengaran. Kususuri detik, kurayapi menit demi menit
Kuhitung napas yg berjatuhan mirip rintik gerimis
Orang-orang masih bergegas, hari-hari masih akan melalui lagi
Tahun-tahun terus berganti, abad-era datang & pergi
Kubayangkan maut singgah di trotoar, duduk & batuk-batuk
Bunyi lonceng menciptakan langit makin renta & entah kenapa
Aku merasa mirip sudah kehilangan terlalu banyak kejadian
Romantic Agony
Ciumanmu melontarkanku ke dasar sunyi
Di bumi. Sinar bulan kuinjak dlm debu
Kegelapanlah yg kusongsong sebagai kesempatan baru
Ketika pohon-pohon hitam berbaris mengurungku
Langit merah padam siap menimpaku di segala penjuru
Aku bicara sebagai bangkai & serigala-serigala
Mengerti ucapanku. Kujabat tangan sungai yg deras
Dan kubiarkan salam-salamku hanyut oleh gelombang
Kini pakaianku ketabahan yg sobek, keikhlasan
Yang koyak. Aku bersujud mencari lumpur yg wangi
Sambil mengenakan ciumanmu & kepedihanku
Menggali & menimbun kuburan waktu
Manila Bay, Senja
Kau membawaku pada puncak gelombang
Dan gelombang membakarku dgn sepinya
Sebelum gelap turun, masih kubaca sisa badai
Napasmu seakan bisikan yg jauh, seakan
Sekarat langit yg panjang
Keperihanmu yakni borok bumi yg kekal
Dan kau menuntunku pada sentra nyerinya
Sebelum kematian tiba, kupuja eranganmu dgn cinta
Kepalsuan & dusta yg sama. Darahku tumpah lagi
Lautan tetaplah garam yg menyirami luka
Le Poete Maudit
Buat Saini K.M.
Mengurung diri dlm tungku
Dibakar cinta & rindu
Api memercik dr setiap tetes darah
Tubuhku yg luka. Dan kepercayaan pun menyala
Di tengah hamparan gurun tak bernama
Pasir-pasir hanyut
Dalam sujudku. Batu-watu
Tumpah
Mataku buta oleh tangis seratus tahun
Pada puncak tiang salib
Gairahku menari. Gerobak sejarah
Lewat
Menyeret Sodom & Gomorah
Kata-kata mengalir
Dari setiap desah napas
Tahajudku. Dan doktrin pun membara
Mengobarkan pertempuran tanpa simpulan:
Kematian melahirkanku kembali, mengulangku
Berkali-kali
Nokturno
Untukmu kunyanyikan lagu rinduku malam ini
Dengan musik yg tenang kulayari gelombang pasang
Kau tahu, betapa hening bunyi yg diciptakannya
Berdenting, mengetuk-ngetuk lantai & dinding
Betapa nyaring! Betapa runcing percik-percik airnya
Untuk kunyanyikan lagu rinduku malam ini
Dengan sarat kekhusyukan kudaki nada-nada tinggi
Lalu menukik ke dlm semadi, menyelam ke lubuk sepi
Kau tahu, kekasihku, rindu ialah napas syair-syairku
Ialah gitar yg kugaruki sepanjang waktu
Ialah musik improvisasi, yg iramanya berasal dr lubuk hati
Ialah samudera luas, yg ikan-ikan serta camar-camarnya liar
Ialah deru angin sakal, yg memukul layar & buritan
Ialah gemuruh biru, yg gemanya bersahutan dlm dadaku
Yang menggedor-gedor dinding beku. Aku cinta padamu
Lagu Pejalan Larut
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sesudah hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun gue dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah & perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu & jendela
Tungku-tungku menyalakan senja. Duapuluh tiga tahun
Aku mengejar-ngejar utara, mengejar selatan, kesasar di barat
Dan kehilangan timur. Beri gue cangkul! Beri gue kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Nb. Versi blog: Tungku-tungku menyalakan waktu
Kutukan
Setelah melewati sekian keterluntaan, kau datang
Dengan kalimat-kalimat panjang, senyum yg dipaksakan
Kau datang padaku dgn sajak-sajak yg ditulis
Sebagai persembahan. Tapi sajak yakni kutukan bagiku
Di mana ruang menjadi jurang, & gue harus melompat
Menyongsong lahirnya pengucapan gres
Betapa tersiksa membaca sajak-sajakmu yg sayup
Dengan sisa kesadaranku yg makin redup
Kulihat lampu-lampu padam, seperti langkah olengmu
Yang karam dlm pedihnya penciptaan:
Sekian kutukan, di mana keterluntaan kamu & saya
Menjadi bagian dr kemurungan zaman demi zaman
In Memoriam Kriapur
Sepucuk surat yg penuh catatan sunyi
Aku membacanya sambil minum darah bulan
Yang dituangkan langsung dr lukanya di langit
Sejenak gue mabuk & menari-nari
Menangisi bumi yg terus dikhianati
Sedikit kegembiraan kusisakan untuk kupu-kupu
Yang menandai jejakmu dlm sepi. Di kamarku
Lampu teramat redup untuk jadi isyarat
Bintang-bintang menyisih ke balik selimut
Dan tenggelam dlm kerumunan mimpi bawah umur –
Aku genggam suratmu & kubaca fajar yg tiba
Seberkas cahaya seperti menyemburkan kata-kata
Yang membuka sungai lain buat airmata
Pejalan Buta
Telah kulempar tongkatku pada gerojokan
Dan kubuang semua perbekalan. Ingin kuhayati sunyi
Sambil mendengar semua yg dibisikkan langit
Mencatat setiap jerit bumi yg sakit
Tanpa perahu gue berlayar alasannya adalah lautan luas
Adalah hatiku. Pantai-pantai berebut ingin menjemputku
Tapi gue mengelak sambil menari-nari di udara
Kelenturan sudah diwariskan burung padaku & belut
Menjadi kelicinanku. Meskipun ditumbuhi pohonan liar
Telingaku terbuka untuk kata-kata yg diucapkan membisu
Tanpa tongkat gue terus berlangsung, mengembara
Seperti si buta yg merambah dunia bukan dgn matanya
Zikir
Aku mengapung
Ringan
Meninggi padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan bagai ikan
Bagai pengecap api
Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggi-manggil
Namamu
Inilah zikirku:
Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah keterpurukanku
Selokan mampat kesia-siaanku
Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar, tak minum padahal haus
Tak menangis padahal sedih, tak berobat
Padahal luka, tak bunuh diri
Padahal patah hati
Anne! Anne! Anne!
Zikirku seribu sepi menombakmu
Menembus lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan megamu, membakar pusaran
Kabutmu, menghanguskan jarak
Ruang & waktu
Aku mencair
Bagai air
Mengalir padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding bagai kerikil
Bagai hantu
Anne! Anne! Anne!
Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap kepunahanku
Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak membohongi padahal ada potensi , tak menuntut
Padahal punya hak, tak memaksa
Padahal putus asa
Anne! Anne! Anne!
Zikirku seribu sunyi mengejarmu
Menggedor barikade pertahananmu, menerobos
Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu, merusak singgasana
Kekhusyukanmu
Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun mengundang-manggil
Namamu
Di Ujung Dago
Sunyi mengalunkan lagu
Pun segala jemu. Semilir angin mengurapi rabu
Ketika langkahku kehilangan tuju
Di antara pohon-pohon & udara beku
Kabut mempersempit ruang
Memadatkan waktu. Kenapa aku
Kenapa masih menunggu
Kenapa masih percaya padamu
Sedang ruang
Tak mengenal waktu
Sedang waktu tak mengenal ruang
Ruang & waktu tak mengenal rindu
Di Bawah Matahari Kramat Raya
Dalam bising jalanan & teriknya matahari siang
Di antara sejuta teriakan & gemuruhnya kendaraan
Orang-orang berseliweran, bergegas & berlari
Sibuk berebut & berlomba
Mengapa gue hanya membisu, kekasihku
Merasakan angin & debu menampar mukaku
Mengapa gue hanya bangkit menatapmu dgn kelu
Membiarkan matahari memperabukan tubuh & jiwaku
Dalam sibuk & suntuknya hari-hari pergumulan
Di antara sejuta unek-unek & gemuruhnya keserakahan
Orang-orang berjuang & saling menerkam
Mengapa gue cuma diam saja, kekasihku
Menyaksikan kemenangan-kemenangan yg menggelikan
Juga kekalahan-kekalahan yg tak lagi mengharukan
Mengapa gue cuma termenung melihat semua ini
Tanpa terlibat atau turut ambil kepingan
Mengapa gue senantiasa menghindar dr hingar bingar
Mengapa gue mirip kehilangan harapan
Mengapa gue enggan meneruskan kehidupan
Mengapa gue malas berebut & berlomba
Mengapa gue muak pada keinginan dunia
Mengapa gue benci terbitnya matahari
Mengapa gue hanya ingin diam & sendiri
Tenggelam dlm sepimu yg awet
Lanskap
Ketika lembar hari luruh
Kabutmu jatuh
Mengaca di bukit-bukit jauh
Gerimis yg turun
Firmanmu yg ngungun
Kudengar lembut mengalun
Ketika lembar hari mengaduh
Dan jiwa luluh. Kulihat cakrawala
Demikian akrab kita
Dalam bicara
Demikian bersahabat kita, serupa Musa
Pada tepian kata & ambang makna
Kalimat-kalimat yg terbit
Membersit di langit
Demikian bersahabat kita:
Demikian berat
Hidup cuma mengejar keasingan
Diburu kegamangan dr belakang
Lirik (2)
Kereta itu melintas pelan di hadapanku
Menaburkan kembang-kembang ungu
Kuhirup kuntum demi kuntum alasannya adalah tak tahu
Siapa mesti kucium. Stasiun hanya menunggu
Di deretan bangku masih tersimpan senyap & seribu
Alamat. Tapi kereta terakhir sudah melalui
Mengurungkan akhir zaman
Mungkin gue sudah menjemputmu
Mungkin pula telah kehilangan jejakmu
Tapi kenapa rel begitu cuek & kabut tak pula luruh
Di kejauhan kudengar lengking panjang azan subuh
Lirik (3)
Aku tidur memeluk perahu
Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang
Ke haribaanku. Gelombang
Airmata yg mengalir dlm doa-doaku
Aku mencatat semua yg dibisikkan angin
Membaca semua yg disampaikan masbodoh padaku
Menyerap cahaya bulan hingga lubuk dini hari:
Betapa cepat kuda maut merebut semua jalanku di bumi
Lautan kembali menyalakan kaki langit
Engkaulah cahaya pagi yg senantiasa terbit
Aku memeluk perahu. Waktu
Menghanyutkan lembar demi lembar usiaku
Airmataku Lilin
Airmataku lilin
Setelah khusyuk berdoa
Lebur menjadi puisi. Ingin melintasi gurun
Atau mendirikan kemah di ujung bumi
Tapi cahayaku tinggal lentik sepi
Tak terdengar oleh demam isu manapun
Dan waktu tak mau mencatatnya
Airmataku lilin yg menulis
Pada lembar-lembar angin
Di udara kunang-kunang bertaburan
Bintang-bintang menyapaku dgn kerlipnya
Tapi gue bukan penyair yg ingin diketahui
Biarlah bahasaku menjadi ketiadaan
Dan matiku bukanlah bunuh diri