2 Tokoh Usaha Umat Islam Indonesia Pada Abad Penjajahan

Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar tergolong dua orang pejuang yang lahir pada abad penjajahan, semua niscaya mengenal namanya karena di setiap dinding seklah selalu terpampang gambar lukisan ia. Namun nilai-nilai perjuangannnya masih banyak yang belum mengetahuinya. Kisah dan usaha hidup Pangeran Diponegoro dan Teuku Umar adalah perjuangan umat Islam abad penjajahan.
Berikut yaitu 2 tokoh usaha umat Islam Indonesia pada periode penjajahan, selengkapnya.

1. Pangeran Diponegoro (w.1855 M)

Pangeran Diponegoro ialah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang ibu berjulukan R.A. Mangkarawati, yang ialah keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sungguh disegani di periode Panembahan Senapati mendirikan kerajaan Mataram.
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro berjulukan Bendara Raden Mas Antawirya. Sejak kecil ia dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo, terkenal sebagai orang yang amat saleh. Beliau senantiasa berusaha memperdalam soal agama.
Untuk memperkuat imannya, ia sering mengasingkan diri di kawasan-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya banyak orang kesengsem oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sungguh saleh, beliau tidak mementingkan keduniawian, dan senantiasa mengenang kepentingan biasa .
Terdesak oleh keadaan maka dia bertindak untuk menjaga kedudukan para aristokrat dan membela nasib rakyat kecil. Diponegoro lebih terpesona pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga beliau lebih senang tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, ketimbang di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja di bawah pengawasan residen.
Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan tujuan siasat Belanda itu menilai bahwa kedudukannya selaku wali Sultan berlawanan dengan aturan-hukum agama sehingga dia menolak pengangkatan tersebut oleh Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Perang Diponegoro (1825-1830) berawal dikala pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, dia memang telah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai akhlak istiadat lokal dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, menerima simpati dan santunan rakyat.
Atas anjuran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menghindari Tegalrejo, dan menciptakan markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya yaitu perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro menjinjing dampak luas hingga ke daerah Pacitan dan Kedu.
Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Mojo, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo diketahui selaku ulama besar yang sebetulnya masih memiliki korelasi kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, yakni kerabat perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.
Dalam peperangan-peperangan dari tahun 1825 sampai 1826 kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan (1) semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi, (2) siasat gerilya yang dijalankan Diponegoro belum tertandingi, dan (3) sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk melaksanakan perdamaian selalu ditolak oleh Diponegoro. Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan kian meluasnya medan peperangan, maka Belanda menganggap bahwa perlawanan Diponegoro sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia.
Itulah sebabnya Belanda lalu menggelar banyak sekali siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan Diponegoro itu. Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan.
Sampai tahun 1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh alasannya adalah kondisinya yang kian terdesak dan melihat kedudukannya yang telah tidak ada keinginan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan. Dengan berbagai argumentasi tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap di tempat negosiasi tersebut.
Diponegoro kemudian dibawa ke Menado dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana dia wafat pada tanggal 8 Januari 1855. Makam ia hingga sekarang menjadi daerah ziarah bangsa Indonesia. Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro.
Kota Semarang sendiri juga memperlihatkan apresiasi biar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama kawasan yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro.
Pemerintah Republik Indonesia pada kurun pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah mengadakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 lewat Keppres No.87/TK/1973.

2. Teuku Umar (w.1899 M)

Salah satu pendekar dari Aceh yang dengan gigih melawan Belanda yakni Teuku Umar. Teuku Umar yang dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, yaitu anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik wanita Raja Meulaboh. Umar mempunyai dua orang kerabat wanita dan tiga saudara pria. Nenek moyang Umar yaitu Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau.
Dia ialah keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar berpartisipasi berjuang bareng pejuang-pejuang Aceh yang lain, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian dilanjutkan ke Aceh Barat.
Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar telah diangkat selaku keuchik gampong (kepala desa) di tempat Daya Meulaboh. Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk mengembangkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.
Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yakni Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam pertempuran melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bareng melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.
Teuku Umar lalu mencari strategi untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada dikala itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh.
Teuku Umar lalu masuk dinas militer. Taktik tersebut berhasil, selaku kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut). Tahun 1884 Kapal Inggris “Nicero” terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom.
Teuku Umar diperintahkan untuk membebaskan kapal tersebut. Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal “Nicero” dengan syarat diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam rentang waktu yang lama. Teuku Umar berangkat dengan kapal “Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya.
Tidak usang, Belanda dikejutkan info yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Seluruh senjata dan peralatan perang lainnya dirampas. Sejak itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Pada tanggal 10 Pebruari 1899 Masehi, di Keudee Lhok Bubon, Teuku Umar bareng pasukannya mengatur planning penyerangan terhadap Belanda yang berada di Tangsi Meulaboh.
Namun rencana ini terdengar oleh Belanda, Jendral Van Heutzs memerintahkan Letnan Ver Brugh untuk memimpin pasukannya berpatroli ke arah Barat dengan menyusuri pantai serta melaksanakan pengawalan di Suak Ujong Kalak.
Teuku Umar bergerak menyusuri pantai bersama pasukannya dari Lhok Bubon menuju Meulaboh pada malam hari tanggal 11 Pebruari 1899 Masehi, Pasukan Belanda yang telah lebih dulu bersiaga di seberang Suak Ujong Kalak melepaskan tembakan. Pasukan Teuku Umar terkepung, Peluru Belanda bersarang di dada kirinya dan usus besar, beliau gugur selaku Syuhada’.
Itulah bahasan singkat perihal 2 tokoh perjuangan umat Islam Indonesia pada kurun penjajahan.
Semoga berguna.