10 Contoh Puisi Wing Karjo

Wing Karjo & Contoh Puisinya –  Wing Kardjo atau banyak pula yg menulis Wing Karjo adalah penyair yg dilahirkan di Garut pada tanggal 23 April 1937 dan meninggal dunia di Jepang pada 19 Maret 2002. WIng Kardjo menempuh pendidikan dasarnya di SD & Sekolah Menengah Pertama Negeri Tasikmalaya, Sekolah Menengan Atas Nasrani Garut, B-1 Bahasa Prancis, Jakarta (1959). Sambil jadi guru di Sekolah Menengan Atas Kanisius Jakarta, hendak melanjutkan kuliah di UI, tetapi jadi korban pemukulan dlm perpeloncoan hingga terpaksa masuk RSUP bagian syaraf.

Setelah sembuh pindah ke Ciamis, mengajar di SMA Negeri, lalu pindah ke Unpad, menjadi tangan kanan dosen sebelum diantarke Paris tamat tahun 1962, untuk memperdalam Bahasa Francis di Institut des Professeurs de Francais a Etranger, Sorbonne, Universite de Paris, & berhasil mendapatkan beberapa certificat & Diplome de Litterature Francaise Contemporaine.

Setelah masa beasiswa habis, pada tahun 1965, ia tak secepatnya pulang ke tanah air, tetapi terus kuliah sambil bekerja sambilan & gres pulang pada awal tahun 1968, & kembali ke almamaternya, Unpad. Pernah mengajar di Seskoad & Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta. la gres resmi menjadi sarjana sastra dgn skripsinya “Les Problemes pratiques de la traduction poetique” tahun 1973.

Karya-karyanya yg sudah diterbitkan cuma sedikit, antara lain Sajak-sajak Perancis Modern dlm Dua Bahasa (Pustaka Jaya, 1972), Selembar Daun (Pustaka Jaya,1974), Perumahan (Budaja Djaja, 1975), & Pangeran Kecil/ Antoine St. Exupery (Pustaka Jaya, 1979), Fragmen Malam (Pustaka Jaya, 1975) & Pohon Hayat: Sejemput Haiku (Forum Sastra Bandung, Mei 2002. Selain itu menulis pula sejumlah esai, & novel pendek, semi biografi, terbit dgn judul Topeng.




Berikut 10 pola puisi Wing Karjo yg mampu Sobat simak.

  Seminggu Untuk Selamanya

Yang Jauh

Seolah hidup harus hidup
kamu yg jauh, kian jauh
saja, seakan cuma bayang-
bayang di bawah pohon teduh


Kau hilang dr pemandangan
tetapi pula tak mati mirip mimpi.
Adakah yg kautunggu selalu
walaupun hari-hari terus berlalu?

Mungkin petang & bayang-
bayang ekspresi dominan panas kian
panjang, semakin cemas

daun-daun menguning mendekati
musim gugur. Hari kian pendek
saja. Nanti, nantikanlah!



Karuhun

1.
Rumput. Ombakkah yang
di laut. Hiu, ikan cucut, kau
lupa siapa cucumu. Di hulu sungai
warak. Salak srigala di belantara kota.


Kamarku di sana, beratap pengap,
berdinding beling, langit-langit undian,
tujuhpuluhlima juta. Mari bergadang,
main kartu, minum arak, makan sajak,
bicara mahasiswi, jingkrak
jingkrak, berteriak! Kaset pusing
merintihkan daging. Hiburan murahan.

Sedang dahulu karuhun
nayuban hingga pagi, minum sopi
merangkul penari, hidup dlm gamelan mimpi.


2.
Itu zaman penjajahan
Kami jauh lebih dewasa, begitu
sederhana dlm alam merdeka. Antara
gubuk-gubuk & rumah glamor, barang berlimpah.

Sarapan menganga: kopisusu, rotibakar dan
matasapi. Airjeruk extra . Ayam apa pula
bertelur tanpa berkelamin makan vitamin dalam
bumbung janin? Cinta memerlukan dapur, kawasan tidur.

Rumput. Ombakkah yang
di bahari. Hiu, ikan cucut, kamu lupa
siapa cucumu.Dulu kamu menerka senang.

Kami, dr hari
ke hari memupuk diri
dengan pinjaman mimpi.

Tafakur


7-7-7 itu saja tiap malam yg kuharapkan turun 7-7-7
itu saja doaku pada tuhan. Gambar-gambar berputar,
bar-bar-kafe tak ingin keluar. Bintang- bintang pula tak
mau herhenti beredar dlm garis horisontal/diagonal.

Kupanggili nenek-moyang dr istirahatnya yang
hening semoga menolongku menang bar-kafetaria-kafetaria
hati berdebar-debar. Walau bintang-bintang
berjatuhan & 7-7-7 berbaris beraturan,
besok babak, baru berulang lagi di sini. Doa-doaku
kembali masuk putaran neraka. Panas nafsu
menang. Dingin takut kalah, berulang-ulang.

7-7-7 itu saja tafakurku 7-7-7
tiap malam penuh bintang
malang-melintang.

Sumber


Selalu kureguk sinar matamu,
dogma menghargai hari
Tak sangka helai demi
helai daun turun
mengubur tubuhmu dengan
kelam. Begitulah matahari
terbaring, memperabukan
rumput kuning.

Langit bernafas sunyi,
meniupkan lagu
kering. Kala
bel berdering, kukira kau
pulang, kubuka pintu,
angin melengos bisu.

Catatan


1.

Mencatat dgn alat-alat rongsokan, itulah
hidupku. Aku mesti mulai lagi. Ibu, dari
mana? Dari bayi yg mau dilarikan
perempuan Belanda tetangga itu?
Kau cemas sampai mesti pindah kota
hingga jadinya gue lari dr kota yang
satu ke kota yg lain. Ibu, siapakah
saya? Aku lahir dr rahimmu. Itu
pasti. Lantas sekolah, kemudian bekerja.

Dan mestinya gue guru yg jelek.
Ilmu apa yg kuajarkan?
Kebaikan? Kemanusiaan?
Alat perdagangan?
Alat berafiliasi?


2.
Mestinya gue puas dgn mengajar bahasa.
Tapi tidak. Aku mencar ilmu lagi bicara, juga
dengan a, b, c, yg artinya tak pasti.

Aku tak mau mengajarkan
bahwa kursi itu cuma kursi, tapi contohnya
kedudukan, kekuasaan. Pengetahuanku
kesannya tak lain dr bayangan
kenyataan sehari-hari.

Apakah yg penting? Hidup? Juga
mungkin bukan, sehab itu fana
kata orang Jawa. Uang?
Juga pastinya bukan, alasannya adalah itu juga
cuma alat. Dan kita semua maklum
kecuali jika kita ( … )

Dan Kau Pun


Dan kau pun mengajukan pertanyaan
adakah yg indah
dari hidupku?
Tentu,
tentu, tetapi sudah tenggelam
dalam waktu. Lantas kamu
pun bertanya: Adakah
yang bagus dr diriku?
Tentu, tentu tapi masih
tersembunyi, dalam
mimpi
hingga kamu tetap saja
sendiri, ajaib dari
jatidiri yg sejati.

Hutan


Dengung sunyi
terbit dgn pagi
mengisi langit
pahit.

Di dasar hutan
kerangka bulan
hitam.

Gaung lengang
merayap dgn slang
membakar padang
gersang.

Di dasar malam
kerangka bahtera
tenggelam.

  20+ Puisi Kemerdekaan, Semangat Juang Tanpa Henti

Sajak dlm Angin

Beri gue mimpi

bagai seribu lilin,
tak putus-putus nyala
dalam malam-malam dingin

hingga kelam
tidak ingin lagi berbenah
di kamarku, ruang yang
tak kenal istirah, Maka kami

pun tak habis nyalang,
membuka mata menyanyikan
lagu-lagu riang ihwal beribu-ribu

kenangan
wacana rindu yang
tak kenal bayang-bayang

Potret Senja


Setelah segala mimpi tertidur
Apakah lagi mampu kuulur
Selain tangan lembut tak bergairah
Menjamah tubuhmu
Hidup dlm hidup
Teratur
Tetapi makin tertutup
Dan kabur
Sehabis segala mimpi tertidur
Apa lagi bisa kuulur
Kecuali umur
Memanjang
Makara bayang-bayang
Remang …



L’espoir

Perang bagi yg menang
Memukul genderang
Usungan keranda
Bagai upacara mulia
Perang bagi yg lumpuh
Mendendam lawan
Berkarat mayit
Dengan kutuk hianat
Yang menghantam dgn jiwa utuh
Bersenjata ampuh,
Yang rapuh
Dikoyak-koyak, rubuh!
Perang bagi yg menang …
Memukul genderang