WS Rendra & Contoh Puisinya – Rendra merupakan sastrawan yg terkenal dgn sebutan “si Burung Merak”. Terlahir dgn nama Willibrordus Surendra Broto Rendra di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935, anak pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo & Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya yakni seorang guru Bahasa Indonesia & Bahasa Jawa pada Sekolah Kristen di Solo, disamping selaku dramawan tradisional. Sedangkan ibunya adalah penari Serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil hingga akil balig cukup akal ia habiskan di kota kelahirannya.
Bakat Sastra WS Rendra sudah mulai terlihat tatkala ia duduk di kursi SMP. Saat itu ia sudah mulai menandakan kemampuannya dgn menulis puisi, dongeng pendek, & drama, untuk berbagai aktivitas sekolahnya. Bukan hanya menulis, tetapi pula piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, & khususnya tampil selaku pembaca puisi yg sangat berbakat.
Kaki Palsu yakni judul drama pertamanya yg dipentaskan tatkala ia masih Sekolah Menengah Pertama, & Orang-orang di Tikungan Jalan yaitu drama pertamanya yg mendapat penghargaan & hadiah pertama dr Kantor Wilayah Departemen Pendidikan & Kebudayaan Yogyakarta pada saat ia duduk di Sekolah Menengan Atas.
Ia pertama kali menerbitkan puisinya di media massa tahun 1952 lewat majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya menghiasi banyak sekali majalah yg ada dikala itu seperti Kisah, Seni, & Siasat Baru. Hal itu berlanjut dgn berbagai majalah pada dekade, khususnya dekade 60-an & 70-an.
Pada tahun 1967 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta & Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak kuliah di Jurusan Sastra Inggris, Universitas Gajah Mada, ia sudah aktif menulis cerpen & esai di aneka macam Majalah.
Bengkel Teater ini sangat populer di Indonesia & memberi suasana baru dlm kehidupan teater di Tanah Air. Sampai kini Bengkel Teater masih berdiri & menjadi basis bagi aktivitas keseniannya.
Rendra mulai dikenal luas tatkala menyelenggarakan ‘Kemah Kaum Urakan‘ di pantai Parang Tritis, Yogyakarta tahun 1970-an. Drama & sajaknya sering dicekal pemerintah alasannya adalah kritiknya yg begitu tajam. Rendra mendapatkan gelar Doctor Honoris Causa (HC) dr Universitas Gajah Mada pada tahun 2008. Ia merupakan Doctor HC Ke-19 dr UGM.
WS Rendra meninggal dunia pada hari Kamis, 6 Agustus 2009 pukul 22.30 alasannya sakit di RS Mitra Keluarga, Bogor, Jawa Barat.
Aku Tulis Pamplet Ini
Aku tulis pamplet ini
sebab forum pertimbangan umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dlm kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yg terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat jalan masuk resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga usulan lazim tak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan kesudahannya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku kehendaki merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin menciptakan isyarat asap kaum Indian.
Aku tak menyaksikan argumentasi
kenapa mesti membisu depresi & melongo.
Aku ingin dengan-cara masuk akal kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan oke & tak baiklah.
Kenapa panik menjadi tabir fikiran ?
Kekhawatiran sudah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan sudah mengganti pergaulan asumsi yg merdeka.
Matahari menyinari airmata yg berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
alasannya mitra & lawan adalah kerabat
Di dlm alam masih ada cahaya.
Matahari yg karam diganti rembulan.
Lalu besok pagi niscaya terbit kembali.
Dan di dlm air lumpur kehidupan,
saya melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, insan !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa
Pengarang: W.S Rendra
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kamu-sekalian kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa akil balig cukup akal kita yg gemilang
Dan pula masa depan kita yg hampir selsai
dan dgn lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dgn nasib kita
Kerna soalnya yaitu aturan sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerana setiap orang mengalaminya
Hidup tidaklah untuk mengeluh & mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahsia langit & samodra
serta mencipta & mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna peran ialah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
tetapi demi kehormatan seorang insan.
kerana bergotong-royong kita bukanlah debu
meski kita sudah reyot,tua renta & kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yg tak seorang pun berkuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yg dibelai napas kita.
sembilan puluh tahun yg senantiasa bangkit
melupakan tahun-tahun usang yg porak peranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana dulu kita tersenyum senantiasa
menghadapi langit & bumi,dan pula nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu perilaku.
Sikap kita untuk Tuhan,insan sesama,nasib & kehidupan.
Lihatlah! sembilan puluh tahun sarat warna
Kenangkanlah bahawa kita telah senantiasa menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah & bongkok
kerna usia tampaknya lebih berpengaruh dr kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa hidup kita ditantang seratus dewa.
1972
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yg dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yg disebar di bumi subur ini
namun bangkai & wajah mati yg sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan gue membunuh
perkenankan gue menghujamkan sangkurku
Malam & wajahku
yaitu satu warna
Dosa & nafasku
yaitu satu udara.
Tak ada lagi opsi
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yg bisa diucapkan
oleh bibirku yg terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yg capai
mendekap bumi yg mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-dekat kugenggam senapanku
Perkenankan gue membunuh
Perkenankan gue menikamkan sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh & peristiwa
Tubuh biru
tatapan mata biru
laki-laki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
laki-laki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dgn berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Siasat
Th IX, No. 42
1955
Gugur
Ia merangkak
di atas bumi yg dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dgn gemilang
pelor terakhir dr bedilnya
Ke dada musuh yg merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yg dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai macan bau tanah
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dr kotanya
Sesudah pertempuran yg gemilang itu
lima cowok mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yg dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dr tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan gue pun berasal dr tanah
tanah Ambarawa yg kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yg menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah kawasan pautan yg sah.
Bumi kita yakni kehormatan.
Bumi kita ialah juwa dr jiwa.
Ia ialah bumi nenek moyang.
Ia ialah bumi waris yg sekarang.
Ia ialah bumi waris yg akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh & terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari sudah fajar !
Wahai bumi yg indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan berkembang dgn subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
sewaktu menutup matanya
Hai, Kamu !
Luka-luka di dlm lembaga,
intaian arogansi kekerdilan jiwa,
noda di dlm pergaulan antar insan,
duduk di dlm kemacetan angan-angan.
Aku berontak dgn memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku mendengarkanpada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yg mengekangku.
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Kelelawar
Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tak sedih.
Terapung dlm waktu.
Ma, gue melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tak menduga
Begitu penuh ananda mengisi buku alamat batinku.
Sekarang gue kembali berjalan.
Apakah gue akan menelefon sahabat?
Apakah gue akan makan udang gapit di kedai makanan?
Aku sebel terhadap cendikiawan yg menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding kendaraan beroda empat berlapis baja.
Hanya ananda yg yummy diajak bicara.
Kakiku melangkah melalui sampah-sampah.
Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dlm saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.
Lagu Seorang Gerilya
(Untuk putraku Isaias Sadewa)
Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yg berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dr jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yg membara.
Di dlm hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yg agung & syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dr dadaku.
Maka di dikala mirip itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yg sudah gugur
di dlm berjuang membela rakyat jelata
Jakarta, 2 september 1977
Rumpun Alang-Alang
Engkaulah perempuan terkasih, yg sejenak kulupakan, sayang
Kerna dlm sepi yg jahat tumbuh alang-alang di hatiku yg malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yg gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut & bandel
Gelap & bergoyang ia
dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yg punya
tetapi alang-alang tumbuh di dada
Sajak Burung-Burung Kondor
Angin gunung turun merembes ke hutan,
kemudian bertiup di atas permukaan kali yg luas,
dan karenanya berumah di daun-daun tembakau.
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani – buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tak memberi kesejahteraan bagi orangnya.
Para tani – buruh melakukan pekerjaan ,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yg subur,
memanen hasil yg berlimpah & sejahtera
tetapi hidup mereka sendiri sengsara.
Mereka memanen untuk tuan tanah
yang mempunyai istana indah.
Keringat mereka menjadi emas
yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa.
Dan jikalau mereka menuntut perataan pemasukan,
para hebat ekonomi membetulkan letak dasi,
dan menjawab dgn mengirim kondom.
Penderitaan mengalir
dari parit-parit wajah rakyatku.
Dari pagi hingga sore,
rakyat negeriku bergerak dgn lunglai,
menggapai-gapai,
menoleh ke kiri, menoleh ke kanan,
di dlm usaha tak menentu.
Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah,
dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai,
dan sukmanya menjelma burung kondor.
Beribu-ribu burung kondor,
berjuta-juta burung kondor,
bergerak menuju ke gunung tinggi,
dan disana mendapat hiburan dr sepi.
Karena hanya sepi
mampu menghisap dendam & sakit hati.
Burung-burung kondor menjerit.
Di dlm marah menjerit,
bergema di tempat-tempat yg sepi.
Burung-burung kondor menjerit
di kerikil-watu gunung menjerit
bergema di kawasan-daerah yg sepi
Berjuta-juta burung kondor mencakar kerikil-kerikil,
mematuki batu-kerikil, mematuki udara,
dan di kota orang-orang bersiap menembaknya.
Yogya, 1973