Subagio Sastrowardojo & Contoh Puisinya – Subagio Sastrowardojo lahir di Madiun, pada 1 Februari 1924. Karirnya di dunia seni dimulai pada zaman revolusi dgn menyanyi & melukis. Baru tahun limapuluhan mulai menulis cerpen, sajak & esai. Ia sempat memperdalam pengetahuannya dlm bidang sastra & teater di Yale University.
Ia pun pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984), & anggota kalangan kerja sosial-budaya Lemhanas. Berikut hasil karyanya dlm literatur kesusastraan Indonesia.
Kumpulan Puisi:
- Simphoni (1957)
- Daerah Perbatasan (1970)
- Hari & Hara (1982)
Kumpulan Cerpen:
- Kejantanan di Sumbing (1965).
Esai:
- Bakat Alam & Intelektualisme (1972).
Karya lain:
- Keroncong Motinggo (1975)
- Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (1989)
- Simfoni Dua (1990)
- Sekilas Soal Sastra & Budaya (1992)
Cerpennya “Kejantanan di Sumbing”, mendapat kado pertama majalah Kisah tahun 1955. Sajaknya, “Dan Kematian Makin Akrab”, memenangkan kado majalah Horison untuk sajak-sajak yg diangkut di majalah itu tahun 1966/1967. Kumpulan eseinya, Sastra Hindia Belandan & Kita (1983), memperoleh Hadiah Sastra DKJ 1983.
Tahun 1971 Subagia Sastrowardojo mendapatkan Anugerah Seni dr Pemerintah RI untuk kumpulan sajaknya, Daerah Perbatasan (1970), tahun 1991 menerima Hadiah Sastra Asean, & tahun 1992 mendapat penghargaan Yayasan Buku Utama untuk bukunya Pengarang Modern selaku Manusia Perbatasan. Sebagian sajaknya sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, & Rusia.
10 puisi dibawah yakni kumpulan puisi ia yg Admin rangkum dr berbagai sumber. Silahkan disimak ya Sob..
Kalau gue pergi ke mancanegara, dik
sebab hawa di sini sudah pengap oleh
anggapan-pikiran beku.
Hidup di negeri ini mirip di dlm kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai kemudian lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbicara tentang susila, politik & agama
seperti soal-soal yg dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dgn hangat
dengan perhatian & tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan hening di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dr cinta dan yakin.
Kalau gue pergi ke luar negeri, dik
alasannya gue ingin merdeka & memperoleh diri.
Rumah kosong
Sudah usang ingin dihuni
Adalah sobat bicara; Siapa saja atau apa
Jendela, bangku
Atau bunga di meja
Sunyi, menyayat seperti belati
Meminta darah yg mengalir dr mimpi
Asal mula yakni kata
Jagat tersusun dr kata
Di balik itu cuma
ruang kosong & angin pagi
Kita takut pada momok alasannya adalah kata
Kita cinta pada bumi karena kata
Kita yakin pada Tuhan sebab kata
Nasib terperangkap dlm kata
Karena itu saya
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa
Demi malam yg ramah
saya berjanji akan menyerah
terhadap angin
yang menyisir tepi hari
Di pinggir lembah
aku akan diam terbaring
Yang menciptakan gue takut
hanya bulan di sela ranting
yang memperdalam hening
malam rebah
di punggung
sepiku
gigir gunung
susut di beling
hari makin surut
dan bibir habis kata:
dinda, di mana, siapa
tangan terkepal
terhenyak di meja
pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yg tinggal agak jauh dr kampung
sudah membuat patung
dari lilin
serupa ia sendiri
dengan badan, tangan & kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tetapi di dada
–aku cinta–kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
sudah membikin ciptaan itu abadi
saat habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala
Tugasku hanya menterjemah
gerak daun yg tergantung
di ranting yg lelah. Rahasia
membutuhkan kata yg terucap
di puncak sepi. Tatkala daun
jatuh takada titik darah. tapi
di ruang kelam ada yg merasa
kehilangan dan mengaduh pedih
Kejatuhan
Di tempat mimpi
nyawaku berdiri selaku pohon hitam
dengan buah-buah getir bergantung di dahan
jangan masuk taman terlarang
atau akan bangkit gue tersentak
melihat diri telanjang
Atau cukup lebarkah tanganmu
untuk menutup lobang malu?
Nuh
Kadang-kadang
di tengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debur bahari
menghempas karang
Aku tahu niscaya
sesudah mengembara
dan bercengkerama di kota
aku akan kembali ke pantai
menyanggupi janji
Sekali ini tak akan ada pelarian
atau perlawanan
Kapal terakhir terdampar di pasir
Aku akan mengalah membisu
waktu air membenam
Sayap Patah
semenjak berdiam di kota
hati yg memberontak
telah menjadi jinak
sekarang pekerjaan tinggal
membaca di kamar
barang dua-tiga sajak
atau memperbaiki pagar di halaman
(yang sudah mulai rusak)
atau menyuapi anak
waktu menangis sebab lapar
kadang kala pula memuji istri
memakai baju yg gres dibeli
— meneropong bintang
bukan lagi menjadi hobi –
hanya sesekali di paras beling
saya berkata menghibur diri:
bidadari! sayapmu patah
sekali waktu akan pulih kembali