Sanusi Pane & Contoh Puisinya – Siapakah Sanusi Pane yg merupakan kakak kandung Armijn Pane ini? Sanusi Pane merupakan salah satu penyair dr Indonesia. Ia dilahirkan di Muara Sipongi, Tapanuli, pada tanggal 14 Mei 1905. Ia meninggal di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1968.
- Pantjaran Tjinta (1926)
- Puspa Mega (1927)
- Madah Kelana (1931)
- Kertadjaja (1932)
- Sandhyakala ning Majapahit (1933)
- Manusia Baru (1940)
Selain itu, ia pun menulis dua buah sandiwara dlm bahasa Belanda: Airlangga (1928) & Eenzame Garoedavlucht (1929). Dalam karyanya, Manusia Baruyang mengambil daerah berlakunya di India, semua sandiwara-sandiwara Sanusi menurut sejarah jaman Hindu di Jawa. ia memang memiliki minat yg serius terhadap penulisan sejarah nasional Indonesia. Ia menulis Sejarah Indonesia (1942) yg dilengkapkan enam tahun kemudian (1948) & Indonesia Sepanjang Masa (1952) yg merupakan kritik kepada cara penulisan sejarah Indonesia hingga dikala itu.
Berikut 10 Contoh Puisi dr Sanusi Pane yg mampu Sobat simak:
Badan yg kuning-muda sebagai kencana,
Berdiri lurus di atas reta bercaya,
Dewa Candra keluar dr istananya
Termenung menuju Barat jauh di sana.
Panji berkibar di ajudan, tangan kiri
Memimpin kuda yg bernapaskan nyala;
Begitu ilahi lewat cakrawala,
Menabur-naburkan perak ke bawah sini.
Bisikan malam bertiup seluruh bumi,
Sebagai lagu-merawan buluh perindu,
Gemetar-beralun rasa meninggikan sunyi.
Bumi bermimpi & ia mengeluh di dalam
Mimpinya, alasannya ingin bertambah rindu,
Karena rindu dipeluk sang Ratu Malam
Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantoro
Dalam kebun di tanah airku
Tersembunyi kembang indah permai,
Tidak tampakorang yg kemudian.
Akarnya tumbuh di hati dunia,
Daun berseri Laksmi mengarang;
Biarpun ia diabaikan orang,
Seroja kembang gemilang mulia.
Teruslah, O Teratai Bahagia
Berseri di kebun Indonesia,
Biar sedikit penjaga taman.
Biarpun kau-sekalian tak dilihat,
Biarpun kau-sekalian tak diminat,
Engkau turut menjaga Zaman
Di mana harga karangan sajak,
Bukanlah dlm maksud isinya,
Dalam bentuk, kata nan rancak
Dicari timbang dgn pilihnya.
Tanya pertama ke luar di hati,
Setelah sajak dibaca tamat,
Sehingga mana tersebut sakti,
Mengingat diri di dlm hikmat.
Rasa bujangga waktu menyusun,
Kata yang datang berduyun-duyun
Dari dalam, bukan nan dicari
Harus kembali dlm pembaca,
Sebagai bayang di tampang beling,
Harus bergoncang hati nurani
Aku menyusun kembang melati
Di bawah bintang tengah malam,
Buat memperlihatkan betapa dalam
Cinta kasih memasuki hati.
Aku tidur menantikan pagi
Dan mimpi dlm bah’gia
Duduk bersanding dgn Dia
Di atas pelaminan dr pelangi
Aku bangun, tetapi mentari
Sudah tinggi di cakrawala
Dan pujaan sudah akhir
O Jiwa, yg menunggu hari,
Sudah Hari tiba bernyala,
Engkau berimajinasi , termenung lalai.
Aku merasa tenaga gres
Memenuhi jiwa & tubuhku;
Hatiku rindu ke padang Kuru,
Tempat berjuang, perang selalu.
Aku merasa bagai Pamadi,
Setelah mendengar sabda Guru,
Narendra Krisyna, di Ksetra Kuru:
Bernyala ke dewan dlm hati.
Tidak ada yg mampu melintang
Pada jalan menuju maksudku:
Menang berjuang bagi Ratuku.
Mahkota nanti di balik bintang
Laksmi letakkan d’atas kepala,
Sedang bernyanyi segala tuhan.
Pada kepalaku sudah direka,
Mahkota bunga kekal belaka,
Aku sudah jadi merdeka,
Sudah mendapat bahagia baka.
Aku terbang kelangit bintang,
Dengan mata yg bercaya-caya,
Punah sudah apa melintang,
Apa yg dahulu mengikat saya.
Mari kekasih, jangan ragu
Mencari jalan; gue mendahului,
Adinda kini
Mari, kekasih, turut daku
Terbang kesana, dgn lewat,
Hati sendiri.
Taj Mahal
Kepada Andjasmara
Dalam Taj Mahal, ratu astana,
Putih & permai: pantun pualam
Termenung membisu di tepi Janma
Di atas makam Arjumand Begam
Yang beradu di segi Syah Jahan,
Pengasih, bernyanyi megah mulia
Dalam nalam tiada berpadam,
Menerangkan cinta akan dunia.
Di sana, dlm duka nestapa,
Aku merasa seorang peminta
Di depan gapura kasih cinta
Jiwa menjerit, dicakra murung
Akh, Kekasihku, memanggil tuan.
Hanya Jamna membalas seruan.
Tanah Bahagia
Bawa daku ke negara sana, kawasan bah’gia,
Dilangiti biru yg suci, harapan cinta,
Dikelilingi pegunungan damai mulia.
Bawa daku kebenua bengong berangan,
Ke tanah tasik kesucian memerak silau,
Tersilang sungai kekuatan kilau kemilau,
Dibujuk angin membisikkan kenang-kenangan
Ingin jiwa pergi ke sana tak terkata:
Hatiku dibelah sengsara saban hari,
Keluh kesah tak berhenti sebentar jua.
O tanah bah’gia, bersinar emas permata,
Dalam murung cita kamu-sekalian mematahari,
Pabila gerang tiba waktu bersua?
Wijaya Kesuma
Di balik gunung, jauh di sana,
Tempat tumbuh kesuma wijaya,
Bunga yg indah, penawar fana.
Hanya sedikit yg tahu jalan
Dari negeri sampai ke sana.
Lebih sedikit lagi orangnya,
Yang mampu meraih gerbang taman.
Turut bunyi seruling Krisyna,
Berbunyi merdu di dlm hutan,
Memanggil engkau dgn sih trisna.
Engkau dipanggil senantiasa
Mengikuti sidang orang pungutan:
Engkau menurut orang biasa.
Aku menatap tersenyum arah ke bawah:
Bandung mewajah di dlm kabut.
Jauh di sana bermimpi Gede-Pangrango,
Seperti pulau dlm lautan awan.
Langit kelabu,
Alam muram.
Dan ke dlm hatiku,
Masuk perlahan
Rindu dendam.
Jiwaku meratap bersama jiwa
Gembala yg bernyanyi dlm lembah.
Ratap terbang bareng suara
Kedalam kemuraman
Kehilangan.