Nirwan Dewanto & Contoh Puisinya – Nirwan dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada tanggal 28 September 1961. Saat masih di SMA ia sudah menulis puisi; karya-karyanya diterbitkan di majalah antara lain Kuncung & Kartini. Setelah lulus SMA, Nirwan kuliah di Institut Teknologi Bandung di Bandung, Jawa Barat, dr tahun 1980 sampai 1987. Setelah meraih gelar Sarjana Geologi, kemudian ia berpindah ke Jakarta.
Nirwan menduduki dewan juri pada Penghargaan Khatulistiwa pertama, pada tahun 2001. Di kemudian hari Nirwan menyatakan bahwa proses seleksi kurang baik, sampai-hingga dewan juri sering tak memahami karya yg dinilai & kadang-kadang menganggap karya dengan-cara sembarangan. Pada tahun yg sama ia menghasilkan antologi puisi Buku Cacing.
Nirwan menang Penghargaan Khatulistiwa pada tahun 2008 untuk antologi puisi Jantung Ratu Lebah; penghargaan ini pula termasuk honorarium senilai Rp 100 juta. Penulis cerita pendek Seno Gumira Ajidarma, seorang juri, menyatakan bahwa antologi tersebut merupakan karya monumental. Pada tahun 2010 Nirwan menciptakan antologi puisi yg berjudul Buli-Buli Lima Kaki. Tahun selanjutnya beberapa karyanya ditampilkan bareng musik oleh Dian HP & istri Nirwan, penyanyi Nya Ina Raseuki; Nirwan pula membaca puisi pada kegiatan tersebut.
Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terperinci semata.
Dan arus yg membimbingnya
mirip sobekan pada jubah
tanjung yg dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang berkembang sekaligus memar
oleh kuas gerimis final Mei.
Ia mirip hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia cuma berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
tidak yakin memandangnya.
(1)
Terbaring di atas talam, ia cembung masih
dengan dawai menegang oleh putih-mutih
lembar lagu yg ditindihnya. Dan sebatang pipa
harum tembakau & mungkin setandan anggur layu
bersungguh-sungguh mengapitnya tatkala ia begitu ragu pada ungu
dan coklat yg mestilah miliknya. Di pucuk lehernya
cuma lengkung serupa arabeska hitam sehingga
ia tak akan lagi membusung mirip telur kasuari
tetapi membubung seperti udara Magribi di ujung jari.
(2)
dawainya menghilang di antara lipatan linen putih
dan kuning yg memiara dua selongsong semu
sampai papan halma di depannya biru mirip pagi
seperti cerminnya yg baka. Ternyatalah ia berdua
kembar Siam yg gemar menyalin latar tampang
dengan belakang hingga hijau tubuhnya hanya
seratus pecahan bulat & segitiga pengabdi
coklat mahoni kertas dinding & urat kayu meja
dikala mata sekadar bermain matra & permata
ketika Partita Bach mesti menyela jingga & jelaga.
(3)
dari tepi ke tengah. Dawainya sekadar gegaris
pengganda celah antara langit menjelang subuh
dan sebotol tinta yg menanti tangan pelukis
yang telanjur menyuramkan dua pita merah darah.
Sewarna udara, mestinya ia bisa melerai bebongkah
coklat meja & kelabu pintu yg berebut putih
namun terhalang sekeping pilar Korintia yg melayang
di antara biru & hitam yg ingin bergegas pulang.
Sungguh ia terlalu sabar, sehingga semua celah itu
mengubur si pelukis yg sudah menjadikannya
segantang, seperti asap & kalibut. Tak sadar ia
menyerahkan diri pada tinta Cina seluas maritim
yang kini terkunci leher botol yg seperti lehernya.
Telur Mata Sapi
—untuk Sigmar Polke
Hanya mata yg sudah menamatkan
Biru samudra mampu menimbang
Cangkang letih menggeletar ini.
Hanya jari yg pernah bersengketa
Dengan merah darah tanpa kendala meniti
Lengkung seperti punggung iblis ini.
Hanya jantung yg sesekali terperam
Di gudang bawah tanah patut mengasihani
Retakan yg menahan gelegak lendir ini.
Hanya lukisan yg rela ditumbuhi
Hijau lumut segera memisahkan
Telur perempuan dr telur api.
Hanya penyair yg tak pula selesai
Menjelajahi luasan putih akan berpahala
Lapar sejati di sentra kuning ini.
Tapi hanya lidah yg sungguh jenuh
Oleh garam pasti sanggup membuntuti
Puisi pipih gosong di dulang kosong ini.
Seperti kantung hijau berisi darah
berhenti percaya pada tanah,
mirip bawal betina tak bersarung
menggelincir ke ujung tanjung,
mirip periuk penuh kuah kari
penat sudah oleh bara api,
mirip kandungan delapan bulan
siap tersedak ke batang jantan,
(tak seperti jantung pisang raja,
meski rekah dlm hujan buta)—
begitulah lukisanmu jika kau dahaga
terayun antara putih & jelaga,
memungut si buah dr dasar malam,
raut tanpa daging kawasan terperam
sebaris benih mirip kuku harimau,
sedang lidahmu sekadar terpukau.
Kau benih hujan pagi hari,
saya payung yg lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
saya saputangan matahari.
Jika kau dlm gaun merah,
saya bekas tangan di perutmu.
Tapi kau pula genangan darah,
sewaktu gue urung mencintaimu.
Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah yg memurnikanmu.
Tumpahkanlah tilas semua dara,
hingga jantungmu serimbun bara.
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
alasannya gue terkulai ke tepi nyanyi.
Aku tak bisa menangis, alasannya adalah kulitmu coklat manggis. Kau tak lagi bisa melompat, alasannya parasku hampir berkarat. Sesungguhnya semenjak kanak gue cuma mengenal bayang- bayangmu: sebab gue penjinak binatang, kau peniti tali. (Ingatlah. Tatkala gue mengaum tak henti-henti, kau justru tak hendak kembali. Kau penikmat jurang di bawah sana, gue pemuja langit tinggi.) Sampai para peziarah yg tak tahu malu itu menawan kita ke sepucuk jembatan mawar & berujar, “Lihat, alangkah sebanding dua kembaran ini.” Seutas tali akar padi liar mereka ikatkan ke kakimu & kakiku. Di bawah tudung Bimasakti gue meniadakan mereka satu demi satu, namun menyisihkan sesosok belaka & mengusirnya ke seberang sungai & menyebutnya Bapa. Kemudian gue berusaha merindukanmu, meski kau berada di pangkuanku mirip telur yg menggeliat dlm sarangnya sendiri. Kau berkata, “Adam, lekaslah menyusu padaku semoga kita secepatnya cukup umur.” Dadamu berkilatan namun hanya berisi angin, gue tahu. Mulailah gue memintal linen atau kain lain (saya tak yakin) supaya esok kita berani bercermin. Dan pada lidahmu kulekatkan lidahku supaya kita tak lagi dahaga. “Hawa, jangan berjanji mengasihiku,” gue berseru, sambil mengancam Bapa yg terkelebat di pelupuk matamu.
Kaum musuhku menuntun gue menyanyi
seraya memeluk aneka menara tertinggi
tetapi demi jubah Latin bagi orang mati
aku cuma belajar diam seperti pengecap api.
Tukang pos di kejauhan
Itu ialah ayahmu sendiri
Mengantar suratmu pagi tadi
Ke arah makam bundamu.
Kau mencabut & melayangkan
Tiga helai rambutku ke bayangan
Ayahmu & segera bersorak
Bahwa akulah tukang pos itu.
Terlalu banyak jalan sehingga
Ayahmu tak sabar mendapatkan
Makam paling sempurna di dunia—
Maka ia membuka semua surat
Sampai ia memperoleh sepucuk
Berisi tiga helai rambutku
Yang dikenalinya selaku tiga
Hitungan biar ia kembali.
Aku menari di depan bundamu
Ketika kau menulis surat itu
Di tengah panggung seraya
Menyangkal rima kakiku.
Di jalan antara gue & ayahmu
Menjulang kantor pos di mana
Kau memasukkan surat untuk
Pencabut tiga helai rambutmu.
Sayang kini hari sudah malam
Dan surat baru akan terkirim
Esok—hanya jika kau menari
Dan ayahmu tiba ke panggung.
Tukang pos tertidur di makam—
Aku menariknya ke unggun api
Ketika bundamu melarikan aku
Ke dlm rahimnya sendiri.
Kau memohon ampun pada tetes hujan
sesudah menarik akar ke wajah serambi
sedang gue bersekutu dgn biji-bijian
untuk berani mengecup mulut matahari.
Roti
—untuk Gregorius Sidharta Soegijo
Kami duduk bertiga belas: meja ini sungguh panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku & ia menyerupai dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yg berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung: parasnya tertutup gelap, gelap yg hampir sempurna. Tapi ia mirip berkembang mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jikalau wajah kami menulari parasnya, tetapi kami senang mencium basi tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-arogan, hanya bisa menebak nama satu sama lain, & saling meragukan siapa di antara kami akan berkhianat lebih dahulu.
Ia menatap ke segala penjuru, ke wajah kami, pula ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yg tiba & pergi nun di bawah sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dr wujudnya. Jadilah gue suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami betul-betul mabuk & saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar menyaksikan pasukan kami saling membasmi: & kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dgn damai.
Kudengar ia berkata di puncak lapar kami, (mudah-mudahan gue tak keliru menirukannya), ”Seseorang di antara kamu-sekalian akan menyerahkan saya.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, alasannya adalah kami mulai menyentuh tergesa-gesa piring & cawan dgn tangan yg tetap saja mengandung tilas darah & jerawat & getah, noda yg sudah mengerak hingga ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal pada segenap senjata & kereta kami, supaya kami lebih ahli berunding & bersantap. Sungguh kami sudah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, supaya kami bukan lagi penyaru yg membekuk dr belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.
Tapi ia bergerak lebih lekas dibandingkan dengan kami, alasannya ia tahu kami akan tiba kemari dgn wajah orang suci, sedangkan ia menggambarkan dirinya sebagai pendosa belaka. Ia membolehkan wujudnya tersaput kabut, bahkan larut dlm kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (namun dalam waktu dekat, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian—lelubang tusukan di kedua telapak tangan & lambung kanannya). Tatkala kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami cuma bisa bersemayam di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata pada kami, (mudah-mudahan gue tak berlebihan mengulangnya untukmu), ”Malam ini, sebelum ayam berkokok, kamu-sekalian akan menyangkal gue tiga kali.”
Bukankah kami gagal menghalangi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami cuma dikitari dinding angin, & kuping kami masih pula mengembara ke dunia sana, mencari bebisik dr segenap musuh & sekutu kami, meski kami ingin saksama mengindahkan pepatah-petitihnya yg terakhir. Kami mendengar jerit beburung & debur ombak tatkala ia mulai menyentuh rotinya, & gema panjang itu berkelindan dgn suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti tampuk daun pandan, & roti itu mirip sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yg menakutkan. Tidak, kami tak akan menghadiahkan daging kami untuk semua orang, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu & membagikannya untuk kami semua seraya berkata, (semoga gue tak mengutipnya demi diriku sendiri), ”Ambillah, makanlah, alasannya inilah tubuhku.”
Barangkali kami sudah keliru: kami menerka gelanggang ini dikitari pepohon zaitun & kurma. Kenapa pula kini kami menyaksikan rerimbun kana, kesumba, & kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, tatkala kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali basi busuk dr maritim naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal- kapal kami masih menampung senjata & para prajurit kami di kemah-kemah sana terus menunggu kode kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan tabah kami mengimpikan cahaya jingga-kencana fajar tumpah ke parasnya, & cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini selaku semacam rasul yg tak mampu menyainginya sampai kapan juga.
Tiba-tiba sosok yg usang terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, & kami mengenakan jubah hijau lumut yg sama, & kurasa kami pernah bertarung di tepi selengkung sungai atau di bawah sepucuk tiang kayu palang—berseru, ”Kitalah yg membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia karena ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia selaku panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”