Beni R. Budiman & Contoh Puisinya – Beni yaitu penyair yg lahir di desa Dawuan, Kadipaten, Majalengka, 10 September 1965. Pendidikan formal terakhirnya ditempuh di jurusan Bahasa Asing, Program Bahasa & Sastra Prancis, Fakultas Pendidikan Bahasa & Seni IKIP (Institut Keguruan & Ilmu Pendidikan) Bandung, hingga wisuda.
Berikut 10 teladan puisi dr Beni R Budiman yg tersurat di kumpulan sajak Penunggu Makam.
Kasmaran
bersama Diwana Fikri Aghniya
Tiba-tiba saja kita mirip orang yg sedang
Belajar menjadi anak & ayah. Di mesjid itu
Keharuan mirip sungai gunung mencari lembah
Dan kita hanyutkan keinginan hingga ke ujung sepi
Muara bagi setiap doa & ikan menciptakan akad
Keabadian surga & neraka. Kita berimajinasi selaku
Keluarga Lukman yg kekal sepanjang zaman. Tenang
Bersama paras -wajah malaikat yg putih. Dan Tuhan
Lupa pada bumi yg selalu menyanyikan lagu pilu
Juga pada rumah yg penuh desah & tumpukan
sampah
Di antara pulau-pulau yg kemilau, mencari Lukman …
1996
Seperti barisan mahoni di tepi jalan
Tubuhku tegak sepanjang ceruk subuh
Dan bayang hitamku terkapar di aspal
Menekuri arah kendaraan & merkuri
Tapi gema membuat banyak makna bunyi
Menggambar persimpangan bagi langkah
Dan cuaca menawarkan mimpi indah juga
Sisa. Dan suatu ukiran keras sukar
Terhindarkan. Aku acak-acakan & luka
Hati belah dua dlm langit melankolia
1996
Duduk di beranda tengah & langit memangku
Tungku api. Matahari mirip sedang mengkremasi
Poci dan cangkir tembikar. Menjerang laut dan
Danau kopi. Fantasi kita pun menulis kisah api
Menjelma abu & bara rokok. Sekawanan ikan
Menjauh dari pantai sebelum menjadi buih D
aun-daun kuning seketika. Gugur sebelum
Rontok tiba. Angkasa mengobarkan satu nyala
Berdoa supaya cuaca secepatnya berganti warna
Tapi angin & hujan tak memberi jawaban
Selain buah kelapa yg jatuh di kepala. Pecah
1996
Kamar ini menggenapkan kita sebagai petapa
Yang merana. Hiruk-pikuk menarik hati dr luar
Jendela. Menciptakan gema yg melingkar di
Kamar. Dan melipat diri sebagai lagu sunyi
Di atas daging & sepi merambat seperti batang
Markisa di sepanjang lorong hati. Lalu kita lunta
Dalam kelana tanpa peta. Dan lisan kekurangan kata
Petapa yg kekal memuja dusta. Dan doa ini satu
Minta: “Tuhan beri kami waktu untuk terus dosa!”
1995
Dengan busana berwarna kita bergaya.
Beriring Dalam barisan belibis. Kita kembali sebagai anak
Pada karnaval hari-hari besar. Wajah bercahaya
Mulut sarat gula-gula. Hari-hari tinggal canda
Duka. Mimpi & imaji mengalahkan luka
Derita menyerupai bahasa karangan bunga. Kepedihan
Hanya milik pejuang di medan perang. Kesedihan
Melayang. Dunia dihiasi lampu & umbul-umbul
Parade bergerak lamban. Penyair menentukan diam:
Siapa punya air mata? Siapa lebih suka tangisan?
1995
Kota larut dlm hujan. Cahaya-cahaya pun
Kabur terkubur. Pucuk-pucuk kelapa gemetar
Bambu-bambu kuning saling merapatkan pelukan
Menancapkan kuku-kukunya pada tanah dalam
Sampai gemerutuk sepi membentang sepanjang
Menangis keras, memecah Iamunanku.leritnya
Meredakan hujan. Mengusir & mengusir bakal
Badai angin ribut. Dan mencipta kembali Bandung
Sebagai danau mutiara yg menyala. Orang pun
Berenang & menyelam lagi di sana, berebut
Mimpi. Sedang gue menjelma rino yg berkubang
Sepi, menyusuri sungai & hutan; nyeri sendiri
1995
Dua rel kereta membagi kota yg tidak ingin
Mati. Lalu lalang orang sepanjang lorong
Pasar. Kendaraan yg datang & pulang
Menghardik sepi, tetapi pula menjinjing nyeri
melayang pada kedua pipiku. “Aku ingin
bebas mirip unggas lepas,” pekikku)
Di atas trotoar. Aku pun terkapar di setiap
Kamar yg mengkremasi. “Selamat tinggal, ayah
Sebab setiap kawasan yaitu alamat. Tenanglah!”
1993-1995
1
Belum lengkap kusebut namamu. Sedangkan
Fajar telah lama mekar. Kabut pagi terus
Beringsut. Dan burung-burung bersiut-siut
Di antara reranting nangka milik tetangga
2
Mestinya sudah kupanggil namamu berkali-kali
Ketika matahari memperabukan separuh rambutku
Bayang-bayang tubuhku menciut lebih pendek
Dari aslinya. Lalu kucium mesra keningmu
Masih tak kuseru namamu. Tatkala para petani
Mulai menyirami bunga kol. Dan batang labu
Mengendorkan lilitannya di setiap pagar bambu
Tiang listrik berbayang-bayang lebih panjang
4
Tak kueja pula namamu. Padahal lembayung telah
Berkelebat di rerimbun markisa. Burung-burung
Bergegas pergi ke sarang di atas sunyi perigi
Dan matahari berkemas sembunyi ke balik bukit
5
Harusnya kukekalkan cinta sepanjang namamu
Sebelum kota sepi. Dan kita terbaring bersama
Mimpi. Tenggelam dlm temaram lampu. Hitam
Sepanjang malam. Lalu membisu sepanjang namamu
1995
“Mon beau navire O ma memoire
Avons-nous assez navigue”
(Guillame Apollinaire)
Di pelabuhan Cirebon, maritim & hatiku beradu
Dan saya membisu berjaga menunggu senja yg entah:
O hidup, pelayaran sebentar, sebentar saja hingga!
Kapal-kapal yg berlayar & berlabuh, menjadi milik kita
Terbuat dr sobekan kertas buku-buku pelajaran sepulang
Sekolah. Dan kitapun melaju di parit & selokan
Dengan senyuman. Dan kita selalu lupa pada ibu
Yang suka marah, kalau menyelidiki buku yg kita punyai
Aku mengenangmu sambil menunggu senja
Senja kematian yg menawan & menyenangkan
1993
Di bawah gunung kesepian bergulung & memuncak
Dan pada hamparan daratan kuabadikan kecemasan
Tebing kerikil cadas & pinus-pinus yg mendengus
Angin mengantarcuaca sembab. Hujan, tertahan awan
Sujud dlm sakit yg sama. Memberat ke arah
Barat. Burung-burung pun datang & pergi dalam
Irama yg niscaya. Udara seakan sendu membatu
Dan diruntuhkan. Dan kematian berkibar pada tiang
Bendera di suatu perkemahan. Nyanyian yg rindu
Dilantunkan petualang di antara lereng & jurang
1996