Ayatrohaedi & Contoh Puisinya – Sastrawan sekaligus Akademisi yg sering dipanggil Mang Ayat ini bernama Ayatrohaedi. Ayatrohaedi lahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939. Setelah menuntaskan Sekolah Rakyat di Jatiwangi (1952), Sekolah Menengah Pertama di Majalengka (1955), ia hijrah ke Jakarta melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas yg diselesaikannya tahun 1959. Setelah itu, ia masuk Jurusan Ilmu Purbakala & Sejarah Kuna Indonesia Fakultas Sastra UI & lulus tamat tahun 1964.
Nyanyian Keabadian
Hujan jatuh di luar musim
menghijaukan rumput di jalan
Hujan jatuh bareng angin
melambaikan daun di dahan
Hujan jatuh membawa cuek
menyejukkan rindu di tubuh
Cinta yg tumbuh setiap ekspresi dominan
adalah cintaku pada keabadian
1958
Jalannya sarat berdebu
antara sawah & kali
antara gunung & tegal
di bawah kilat belati
anak pulang dr kota
mengaca mayat sendiri.
Dan rindu semakin menggunung
antara mata & hati
rindu kampung kelahiran
di bawah kilat belati
melurus jalan ke makam
bawa cinta sampai mati
1958
Dia berdiri di tikungan
ialah pecahan dari kehidupan
sebab kehidupan
melemparkannya ke jalan
Disapanya setiap lelaki
tidak dgn hati
dibuahkannya senyuman
lantaran keadaan
Pandangnya membayangkan
napas penderitaan
Suram lampu jalan
suram hidupnya yang akan datang
1963
Bulan tanggal duapuluh-tiga
malam ini telat tiba
Dari balik awan mengintip ragu:
menembus tebalnya kabut
untuk memberikan amanat
di tengah gerimis hujan?
Air yg kemilau ditimpa cahya
memisahkan kedua ujung telaga.
Bulan yg ragu,
apakah jarak yg jauh
tak mungkin jadi akrab
jika padamu kutitipkan rindu?
Dari Situ Patenggang
terpandang jalan panjang
yang mungkin terlalu jauh
untuk bisa selesai kutempuh
Tapi di Situ Patenggang
semuanya terperinci terbayang:
bayang-bayang
yang membayang
bagai bayangan
yang terbayang
bergoyang
1973
Tetap kucinta
gunung-gunung gundul
karena iman
tiba saatnya
‘kan kembali menghijau
Unggas yg melayang itu
‘kan pulang ke sarang
bertelur & mengeram
dalam kedamaian.
Pohon di kejauhan itu
selalu melambaikan tangan
bagi yang mengerti
arti harapan.
Ikan di kali
adalah kemerdekaan.
1961
Impian abadi leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah gersang
menjadi subur. Bagai disihir
air pun mengalir
lewat padang-padang hijau
menghimbau.
Sangkuriang nanar menatap:
karenanya selesai.
Tubuh-tubuh baja, lengan-lengan perkasa
menyusun watu demi watu
dinding telaga raksasa.
Membendung
napsu angkara manusia
yang berpusat pada: Aku,
Sangkuriang kesiangan.
Dayangsumbi membuahkan senyum
ke bumi: Inilah cintaku
pada turunan, anak-cucu
yang tiba kemudian.
Tubuh-tubuh semampai, tangan-tangan gemulai
menanam benih demi benih
padang kencana.
Perwujudan ikrar
sewaktu menyingsing fajar.
Cintaku pada turunan
yang tiba kemudian.
Impian kekal leluhur
menemu bentuk. Tanah-tanah subur
bukan lagi harapan.
Tapi: realita.
1969
Di danau ini
belum dewasa alam
beterjunan
dan berkejaran
sepuas hati
Di danau ini
gerak-gerak alam
berkejaran
dan bersahutan
seindah puisi
Di danau ini
gema bunyi alam
bersahutan
dan bersalaman
dalam hatiku
1967
Sebuah hutan memucuk
lewat kampung Rajagaluh
gelagah lebat memanjang
tertutup jalan ke kota
biji tarum bunga kembang
burung ngisap benangsari
Dekat tak tentram hati
namun besok lain lagi
rindu kampung cinta dara
tak bakal sesayang bunda
habislah tahun & bulan
tak kujelang Rajagaluh
1958
*(dari lagu rakyat Sunda)
Dari Suatu Perpisahan
Terkadang ada baiknya kita berduka,
Agar terasa betapa besar hati
Pada saatnya kita bersuka
Terkadang ada baiknya kita menangis,
Agar terasa betapa manis
Pada saatnya kita tertawa
Terkadang ada baiknya kita merana
Agar terasa betapa bahagia
Pada saatnya kita senang
Dan bila sekarang kita berpisah
Itupun ada baiknya juga
Agar terasa betapa mesra
Jika pada saatnya nanti
Kita ditakdirkan bertemu lagi
Iuh tanjung seungitna marganing wuyung
liuh indung perbawa nu cadu nundung
mun di dunya ngan aya indung jeung bapa
bakal bisa ngawasa sajagat raya
Ngan indung memeh miang dielingan,
“Lamun hirup ngan ngumbar karep sorangan
temahna poho ka indung
kaduhung nunggu di tuntung
nya hanjakal bakal jadi incu cikal.”
2001:88