Bagaimana Anda mampu mengetahui banyak sekali kejadian yg terjadi beberapa tahun lalu atau ratusan tahun lampau? Buku sejarah mungkin menjadi balasan Anda.
Tidak salah memang alasannya buku-buku sejarah banyak mengisahkan apa yg terjadi, jauh sebelum zaman keterangan ini. Belum lagi revolusi mesin cetak & internet yg memungkinkan keterangan masa lalu terekam dgn baik.
Meski literatur tatkala ini bisa dikatakan komplit & bermacam-macam, sejarah masa lalu umat manusia tak saat itu pula itu pula dihadirkan lewat buku-buku maupun perangkat digital yg tatkala ini tersedia. Sebab budaya tulisan bukanlah budaya insan yg tertua. Sebaliknya, budaya mulut jauh lebih tua dibandingkan dgn budaya tulisan. Kelompok-golongan penduduk tertentu bahkan masih mempertahankan budaya lisan ini.
Sebelum masa tulisan, pengalihan tradisi dr generasi ke generasi dijalankan dengan-cara ekspresi. Para leluhur akan bertutur pada anak-cucunya, memberikan dongeng-cerita moral, tergolong banyak sekali pengajaran. Metode ini masih bisa ditemukan pada sejumlah suku bangsa.
Manusia diperkirakan mulai memasuki masa karakter sekitar 3000 SM. Aksara pertama disebut-sebut pertama kali melalui tiga kebudayaan besar: bangsa Sumeria di Mesopotamia dgn huruf pakunya, masyarakat lembah Sungai Nil di Mesir dgn hieroglifnya, & penduduk Han di lembah Sungai Kuning dgn abjad han (Kridalaksana & Sutami 2005).
Revolusi tulisan baru terjadi tatkala Gutenberg menemukan mesin cetak di Eropa. Buku-buku yg dulunya memerlukan waktu beberapa tahun untuk menyalinnya, kini mampu dihadirkan dgn lebih cepat. Sampai Martin Luther pun menyebutkan bahwa mesin cetak ialah salah satu anugerah terbesar Tuhan selain keselamatan. Hal ini tentu memungkinkan penyebaran literatur dgn lebih cepat. Teknologi saat ini malah telah memungkinkan dihasilkannya ribuan eksemplar dlm waktu yg lebih cepat.
MEMBEKUKAN WAKTU, MEWARISKAN BUDAYA
Kegiatan menulis buku sesungguhnya bisa dianggap selaku kegiatan membekukan waktu. Konteks yg ada di sekitarnya pun turut terekam di dalamnya. Hal ini terperinci terasa, contohnya dlm buku-buku biografi, sejauh buku tersebut dituliskan dengan-cara jujur. Sebab keterangan yg dituangkan dlm tulisan tersebut menjadi rekaman sepanjang masa. Rekaman itu malah relatif lebih baka mengenang revolusi digital yg terjadi.
Pada dasarnya, sejumlah konteks dapat terekam bareng dgn tulisan, sejauh konteks-konteks tersebut (waktu, tempat, budaya) ditambahkan; eksplisit maupun implisit. Tatkala goresan pena itu dibaca kembali, nuansa yg tercakup di dalamnya sedikit banyak akan mampu ditangkap. Dengan demikian, gambaran kondisi (dan dgn demikian budaya) di sekeliling penulisan bisa dirasakan pula.
Ketika menulis buku lebih difokuskan pada faktor budaya, aspek-aspek yg diangkat (bila diungkapkan dgn cara yg baik) mampu dinikmati, seolah-olah langsung hadir di hadapan pembacanya. Dengan demikian, budaya yg diwariskan pun akan lebih hidup. Apalagi bila dilengkapi dgn ilustrasi-ilustrasi, gambar-gambar, atau foto-foto. Media massa tercetak & situs web memungkinkan hal ini.
Ada beberapa macam goresan pena yg berpeluang besar untuk meneruskan kebudayaan. Pada tatkala ini, bentuknya bermacam-macam. Bisa berupa makalah, skripsi, tesis, disertasi, jurnal ilmiah, buku, majalah, & sebagainya.
Tulisan sejarah
Kalau mencermati buku-buku sejarah, kita bisa melihat suasana ekonomi, sosial, politik, tergolong kebudayaan yg berlaku pada sebuah periode di tengah suku bangsa tertentu. Tidak sekadar menggambarkan, tulisan sejarah bisa dianggap melengkapi benda-benda historis yg lain.
Tulisan budaya
Berbeda dgn tulisan-tulisan sejarah, goresan pena-goresan pena budaya dengan-cara khusus menjelaskan kebudayaan komunitas tertentu. Makara, goresan pena-goresan pena ini tak difokuskan pada klarifikasi latar sosial-politik lingkungan penduduk tertentu. Namun, bukan mempunyai arti tak menyinggung aspek tersebut sama sekali. Tulisan mirip ini, misalnya, tulisan-goresan pena yg mengungkapkan tata ijab kabul, klarifikasi simbol-simbol budpekerti, akan mewariskan hal-hal tersebut pada generasi berikutnya.
Liputan info
Beberapa media massa memberikan kolom khusus budaya. Artikel-artikel budaya yg dihidangkan pada kolom tersebut merupakan salah satu fasilitas untuk memberitahukan sekaligus membuka mata penduduk wacana budaya suatu tempat. Beberapa bahkan mengangkat kebudayaan yg hampir punah dgn usul untuk memelihara budaya tersebut.
Karya-karya sastra
Tidak sedikit karya sastra yg mengangkat fenomena budaya selaku kepingan dr karyanya. Sebut saja karya Korrie Layun Rampan, “Api, Awan, Asap” yg mengangkat budaya Dayak Benuaq.
Tulisan pribadi
Era blog saat ini memungkinkan siapa pun untuk berpartisipasi dlm mewariskan budayanya lewat tulisan. Dengan blog, setiap orang bisa membaca, bahkan merespons dengan-cara langsung (bandingkan dgn buku harian yg lebih eksklusif sifatnya). Tulisannya bisa berbentukpemaparan atau refleksi, tergantung penyajiannya.
MENTRANSFER BUDAYA LEWAT TULISAN
Pewarisan budaya lewat goresan pena boleh dibilang bukan perkara yg mudah. Apalagi bila berpatokan pada akurasi. Data & makna yg terkandung di dalamnya tentu harus tepat sebagaimana yg berlaku pada masyarakat yg budayanya hendak diungkapkan. Oleh karena itu, tindakan berikut perlu diamati.
Penyelidikan awal
Selidiki budaya yg paling jarang diekspos di media. Kalaupun suatu budaya cukup biasa diangkat, coba cermati faktor lain dr budaya tersebut yg terkesan samar. Hal-hal yg minim itu akan menjadi aspek yg penting untuk diungkapkan. Boleh dikata, semakin jarang aspek budaya itu diangkat, kian perlu ia diangkat sehingga serpihan tersebut, meski sudah tak dipraktikkan lagi, akan tetap dipelajari sebagai penggalan budaya penduduk tertentu.
Melakukan riset
Setelah mendapatkan faktor tersembunyi — katakanlah demikian — dr budaya tertentu, lakukanlah riset atau observasi lebih dlm lagi. Penelitian mampu dijalankan dgn menilik setuntas mungkin perihal budaya terkait. Namun, kita perlu memerhatikan hal-hal ini:
latar belakang budaya masyarakat terkait;
aspek budaya yg paling banyak dikenal;
situasi masyarakat masa lalu & masa sekarang;
peninggalan-peninggalan budaya;
penelusuran pelaku-pelaku budaya.
Keempat hal tersebut sedikit banyak akan membangun jembatan pada faktor budaya yg jarang diekspos. Seperti kepingan bongkar pasang, kita perlu menjalinnya menjadi sebuah keutuhan dlm bentuk goresan pena.
Menguji hasil observasi
Pengujian dapat dikerjakan dgn kembali menemui pelaku-pelaku budaya, dlm hal ini para sesepuh. Sedikit banyak, mereka itulah yg menjadi sumber keterangan terpercaya untuk meyakinkan kembali hasil observasi kita; apakah memang benar budaya yg kita ungkap lewat goresan pena itu benar-benar sesuai dgn fakta atau tidak. Hal ini memang paling sesuai bila kita hendak menyuguhkan goresan pena yg bersifat menyeluruh. Namun, bukan memiliki arti tak berhubungan bila dipraktekkan pada tulisan yg memang hanya bersifat mempertanyakan keberadaan aspek budaya tersebut.
Penarikan tamat
Bila telah mendapatkan kepastian melalui pengujian, berikan akhir yg jelas sehingga setiap orang dapat memahaminya.
Tentu saja Anda tak mesti menulis buku ilmiah panjang lebar hanya untuk mewariskan sesuatu. Faktanya, kita dapat memanfaatkan bermacam-macam jenis goresan pena sesuai kesanggupan kita untuk melaksanakan pentransferan budaya tersebut, termasuk fiksi. Langkah-langkah di atas mungkin cenderung mengarah pada penelitian ilmiah. Namun, bukan mustahil untuk diterapkan pada menulis buku fiksi. Karena acap kali sistematika ilmiah membantu seorang penulis fiksi untuk meruntun sajiannya sehingga tampil mempesona.
TENTANG TULISAN POPULER
Memang ada kecenderungan untuk menyisihkan buku-buku terkenal selaku tulisan yg cuma bernilai hiburan semata. Menulis buku mirip novel-novel picisan dinilai sebagai sampah & tak pantas dianggap sebagai karya sastra.
Akan tetapi, karya-karya terkenal yg belakangan merebak, sebut saja novel-novel “chicklit” & “teenlit”, seharusnya jangan begitu saja diacuhkan. Mungkin bobotnya kalah jauh ketimbang karya-karya sastra lain. Namun, menulis buku mirip demikian ialah fenomena zaman yg tak mampu dimungkiri.
Karya-karya terkenal pula bisa dianggap sebagai perwujudan budaya penduduk pada masa tersebut. Coba saja bandingkan kehidupan anak dewasa pada zaman Lupus (karya Hilman) itu dgn kehidupan dewasa gaya “chicklit” & “teenlit”. Masing-masing tetap mencerminkan budaya sampaumur pada zamannya, budaya populer.
[Aditya Kusuma]