Kelebihan & Kekurangan Jurnalisme Sastrawi – Membaca Judul di atas pastinya agak sedikit menciptakan kita berpikir, apa yg akan saya tulis pada peluang kali ini ? Berbicara mengenai materi jurnalisme, ada berbagai definisi yg bisa diterangkan dgn berbagai hal. Jurnalisme bahwasanya terdapat beberapa pembagian jenis & aliran. Aliran-aliran dlm jurnalistik banyak macamnya.
Salah satu yg sering kita dengar yakni jurnalistik sastrawi. Dalam jurnalisme klasik, jurnalisme umumnya menggunakan teknik 5W+ 1H yg akan disampaikan oleh khalayak. Unsur 5W+1h ini biasanya disuguhkan berbentukdata-data wawancara apa pun data-data gambar yg dipaparkan dengan-cara kronologis.
Namun dgn perkembangan lebih lanjut lagi, jurnalisme kemudian bermetamorfosis beberapa jenis varian. Salah satu pembagian jurnaslis yg meningkat diera 2000-an yaitu jurnalisme sastrawi.
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu pembagian jurnalistik yg memfokuskan diri dlm proses-proses pencarian kebenaran melalui tata cara-tata cara sastra. Berbeda dgn jurnalisme lazim yg cuma menitik beratkan pada sistem 5W+1H, jurnalisme sastrawi tak cuma menggunakan metode mirip itu saja.
Tapi jurnalisme sastra pula tak lepas pula dr jurnalisme sastra. Artinya, unsur sastra dimasukkan dlm setiap aktivitas jurnalistik-jurnalistiknya.
Makanya dlm jurnalisme sastra akan banyak kita temui produk jurnalisme yg sifatnya agak mengarah ke fiksi. Kita tak cuma akan mendapat sajian informasi saja, melainkan dgn menggunakan gaya jurnalisme sastra itu kita bisa berpartisipasi seakan-akan sedang berdialog dgn pembaca.
Daftar Isi
Karakteristik Jurnalisme Sastra
Salah satu seorang jurnalis asal Amerika, Tom Wolf, pernah menyebut setidaknya ada beberapa abjad yg biasa kita jumpai dlm jurnalisme beraliran sastra. Karakter yg biasa kita jumpai dlm jurnalisme sastra salah satunya yakni.
Pertama, pemakaian konstruksi adegan per adegan. Artinya teknik penyajian pada jurnalisme sastra biasanya disajikan dengan-cara terpisah, atau tak langsung.
Misalnya saja dikala ada berita tenggelamnya Kapal Sinar Bangun di Danau Toba, maka teknik jurnalisme sastra yg dipakai biasanya akan membagi adegan-adegan dlm satu scene menjadi jauh lebih banyak. Hal ini karena jurnalistik sastrawi lebih menekankan produk jurnalistik yg lebih cepat bila dibandingkan dgn jenis jurnalistik lainya.
Kedua, pencatatan obrolan data wawancara biasanya dicatat dengan-cara utuh. Hanya saja pada jurnalistik sastrawi lebih mengarah ke hal-hal penting saja yg dicatat. Selebihnya, obrolan-dialog yg tak penting biasanya tak dicatat.
Tidak dicatatnya dialog ini membuat jurnalisme sastrawi dirasa kurang dalam. Jurnalisme sastrawi dianggap jomplang, bahkan jurnalisme sastrawi kadang dianggap sebagai jurnalisme yg mengada-ngada. Ini tak lepas dr karakter jurnalistik sastrawi yg lebih menitik beratkan human interest, & pelengkap kalimat-kalimat subyektif dr pewartawan.
Ketiga, Ciri pada jurnalisme sastrawi ketiga yakni pemakaian orang ketiga selaku perekat keintiman antara pembaca dgn jurnalis. Supaya antara jurnalis & pembaca bisa lebih erat. Jurnalisme sastrawi biasanya memakai teknik pemanfaatan orang ketiga sebagai media untuk merekatkan pembaca & jurnalis.
Misalnya saja ketika ada info kemenagan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah pada Pemilukada tahun 2018 ini, maka pada jurnalisme sastrawi, yg diwawancarai bukan Gubernur Ganjar Pranowo atau wakilnya, melainkan yg diwawancarai itu paslon pendukungnya atau bahkan dr pihak oposisi gubernur Ganjar Pranowo.
Saat pihak oposisi memberikan komentar bahwa kemenangan Ganjar Pranowo itu tak pantas, justru komentar itu yg jadi nilai lebih dlm jurnalisme sastrawi. Nilai polemik dlm jurnalisme tersebut justru yg dicari dlm jurnalisme sastrawi.
Salah satu yg dianggap selaku aktivis jurnalisme sastrawi salah satunya yakni sering kita temui pada media TV One & Metro Tv. Dua media ini paling kerap menghidangkan unsur jurnalisme sastrawi dlm setiap produk jurnalismenya. Bahkan pada non video-video jurnalistik pun kedua media tersebut paling getol dlm menyajikan tayangan beraroma jurnalistik sastrawi.
Konstruksi adegan per adegan, sebagai acuan, menggantikan pemaparan kronologis, ataupun eksposisitoris yg lazim pada jurnalisme konvensional. Dengan teknik mirip ini, imajinasi pembaca akan menangkap sebuah gambaran kejadian kolam menonton suatu film. Ini kombinasi kemampuan seorang wartawan sekaligus jurnalis, kata Wolfe.
Dalam adegan biasanya timbul sebuah dialog. Dialog bukan sekadar memperlihatkan percakapan, namun pula menggambarkan sikap, & pemikiran narasumber. Dengan begitu, wawancara bukanlah sekadar proses merekam pembicaraan sambil lalu.
Ia dikerjakan dengan-cara mendalam, berulang-ulang dgn pelbagai sumber untuk menerima sebuah rekonstruksi anggapan & emosi dgn tepat. Untuk itu, latar belakang narasumber perlu dipelajari. Dengan kata lain, tiap kata yg dikutip untuk obrolan hendaknya bisa berarti.
Adapun penggunaan sudut pandang ketiga berniat merepresentasikan persepsi mata narasumber. Dengan cara ini, pembaca seolah masuk ke dlm insiden. Pembaca akan menyaksikan apa yg dilihat narasumber, & merasakan apa yg mereka rasakan.
Karakteristik terakhir ialah rincian wacana gerak, perilaku, kebiasaan, gaya, cara atau etika, pakaian, dekorasi rumah, rekreasi, makan, merawat rumah, bagaimana berhubungan dgn anak, dgn pembantu, sahabat sebaya, bawahan, pose, & lambang-lambang lain.
Semua itu menerangkan aksara & konteks narasumber dlm komunitas, bagaimana ia membina interaksi dgn orang lain, bagaimana kedudukannya didalamnya, serta bagaimana ia mengungkapkan anggapan & kesempatannya.
Tentu dr empat karakter diatas, timbul sebuah pertanyaan fundamental apakah jurnalisme sastra sungguh-sungguh ada ? atau penyebutannya bisa dibalik menjadi Sastra Jurnalisme. Karena tentu saja teori gres ini dapat mengakibatkan pertanyaan banyak, alasannya adalah pada zaman sebelum jurnalisme lahir para nabi & rasul kita sudah mengabarkan suatu berita dlm balutan sastra yaitu kitab-kitab yg lahir pada agama dimuka bumi ini. Karena kitab-kitab tersebut pula sudah memakai bahasa sastra yg sungguh tepat sehingga membuat pembacanya seperti eksklusif terjun pada zaman tersebut.
Kelebihan Jurnalisme Sastrawi
Kendatipun jurnalisme sastrawi masih banyak muncul perdebatan sengit. Apakah jurnalisme ini sungguh-sungguh dibutuhkan atau tidak. Nyatanya jurnalisme sastrawi mempunyai banyak kelebihan bila dibandingkan dgn jurnalisme lainya. Berikut beberapa keunggulan yg ada pada jurnalisme sastrawi.
Pertama, keunggulan pertama pada jurnalisme sastrawi yakni lebih bisa menawarkan kesan mendalam pada pembacanya. Hal ini lantaran jurnalisme sastrawi biasanya lebih besar porsinya dlm memperlihatkan netizen.
Kedua, kelebihan kedua dr jurnalisme sastrawi yaitu proses produksi jenis jurnalistik ini yg bisa dibilang cukup gampang. Seorang jurnalis biasanya hanya menyediakan beberapa narasumber saja.
Ketiga, kelebihan ketiga dr jurnalisme sastrawi yakni pemaparan info yg tak kaku. Dengan jurnalisme sastrawi, penyampaian pesan-pesan jurnalistik pada khalayak publik lebih cair. Bahkan jurnalisme sastrawi lebih sering menggunakan kata-kata disfemisme.
Pemakaian kata-kata disfemisme dlm kegiatan pencarian jurnalisme ini sengaja diciptakan untuk merekatkan gap antara pembaca & pendengar. Kemampuan jurnalisme sastrawi bisa masuk ke dlm segala lini, penduduk kecil, tukang becak pun bisa lebih memahami maksud pemakaian suatu info. Jadi, jurnalisme sastrawi selaku salah satu pemikiran jurnalisme yg ada di Indonesia memiliki beberapa keunggulan.
Jurnalisme sastrawi setiap keunggulan-kelebihannya harus dioptimalkan dgn baik. Sementara setiap kekurangan-kekurangannya harus ditutupi dgn model-versi aliran jurnalistik lainya.