Tiba-datang psikolog diserbu perkara gadget effect, gadget syndrome, game addiction, p0rn*grafi atau gadget mania dalam jumlah hebat. Sementara psikolog yang mampu menanganinya sangat sedikit.
Persoalan ini tidak hanya mempunyai efek pada bawah umur. Tapi juga pada orang renta, komitmen nikah dan relasi sosial. Masalahnya, pemerintah tak punya regulasi dan budget untuk ini, sebab adalah belum masuk dalam daftar gangguan jiwa.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (kini LPA) udah prihatin banget dengan ini. Wantimpres udah rapat intensif dengan Kemenhan, yang menjajal melihatnya selaku proxy war.
Yang pertama hilang dari interaksi berlebihan dengan gadget ialah feeling, emphaty, intuition, social attachment dan social concern.
Pada tahap medium, bawah umur mulai kehilangan creativity, uniqueness, thinking ability, ego-strength dan independency.
Pada taraf adiksi, anak kehilangan reality awareness, self-existence dan reality testing. Anak mulai punya waham schizophrenic, nggak mampu lagi bedain mana realita mana khayalan.
Mengingat ancaman gadget dan game online bagi anak, maka Steve Jobs pernah bilang :
” Yang paling aku takutkan ialah jikalau anak-anak pegang i-pad”
” No screen… No cable… No keyboard…”
” Tidak ada layar … tidak ada kabel … tidak ada keyboard … “
Jangan pernah kenalkan anak di bawah 7 tahun dengan gadget. Di Jepang, anak baru boleh pegang HP dikala berusia 7 tahun. Itupun fiturnya cuma 3 : nelpon, sms dan GPS
Teknologi sih nggak salah. Namun semuanya harus digunakan pada waktunya. Bukankah kalkulatorpun nggak cocok buat anak SD ?
Albert Einstein pernah mencemaskan hal ini jauh-jauh hari :
” I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots” ( Albert Einstein)
” Aku takut sebuah hari, bahwa teknologi akan melampaui interaksi manusia . Dunia akan mempunyai generasi idiot ”
sumber : facebook.com
Sumber https://wirahadie.com