close

Teori Sosiologi Klasik Oleh : Hamd Darmadi


Teori sederhana lazimnya selalu terungkap di dalam kehidupan kita sehari-hari. Sering kali tanpa sadar kita sesungguhnya sudah berteori. Teori muncul karena adanya sebuah kebutuhan insan untuk memberikan penjelasan akan berbagai kenyataan yang ada. Teori lahir karena manusia membutuhkan pengetahuan. Secara kategoris dapat dikatakan bahwa wawasan terdiri atas unsur experiental reality dan agreement reality. Experiental realitiy yakni wawasan yang kita mampu berdasar pengalaman kita sehari-hari, sedangkan agreement reality adalah wawasan yang kita dapat berdasar akad bersama.
Jika dalam kehidupan sehari-hari kita bisa mendapatkan pengetahuan dari salah satu unsur yang ada, maka dalam ilmu wawasan, wawasan didapat dengan mengombinasikan kedua unsur tersebut. Dalam ilmu wawasan, pengembangan wawasan dilakukan bukan cuma dari pengamatan langsung pada realita, tetapi lewat proses pengujian dalam anggapan insan sendiri. Dalam konteks sosiologi, teori diklasifikasi ke dalam tiga paradigma utama, yaitu order paradigm, pluralist paradigm, serta conflict paradigm. Perbedaan dari masing-masing paradigma dilandaskan pada perkiraan dasar yang menyertainya dalam hal hakikat dasar insan, masyarakat, serta ilmu wawasan.
Konstruksi Teori
Teori terbentuk berdasar beberapa unsur, ialah konsep, variabel, serta indikator. Teori sendiri diartikan sebagai sejumlah pernyataan yang terangkai secara sistematis, dan mampu dipakai untuk menunjukkan penjelasan perihal sebuah fenomena atau tanda-tanda. Komponen yang ada dengan demikian terangkai di dalam pernyataan. Konsep diartikan sebagai lambang, simbol atau kata yang berarti tentang sesuatu.
Konsep ada yang memiliki unidimensional (dimensi tunggal) dan ada yang multidimensional. Dengan beragamnya konsep, maka perlu adanya definisi dari desain, yang bisa berlainan antara satu dengan lainnya. Dalam definisi desain tersebut terkandung dimensi desain dan juga golongan desain (concept cluster). Variabel yakni konsep yang telah memiliki kombinasi nilai. Variasi nilai dari rancangan tersebut kita sebut selaku klasifikasi. Variabel adalah rancangan yang sudah terukur dan bersifat lebih empirik dibanding rancangan. Ukuran-ukuran yang bisa dipakai untuk mengukur konsep ialah indikator.
Teori juga dibedakan ke dalam beberapa penjabaran, yaitu berdasar arah penalarannya kita bedakan antara teori yang memakai pendekatan induktif dan teori yang memakai pendekatan deduktif, berdasar tingkat kenyataan sosial teori dibedakan menjadi teori mikro, meso, dan makro. Berdasar bentuk penjelasannya, teori dibedakan menjadi teori yang menggunakan penjelasan kausal, teori yang memakai penjelasan struktural, serta teori yang menggunakan klarifikasi interpretif.
SEJARAH TEORI SOSIOLOGI KLASIK
Kekuatan Sosial dalam Perkembangan Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi hadirnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi konsentrasi perhatian para ahli sosial, di antaranya yakni revolusi politik, revolusi industri, perkembangan kapitalisme, perkembangan sosialisme, feminisme, urbanisasi, pergantian agama, serta kemajuan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak cuma terjadi di satu negara, namun di beberapa negara khususnya yang terjadi di tempat Eropa Barat, di antaranya ialah di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berbentukrevolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa pengaruh-pengaruh yang tidak saja bersifat nyata namun juga memunculkan problem-masalah sosial gres. Hal ini telah memacu para mahir sosial dan filsafat untuk mendapatkan kaidah-kaidah gres yang terkait dengan kemajuan teori sosial dan sekaligus selaku suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi persoalan-duduk perkara sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk masyarakat yang dibutuhkan di kemudian hari. Seperti perkembangan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal pertumbuhan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, kemajuan kapitalisme di Inggris telah memacu hadirnya aliran-pedoman gres di bidang sosial.
Kekuatan Intelektual Lahirnya Teori Sosiologi
Beberapa kekuatan sosial yang melatarbelakangi hadirnya teori-teori sosial dan sekaligus menjadi fokus perhatian para jago sosial, di antaranya yakni revolusi politik, revolusi industri, kemajuan kapitalisme, kemajuan sosialisme, feminisme, urbanisasi, pergantian agama, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan teori-teori sosial tersebut tidak cuma terjadi di satu negara, tetapi di beberapa negara utamanya yang terjadi di daerah Eropa Barat, di antaranya yakni di Prancis, Jerman, Italia, dan Inggris.
Perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme membawa dampak-dampak yang tidak saja bersifat faktual tetapi juga memunculkan persoalan-persoalan sosial baru. Hal ini telah memacu para hebat sosial dan filsafat untuk mendapatkan kaidah-kaidah baru yang terkait dengan pertumbuhan teori sosial dan sekaligus selaku suatu upaya dalam memahami dan menanggulangi duduk perkara-problem sosial tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk penduduk yang diharapkan di lalu hari. Seperti pertumbuhan kehidupan politik (revolusi Prancis sejak tahun 1789 menjadi cikal bakal perkembangan teori sosiologi di Prancis. Demikian pula, perkembangan kapitalisme di Inggris sudah memacu munculnya anutan-aliran baru di bidang sosial.
Teori Sosiologi Menjelang Abad Ke-20.
Perkembangan teori sosiologi pada abad ke-20 terjadi cukup pesat di Amerika. Hal ini terdorong oleh sejumlah aspek, di antaranya adalah pergeseran sosial penduduk yang membutuhkan pemecahan berdasarkan bidang ilmu tertentu secara cepat, dan didorong oleh pertumbuhan ilmu khususnya di bidang kemasyarakatan yang bisa mengkaji penduduk secara ilmiah.
Perkembangan teori sosiologi di Amerika diawali oleh perkembangan keilmuan di dua universitas, yaitu di Chicago University dan Harvard University. Namun demikian, dalam perjalanan waktu, sejalan dengan persebaran para tokoh sosiologi ke beberapa universitas di seluruh negeri, muncul pula universitas-universitas lain yang dianggap mampu melahirkan beberapa teori penting dalam bidang sosiologi, mirip Columbia University dan University of Michigan.
Di Chicago University dikenal adanya sekelompok pemikir sosial yang disebut kelompok Chicago School. Tokoh-tokoh sosiologi yang penting dari kawasan ini yakni W.I. Thomas, Robert Park, Charles Horton Cooley, George Herbert Mead, dan Everett Hughess. Di Harvard University, sosiologi berkembang melalui tokoh-tokoh mirip Talcott Parsons, Robert K. Merton, Kingsley Davis, dan George Homans. Di samping itu, perkembangan teori sosiologi di Amerika juga sekurang-kurangnya terpengaruh oleh sebuah teori yang sering disebut-sebut sebagai teori di luar mainstream sosiologi di Amerika, yaitu khasanah aliran dari kelompok teori Marxian.
Pengetahuan perkembangan teori di Amerika sungguh penting mengingat teori-teori yang berkembang di Amerika ini kemudian menjadi pusat perhatian dunia pada tahun 1960-an dan 1970-an. Sejalan dengan teori interaksionisme simbolik, berdiri pula teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan oleh George Homans menurut fatwa psychological behaviorism dari B.F. Skinner.
Teori Sosiologi Setelah Pertengahan Abad 20
Perkembangan teori struktural-fungsional tampakdari hasil karya para penerus Parsons yang diakui sudah menyumbang teori struktural fungsional, mirip karya Kingsley Davis dan Wilbert Moore. Pandangannya pertanda bahwa stratifikasi adalah suatu struktur yang secara fungsional diharapkan bagi eksistensi penduduk . Merton pun (1949) menjelaskan bahwa struktural fungsional mesti mengatasi fungsi aktual dan konsekuensi yang negatif (disfunctions).
Seperti teori umumnya, teori struktural fungsional pun menerima kritikan dari beberapa ahli yang lain. Bahkan menjelang tahun 1960, dominasi struktural fungsional dianggap sudah mengalami kemerosotan. Puncak dan kemerosotan dominasi struktural fungsional sejalan dengan kedudukan (dominasi) masyarakat Amerika di dalam tatanan dunia.
Sejalan dengan kemajuan teori sturktural-fungsional, terdapat teori pertentangan selaku karya Peter Blau, yang dianggap menjadi cerminan dari teori struktural-fungsional. Padahal pada awalnya Blau mampu dibilang sebagai pengembang teori marxian. Hampir mirip dengan karya Blau, dalam analisis marxian, ialah karya Mill tentang sosiologi radikal.
Pada tahun 1950-an, Mills menulis suatu buku yang mengkaji duduk perkara revolusi komunis di Kuba dan pada tahun 1962 menerbitkan buku berjudul The Marxists. Keradikalan Mills dalam mengungkap fenomena sosial menjadikannya ia tersingkir dan menjadi mahir pinggiran dalam kancah sosiologi Amerika. Bukunya yang terkenal ialah The Sociological Imagination (1959). Isi buku tersebut diantaranya adalah upaya kritik Mills kepada Talcott Parsons.
Perkembangan selanjutnya ialah teori pertukaran (exchange theory) yang dikembangkan menurut fatwa psychological behaviorism. Dalam situasi kemunduran teori interaksionisme simbolik Goffman mampu menempatkan pemikirannya sebagai permulaan kedatangan analisis dramaturgi yang dianggap selaku varian dari interaksionisme simbolik.
Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an muncul teori-teori sosiologi yang diketahui dengan perspektif sosiologi kehidupan sehari-hari (sociology of everyday life), yang dikenal pula dengan nama sosiologi fenomenologis dan etnometodologi. Sedangkan perkembangan teori sosiologi pada dekade 1980-an dan 1990-an di antaranya ialah teori integrasi mikro-makro (micro-macro integration), integrasi struktur-agensi (agency-structure integration), sintesis teoritis (theoritical syntheses), dan metateori (metatheorizing).
MENGENAL DIRI DAN PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE (1798-1857)
Perjalanan Hidup dan Karya Comte serta Pandangannya ihwal Ilmu Pemgetahuan. Auguste Comte ialah seseorang yang untuk pertama kali memunculkan istilah “sosiologi” untuk memberi nama pada satu kajian yang memfokuskan diri pada kehidupan sosial atau kemasyarakatan. Saat ini sosiologi menjadi suatu ilmu yang diakui untuk memahami penduduk dan telah meningkat pesat sejalan dengan ilmu-ilmu yang lain. Dalam hal itu, Auguste Comte diakui selaku “Bapak” dari sosiologi.
Auguste Comte intinya bukanlah orang akademisi yang hidup di dalam kampus. Perjalanannya di dalam menuntut ilmu tersendat-sendat dan putus di tengah jalan. Berkat perkenalannya dengan Saint-Simon, sebagai sekretarisnya, wawasan Comte kian terbuka, bahkan bisa mengkritisi persepsi-pandangan dari Saint-Simon. Pada dasarnya Auguste Comte yaitu orang terpelajar, kritis, dan bisa hidup sederhana namun kehidupan sosial ekonominya dianggap kurang berhasil.
Pemikirannya yang diingat orang secara luas yakni filsafat positivisme, serta menunjukkan citra perihal tata cara ilmiah yang menekankan pada pentingnya observasi, eksperimen, perbandingan, dan analisis sejarah.
Pemikiran Auguste Comte Tentang Individu, Masyarakat, dan Perubahan Sosial
Perkembangan masyarakat pada abad ke-19 berdasarkan Comte mampu meraih tahapan yang faktual (positive stage). Tahapan ini diwarnai oleh cara penggunaan wawasan empiris untuk memahami dunia sosial sekaligus untuk menciptakan penduduk yang lebih baik.
Sosiologi yakni mengusut aturan-aturan tindakan dan reaksi terhadap bab-bab yang berlainan dalam tata cara sosial, yang selalu bergerak berganti secara bertahap. Hal ini ialah relasi yang saling menguntungkan (mutual relations) di antara bagian-unsur dalam suatu sistem sosial secara keseluruhan.
Penjelasan perihal tanda-tanda sosial, berdasarkan Comte dapat diperoleh lewat 1) kajian kepada struktur masyarakat berdasarnya konsep statika sosial, dan 2) kajian pergantian atau perkembangan masyarakat menurut rancangan Comte yang disebut dinamika sosial (social dynamics). Comte mendefinisikan statika sosial selaku kajian terhadap kaidah-kaidah langkah-langkah (action) dan jawaban kepada bab-bagaian yang berlainan dalam suatu metode sosial (Ritzer, 1996). Sedangkan dinamika sosial yaitu studi yang berupaya mencari kaidah-kaidah ihwal tanda-tanda-gejala sosial di dalam rentang waktu yang berbeda. Berbeda dengan itu, statika sosial cuma mencari kaidah- kaidah gejala sosial yang bersamaan waktu terjadinya.
HERBERT SPENCER
Riwayat HIdup dan Awal Karir Herbert Spencer
Herbert Spencer yakni seorang filsuf, sosiolog pengikut ajaran sosiologi organis, dan ilmuwan pada abad Victorian yang juga memiliki kesanggupan di bidang mesin. Pemuda Spencer pada usia 17 tahun diterima kerja di bab mesin untuk perusahaan kereta api London dan Birmingham. Kariernya bagus sehingga diandalkan selaku wakil kepala bab mesin. Setelah beberapa waktu lamanya melakukan pekerjaan di perusahaan kereta api, lalu pindah pekerjaan menjadi redaktur majalah The Economist yang dikala itu terkenal.
Spencer mempunyai sebuah kemampuan yang hebat dalam hal mekanik. Hal ini akan ikut serta mewarnai seluruh imajinasinya wacana biologi dan sosial di era yang hendak tiba. Spencer adalah seorang pembaca yang luar biasa, kolektor yang bersungguh-sungguh menghimpun fakta-fakta tentang penduduk di manapun di dunia ini, dan penulis yang produktif. Ia membuatkan sistem filsafat dengan faktor-aspek utiliter dan evolusioner. Spencer membangun utiliterisme jeremy Bentham. Spencerlah yang memakai perumpamaan Survival of the fittest pertama kali dalam karyanya Social Static (1850) yang kemudian dipopulerkan oleh Charles Darwin. Spencer selain mempublikasikan buku lepas, juga mempublikasikan buku dan artikel berseri. Beberapa diantaranya yakni Programme of a System of Synthetic Philosophy (1862-1896) yang meliputi biologi, psikologi, dan budbahasa.
Spencer mempopulerkan konsep ‘yang kuatlah yang mau menang’ (Survival of the fittest) terhadap masyarakat. Pandangan Spencer ini lalu dikenal selaku ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut oleh golongan kaya (Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Jilid 2 1989: 208).
Terbitnya buku Principles of Sociology karya Herbert Spencer yang berisi pengembangan sebuah sistematika observasi penduduk sudah menyebabkan sosiologi menjadi populer di penduduk dan meningkat pesat. Sosiologi meningkat pesat pada kala 20, terutama di Perancis, Jerman, dan Amerika
Pandangan Herbert Spencer perihal Sosiologi
Spencer yaitu orang yang pertama kali menulis tentang penduduk atas dasar data empiris yang nyata. Tindakan ini lalu dibarengi oleh para sosiolog sesudahnya, baik secara sadar atau tidak sadar.
Spencer memperkenalkan pendekatan baru sosiologi ialah merekonsiliasi antara ilmu wawasan dengan agama dalam bukunya First Prinsciple. Dalam bukunya ini Spencer membedakan fenomena tersebut dalam 2 fenomena ialah fenomena yang dapat diketahui dan fenomena yang tidak dapat diketahui. Di sini Spencer lalu mencoba menjembatani antara ide dengan ilmu wawasan.
Selanjutnya Spencer memulai dengan 3 garis besar teorinya yang disebut dengan tiga kebenaran universal, ialah adanya bahan yang tidak mampu dirusak, adanya kesinambungan gerak, dan adanya tenaga dan kekuatan yang terus menerus.
Di samping tiga kebenaran universal tersebut di atas, berdasarkan Spencer ada 4 dalil yang berasal dari kebenaran universal, yaitu kesatuan aturan dan kesinambungan, transformasi, bergerak sepanjang garis, dan ada sesuatu irama dari gerakan. Spencer lebih lanjut menyampaikan bahwa harus ada aturan yang mampu menguasai variasi antara aspek-faktor yang berlainan di dalam proses evolusioner. Sedang metode evolusi biasa yang pokok berdasarkan Spencer seperti yang dikutip Siahaan, ada 4 yakni ketidakstabilan yang homogen, berkembangnya faktor yang berlainan-beda dalam ratio geometris, kecenderungan kepada adanya bab-bagian yang berlawanan-beda dan terpilah-pilah melalui bentuk-bentuk pengelompokan atau segregasi, dan adanya batas final dari semua proses evolusi di dalam sebuah keseimbangan final.
Spencer memandang sosiologi selaku sebuah studi evolusi di dalam bentuknya yang paling kompleks. Di dalam karyanya, Prinsip-prinsip Sosiologi, Spencer membagi persepsi sosiologinya menjadi 3 bagian yakni aspek-aspek ekstrinsik orisinil, aspek intrinsik asli, faktor asal usul seperti penyesuaian masyarakat, bahasa, wawasan, kebiasaan, aturan dan lembaga-lembaga.
Giddings pada tahun 1890 meringkas fatwa metode sosial yang sudah disepakati oleh Spencer sendiri ialah sebagai berikut:
1.    Masyarakat adalah organisme atau superorganis yang hidup berpencar-pencar.
2.    Antara masyarakat dan tubuh-tubuh yang ada di sekitarnya ada suatu equilibrasi tenaga agar kekuatannya seimbang.
3.    Konflik menjadi suatu aktivitas masyarakat yang telah biasa .
4.    Rasa takut mati dalam perjuangan menjadi pangkal kontrol terhadap agama.
5.    Kebiasaan konflik kemudian diorganisir dan dipimpin oleh kontrol politik dan agama menjadi militerisme.
6.    Militerisme menggabungkan golongan-kalangan sosial kecil menjadi kalangan sosial lebih besar dan kalangan-golongan tersebut memerlukan integrasi sosial.
7.    Kebiasaan berdamai dan rasa kegotongroyongan membentuk sifat, tingkah laku serta organisasi sosial yang suka hidup tenteram dan penuh rasa setia mitra.
Teori Herbert Spencer tenang Evolusi Masyarakat, Etika, dan Politik
Evolusi secara umum yakni serentetan pergeseran kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan membutuhkan waktu lama. Sedang evolusi dalam masyarakat adalah serentetan pergantian yang terjadi alasannya usaha-usaha masyarakat tersebut untuk beradaptasi dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang muncul sejalan dengan perkembangan penduduk . Perspektif evolusioner ialah perspektif teoretis paling permulaan dalam sosiologi. Perspektif evolusioner pada umumnya berdasarkan pada karya August Comte (1798-1857) dan Herbert Spencer (1820-1903).
Menurut Spencer, pribadi memiliki kedudukan yang dominan kepada masyarakat. Secara generik pergantian alamiah di dalam diri insan menghipnotis struktur penduduk sekitarnya. Kumpulan pribadi dalam kalangan/penduduk merupakan faktor penentu bagi terjadinya proses kemasyarakatan yang pada hakikatnya ialah struktur sosial dalam memilih kualifikasi.
Spencer menempatkan individu pada derajat otonomi tertentu dan penduduk selaku benda material yang tunduk pada hukum umum/universal evolusi. Masyarakat memiliki hubungan fisik dengan lingkungan yang mengakomodasi dalam bentuk tertentu dalam penduduk .
Darwinisme sosial populer sesudah Charles Darwin menerbitkan buku Origin of Species (1859), 9 tahun sesudah Spencer memperkenalkan teori evolusi universalnya. Ia menatap evolusi sosial selaku serangkaian tingkatan yang mesti dilalui oleh semua penduduk yang bergerak dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih rumit dan dari tingkat homogen ke tingkat heterogen.
Semua teori evolusioner menganggap bahwa pergantian sosial mempunyai arah tetap yang dilalui oleh semua penduduk . Perubahan sosial diputuskan dari dalam (endogen). Evolusi terjadi pada tingkat organis, anorganis, dan superorganis.
Evolusi pada sosiologi memiliki arti optimis yakni tumbuh menuju keadaan yang tepat, pertumbuhan, perbaikan, fasilitas untuk perbaikan hidupnya. Pandangan-pandangan sosiologi Spencer sangat dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan ilmu biologi, terutama beberapa jago biologi berikut ini dan pandangannya:
1.    Pelajaran ihwal sifat keturunan (descension) Lamarck (1909).
2.    Teori seleksi dari Darwin (1859).
3.    Teori perihal inovasi sel.
Membandingkan penduduk dengan organisme, Spencer mengelaborasi ide besarnya secara detil pada semua masyarakat sebelum dan sesudahnya. Spencer menitikberatkan pada 3 kecenderungan pertumbuhan penduduk dan organisme:
a.    kemajuan dalam ukurannya,
b.    meningkatnya kompleksitas struktur, dan
c.    diferensiasi fungsi.
Teori wacana evolusi mampu dikategorikan ke dalam 3 klasifikasi ialah:
a.    Unilinear theories of evolution.
b.     Universal theory of evolution.
c.    Multilined theories of evolution.
Spencer sudah menggabungkan secara konsisten wacana adat, budbahasa dan pekerjaan, terutama dalam bukunya The Principles of Ethics (1897/1898). Isu pokoknya yakni apakah adat dan politik menguntungkan atau merugikan sosiologi. Idenya yaitu untuk memperluas metodologi individunya dan memfokuskan diri pada fernomena level makro berdasarkan pada fenomena individu selaku unit.
Karakteristik orang dalam asosiasi negara diperoleh dari yang menempel pada tubuh, hukum, dan lingkungannya. Kedekatan individu yaitu pada moral sosial dan yang lebih jauh adalah ketuhanan. Oleh alasannya adalah itu orang menyaksikan etika sebagai jalan hidup kebenaran yang hebat.
KARL MARX
Marx, Kapitalisme, dan Komunisme.
Karl Marx tidak semata-mata menjadi seorang komunis dengan begitu saja. Banyak tokoh yang ikut andil dan berperan dalam menjadikan Marx seorang yang berpandangan komunisme, antara lain Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. Keempatnya, terutama filsafatnya Hegel, Feuerbach dan Engels, sungguh kental mewarnai aliran Marx. Secara spesifik memang filsafatnya Hegel, adalah yang berhubungan dengan rancangan dialektik, menjadi titik tolak fatwa Marx walaupun Marx mengkritisi filsafat itu alasannya adalah dianggapnya sangat idealistik dan memiliki rancangan yang terbalik. Marx sendiri mengemukakan konsep dialektika materialistik yang mengacu kepada aneka macam struktur sosial yang di dalamnya tercermin konflik sosial dan juga menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan kepada kaum buruh dalam semua proses buatan.
Marx, juga menyinari perkembangan dan kebangkitan kapitalisme, di mana pandangan-pandangannya dianggap identik dengan gerakan pembebasan kaum buruh yang miskin dan tertindas oleh mereka yang memiliki banyak sekali fasilitas produksi, yakni kaum borjuis. Konflik atau pertentangan kelas serta upaya-upaya pembebasan inilah yang menjadi titik sentral ajarannya Marx.
Dialektika dan Struktur Masyarakat Kapitalis.
Perkembangan fatwa Marx memang tidak lepas dari efek filsuf-filsuf mahir mirip Hegel, Feuerbach, Smith, juga Engels. von Magnis membagi lima tahap kemajuan pemikiran marx yang dibedakan ke dalam ajaran ‘Marx muda’ (young Marx) dan ‘Marx bau tanah’ (mature Marx). Gagasan dan pemikirannya utamanya diawali dengan kajiannya terhadap kritik Feuerbach atas konsep agamanya Hegel yang berkaitan dengan eksistensi atau eksistensi Tuhan. Marx yang materialistik betul-betul menolak desain Hegel yang dianggapnya terlalu idealistik dan tidak menyentuh kehidupan keseharian.
Bagi Marx, agama hanya sekedar realisasi hakikat manusia dalam imajinasinya belaka, agama hanyalah pelarian insan dari penderitaan yang dialaminya. Agama inilah yang merupakan simbol keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Marx mengadopsi sekaligus mengkritisi dialektikanya Hegel yang dianggapnya tidak realistik itu. Marx juga menganggap filsafatnya Hegel, yang idealistik itu, memiliki konsep yang terbalik.
Atas hal ini, Marx mengemukakan desain dialektika materialistik yang mengacu terhadap banyak sekali desain struktur sosial. Dimana di dalamnya tercermin konflik sosial dengan yang menggambarkan upaya-upaya pembebasan atas eksploitasi para majikan terhadap kaum buruh dalam semua proses bikinan yang melibatkan dua kelas sosial yang berlawanan, proletar dan borjuis. Kelas sosial inilah yang nantinya mesti tidak ada alasannya, berdasarkan Marx, pada suatu saat akan terwujud masyarakat komunisme; yaitu penduduk sosialis alasannya runtuhnya kapitalisme, di mana di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas sosial dan tidak ada lagi hak kepemilikan eksklusif. Inilah penduduk yang menjadi obsesi Marx. Untuk mewujudkan hal ini, menurutnya, perlulah dilakukan analisis kepada sistem ekonomi kapitalis.
EMILE DURKHEIM
Durkheim dan Fakta Sosial.
Durkheim yang dikenal taat pada agama tetapi sekuler itu, dalam perjalanan ‘karirnya’ dipengaruhi oleh tokoh-tokoh filsafat dan sosiologi, seperti Montesquieu, Rosseau, Comte, Tocquueville, Spencer, dan Marx. Durkheim menyinari solidaritas sosial sampai patologi sosial yang juga mengkaji tentang kesadaran bersama, morfologi sosial, solodaritas mekanik dan organik, pergantian sosial, fungsi-fungsi sosial, termasuk solidaritas dan patologi sosial. Durkheim memang berangkat dari perkiraan bahwa sosiologi itu ialah studi mengenai aneka macam fakta sosial di mana di dalamnya dia menguraikan tentang rancangan sosiologinya serta berbagai karakteristik dari fakta-fakta sosial dimaksud. Ia juga menjelaskanmengenai cara-cara mengobservasi berbagai fakta sosial dengan melakukan analisi sosiologis. Sedangkan perihal fenomena moralitas yang menyangkut berbagai doktrin, nilai-nilai, dan iktikad-keyakinan (yang membentuk realitas metafisik) dia dekati juga dengan menggunakan sistem ilmu pengetahuan. Durkheim memang sepaham dengan pemikiran Comte bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dapat membuat manusia hidup tenteram. Upayanya untuk memahami berbagai fenomena bunuh diri melahirkan salah satu karya besarnya Suicide (’Bunuh Diri’)
Bunuh Diri, Agama, dan Moralitas
Bagi Durkheim, bunuh diri, yang bermacam-macam bentuk (egoistic suicide, altruistic suicide, anomic suicide, dan fatalistic suicide), itu memang ialah penyimpangan sikap seseorang. Bagaimana bunuh diri itu terjadi atau dilaksanakan oleh seseorang, berdasarkan Durkhiem, disebabkan oleh benturan dua kutub integrasi dan regulasi di mana berpengaruh dan lemahnya kedua kutub itu akan menimbulkan orang melakukan bunuh diri.
Di sinilah, begitu Durkheim menekankan, pentingnya agama bagi seseorang untuk menghindarkan dari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. di mana bagian-komponen esensial dari agama itu mencakup aneka macam mitos, kepercayaan, dan ritual, yang kesemuanya ialah fenomena religius yang dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, ada hal-hal yang sifatnya ’suci’ (sacred) dan juga ada hal-hal yang sifatnya ‘tidak suci’ (profane) yang pemisahan antara keduanya memperlihatkan kepada pemikiran-ajaran religius yang dilakukan insan. Harus diamati bahwa di dalam agama, utamanya yang menyangkut ritual keagamaan, ada yang dinamakan ritual negatif dan juga ritual nyata. Bagi Durkheim, moralitas itu ialah suatu aturan yang ialah persyaratan bagi tindakan dan perilaku manusia (juga dalam berinteraksi). Konsepnya tentang moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan pola dalam berinteraksi.
MAX WEBER
Riwayat Hidup dan Sosiologi Max Weber.
Max Weber yakni seorang sosiolog besar yang jago kebudayaan, politik, aturan, dan ekonomi. Ia dikenal selaku seorang ilmuwan yang sangat produktif. Makalah-makalahnya diangkut di aneka macam majalah, bahkan ia menulis beberapa buku. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1904) ialah salah satu bukunya yang populer. Dalam buku tersebut dikemukakan tesisnya yang sungguh terkenal, yakni mengenai kaitan antara Etika Protestan dengan munculnya Kapitalisme di Eropa Barat.
Sejak Weber memperkenalkannya pada tahun 1905 tesis yang menunjukkan kemungkinan adanya relasi antara fatwa agama dengan perilaku ekonomi, sampai sekarang masih merangsang berbagai perdebatan dan observasi empiris. Tesisnya dipertentangkan dengan teori Karl Marx wacana kapitalisme, demikian pula dasar asumsinya dipersoalkan, kemudian ketepatan interpretasi sejarahnya juga digugat. Samuelson, jago sejarah ekonomi Swedia, tanpa segan-segan menolak dengan keras keseluruhan tesis Weber. Dikatakannya dari penelitian sejarah tak bisa didapatkan tunjangan untuk teori Weber wacana kesejajaran akidah Protestanisme dengan kapitalisme dan desain wacana relasi antara agama dan tingkah laris irit. Hampir semua bukti membantahnya.
Weber sebetulnya hidup tatkala Eropa Barat sedang menjurus ke arah perkembangan kapitalisme terbaru. Situasi sedemikian ini barangkali yang mendorongnya untuk mencari alasannya adalah-karena hubungan antar tingkah laris agama dan ekonomi, khususnya di penduduk Eropa Barat yang mayoritas memeluk agama Protestan. Apa yang menjadi bahan perhatian Weber dalam hal ini bahwasanya juga sudah menjadi perhatian Karl Marx, di mana kemajuan kapitalisme modern pada kala itu sudah menjadikan keguncangan-keguncangan mahir di lapangan kehidupan sosial penduduk Eropa Barat.
Marx dalam masalah ini mengkhususkan perhatiannya terhadap tata cara produksi dan perkembangan teknologi, yang menurut dia balasan perkembangan itu telah menjadikan dua kelas penduduk , yaitu kelas yang berisikan sejumlah kecil orang-orang yang mempunyai modal dan yang dengan modal yang sedemikian itu kemudian menguasai alat-alat produksi, di satu pihak dan orang-orang yang tidak mempunyai modal/alat-alat buatan di pihak lain. Golongan pertama, yang disebutnya kaum borjuis itu, secara terus menerus berupaya untuk menemukan untung yang lebih besar yang tidak di pakai untuk konsumsi, melainkan untuk mengembangkan modal yang sudah mereka miliki.
Muncul dan berkembangnya Kapitalisme di Eropa Barat berlangsung secara serentak dengan kemajuan Sekte Calvinisme dalam agama Protestan. Argumennya yaitu pemikiran Calvinisme mengharuskan umatnya untuk menyebabkan dunia daerah yang makmur. Hal itu hanya mampu dicapai dengan usaha dan kerja keras dari individu itu sendiri.
Ajaran Calvinisme mewajibkan umatnya hidup sederhana dan melarang segala bentuk kemewahan, apalagi digunakan untuk berpoya-poya. Akibat fatwa Kalvinisme, para penganut agama ini menjadi semakin sejahtera alasannya laba yang mereka perolehnya dari hasil usaha tidak dikonsumsikan, melainkan ditanamkan kembali dalam usaha mereka. Melalui cara seperti itulah, kapitalisme di Eropa Barat meningkat . Demikian menurut Weber. Semoga bermanfaat.