Pembahasan tentang identitas Tionghoa, akan panjang dengan adanya konsep agama menurut pergeseran di tengah majunya peradaban manusia. Sehingga efek kepada tata cara ekonomi yang melekat pada kelas kebawah dilanjutkan dengan adanya identitas diri mereka sebagai manusia pada kebudayaan setempat.
Ketika hal ini disadari dengan adanya pencarian identitas kaum pribumi kelas sosial yang sebelumnya berlawanan dengan adanya budaya makan orang (pribumi), maka banyak sekali bidang psikologis terhadap kebudayaan mereka sendiri menjadi symbol atas ketidakpatuhan mereka terhadap pengetahuan dan penciptaan hasil biologis mereka sendiri.
Tetapi dalam tata cara politik untuk disadari bahwa, mereka hendak pergi di Negara tetangga untuk beribat, dan berekonomi secara baik di tengan politik yang begitu ahli di penduduk setempat, pribumi. Berbagai konflik yang dibentuk berdasarkan hasil asimilasi budaya, tidak lekat pada kebudayaan penduduk yang mempunyai penyimpangan kepada identitas diri mereka selaku insan.
Tionghoa setempat saat berkuasa secara ekonomi, dan menempatkan diri pada kebudayaan masyarakat sebelumnya dan saling menyerang, baik dalam kalangan, dan keluarga guna menpertahankan kepentingan budaya dan agama mereka secara lokal kepada identitas pembunuhan dan konflik etnik yang dijadwalkan pad atahun 1967 – 1999 di Kalimantan Barat – Jakarta.
Masyarakat pribumi juga demikian, yang hendak dimengerti sebagai identitas diri mereka pada sistemj pendidikan, budaya dan agama yang menjelaskan adanya sindikat kepada kepentingan golongan dan moralitas kepada ekonomi politik, dan kelas sosial dicapai selaku permulaan dari kehidupan politik menjadi permulaan dari pembuangan mereka sebelumnya di Jakarta.
Penciptaan bagi mereka untuk tidak pendidikan tinggi, nama yang mengatasnamakan banyak sekali kepentingan agama, dan ekonomi budaya guna diakui pada sistem agama selaku spritualitas yang rendah dari hasil numpang hidup dalam tata cara birokrasi di Pontianak, dan perkampungan pedesaan.
Tidak pendidikan atau disengaja dan meciptakan konflik sosial alasannya tidak menjadi apa – apa diberbagai kawasan yang ada di Kalimantan Barat, utamanya di Pontianak. Ketika di Jakarta menjadi gambaran kepada kriminalitas orang tersebut.
Bagaimana mereka makan dan minum, dan setiap periode kurun Orde Baru – Reformasi, dan revolusi mental, guna memanfaatkan setiap momen politik, dan agama menjadi sindikat permulaan dari kehidupan sosial mereka di masyarakat.
Non birokrasi dengan adanya tata cara pembelajaran terhadap pekerjaan mereka serta konflik sosial dibuat di Pontianak, dengan kelas sosial yang rendah menjadi catatan terhadap eksistensi mereka di Pontianak, guna bertahan hidup dan numpang hidup, sebagai permulaan dari kebiadaban mereka di Pontianak.
Ketika membicarakan tentang Tiionghoa dan seksualitas mereka yang rendah, dengan kepentingan ekonomi politik, dan medis akan terlihat dengan pengetahuan yang begitu bobrok dan pembangunan ekonomi politik, dan insan yang rendah di penduduk biasa , Pontianak, Kalimantan Barat.
Apa motif dalam hal ini bagi Tionghoa pendatang yang hidup seperti turis di pasar dan Kapuas Besar, dengan status dan kelas sosial rendah. Maka mereka hidup dengan ekonomi politik seksualitas yang dibuat sesuai dengan ambisi dan moralitas di penduduk , biasanya untuk baik di mata publik.
Nah, dalam hal ini banyak sekali peluang dalam setiap sistem agama diperiksa kembali sesuai dengan kepentingan politik dan identitas diri mereka pada penduduk Melayu – Dayak, pada era masa Sutarmidji, Walikota – Gubernur 1999an – 2022 berlanjut di Kalimantan Barat.