close

Filsafat Ilmu (I)

Teori Pengetahuan Pengetahuan (knowledge atau ilmu )adalah kepingan yg esensial- aksiden insan, lantaran pengetahuan ialah buah dr “berpikir “. Berpikir ( atau natiqiyyah) yaitu selaku differentia ( atau fashl) yg memisahkan manusia dr sesama genus-nya,yaitu binatang. Dan bergotong-royong kedigdayaan insan & ” barangkali ” keunggulannya dr spesies-spesies yang lain karena pengetahuannya. Kemajuan manusia cukup umur ini tak lain karena wawasan yg dimilikinya. Lalu apa yg sudah & ingin diketahui oleh manusia? Bagaimana insan berpengetahuan? Apa yg ia kerjakan & dgn apa biar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yg ia pahami itu benar? Dan apa yg mejadi tolak ukur kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan di atas sesungguhnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan ini sudah terjawab dgn sendirinya tatkala manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun tatkala duduk perkara-masalah itu diangkat & dibedah dgn pisau ilmu maka tak menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dr sesuatu yg gampang menjadi sesuatu yg sukar, dr sesuatu yg sederhana menjadi sesuatu yg rumit (complicated). Oleh lantaran problem-duduk perkara itu dibawa ke dlm pembedahan ilmu, maka ia menjadi sesuatu yg diperselisihkan & diperdebatkan. Perselisihan tentangnya menjadikan perbedaan dlm cara menatap dunia (world view), sehingga pada gilirannya timbul perbedaan ideologi. Dan itulah kenyataan dr kehidupan insan yg mempunyai aneka ragam sudut pandang & ideologi. Atas dasar itu, manusia -paling tak yg menilai penting problem-problem diatas- perlu membicarakan ilmu & wawasan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tak lagi menjadi satu kegiatan otak, yakni menerima, merekam, & mengolah apa yg ada dlm benak, tetapi ia menjadi objek. 
Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dgn epistemologi (teori wawasan atau nadzariyyah al ma’rifah). Epistemologi menjadi suatu kajian, bahu-membahu, belum terlalu usang, yaitu sejak tiga kala yg lalu & meningkat di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian ihwal ini sebagai suatu ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir & filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi dengan-cara khusus seperti, Mutahhari dgn bukunya “Syinakht”, Muhammad Baqir Shadr dgn “Falsafatuna”-nya, Jawad Amuli dgn “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya & Ja’far Subhani dgn “Nadzariyyah al Ma’rifah”-nya. Sebelumnya, pembahasan perihal epistemologi di bahas di sela-sela buku-buku filsafat klasik & mantiq. Mereka -barat- sangat meletakkan perhatian yg besar terhadap kajian ini, karena suasana & kondisi yg mereka hadapi. Dunia barat (baca: Eropa) mengalami ledakan keleluasaan berekspresi dlm segala hal yg sangat besar & luar biasa yg mengganti cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dr trauma intelektual. Adalah Renaissance yg paling berjasa bagi mereka dlm menutup abad kegelapan Eropa yg panjang & membuka lembaran sejarah mereka yg baru. Supremasi & dominasi gereja atas ilmu wawasan sudah hancur.
Sebagai akhir dr runtuhnya gereja yg memandang dunia dangan pandangan yg apriori atas nama Tuhan & agama, mereka menjajal mencari alternatif lain dlm menatap dunia (baca: kenyataan). Maka dr itu, bemunculan banyak sekali aliran pemikiran yg bergantian & tak sedikit yg kontradiktif. Namun dengan-cara garis besar ajaran-anutan yg sempat muncul adalah ada dua, yakni fatwa rasionalis & empiris. Dan sebagian darinya sudah lenyap. Dari kaum rasionalis timbul Descartes, Imanuel Kant, Hegel & lain-lain. Dan dr kaum empiris ialah Auguste Comte dgn Positivismenya, Wiliam James dgn Pragmatismenya, Francis Bacon dgn Sensualismenya.  Berbeda dgn barat, di dunia Islam tak terjadi ledakan seperti itu, karena dlm Islam agama & ilmu wawasan berjalan seiring & berdampingan, walaupun terdapat beberapa friksi antara agama & ilmu, tetapi itu sungguh sedikit & terjadi lantaran interpretasi dr teks agama yg terlalu dini. Namun dengan-cara keseluruhan agama & ilmu saling mendukung. Malah tidak sedikit dr ulama Islam, pula sebagai ilmuwan mirip : Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi & yg lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dlm Islam tak terjadi. Perkembangan ilmu di dunia Islam relatif stabil & hening. Filsafat Filsafat berasal dr bahasa Yunani yg telah di-Arabkan. Kata ini barasal dr dua kata “philos” & “shopia” yg memiliki arti pecinta pengetahuan. Konon yg pertama kali memakai kata “philoshop” yaitu Socrates. (dan masih konon juga) ia menggunakan kata ini lantaran dua argumentasi, Pertama, kerendah-hatian beliau. Meskipun ia seorang yg pintar & luas pengetahuannya, ia tak mau menyebut dirinya selaku orang yg pintar. Tetapi ia menentukan untuk disebut pecinta pengetahuan.  Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yg menganggap diri mereka orang yg pintar (shopis). Mereka pintar bersilat pengecap, sehingga apa yg mereka anggap benar ialah benar. Makara kebenaran tergantung apa yg mereka katakan. Kebenaran yg riil tak ada. Akhirnya insan waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu kepada segala sesuatu, lantaran apa yg mereka anggap benar belum tentu benar & kebenaran tergantung orang-orang shopis.
Dalam keadaan mirip ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan pada manusia bahwa kebenaran itu ada & tak mesti tergantung pada kaum shopis. ia berhasil dlm upayanya itu & mengalahkan kaum shopis. Meski ia sukses, ia tak mau dibilang pintar, tetapi ia menentukan kata philoshop selaku sindiran pada mereka yg sok pintar. Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yg dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir & berdalil yg kemudian dikenal dgn akal (mantiq) Aristotelian.  
Pada mulanya kata filsafat bermakna segala ilmu wawasan yg dimiliki insan. Mereka membagi filsafat pada dua belahan yakni, filsafat teoritis & filsafat mudah. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan & astronomi; (2) ilmu eksakta & matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan & methafisika. Filsafat simpel mencakup: (1) norma-norma (etika); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial & politik. Filusuf yaitu orang yg mengetahui semua cabang-cabang ilmu wawasan tadi. Mungkinkah Manusia itu Mempunyai Pengetahuan? Masalah epistemologis yg semenjak dulu & pula sekarang menjadi materi kajian yakni, apakah berpengetahuan itu mungkin? Apakah dunia (baca: realita) mampu diketahui? Sekilas duduk perkara ini konyol & menggelikan. Tetapi terdapat beberapa orang yg mengingkari pengetahuan atau meragukan wawasan. Misalnya, bapak kaum sophis, Georgias, pernah dikutip darinya suatu perumpamaan berikut, “Segala sesuatu tak ada. Jika adapun, maka tak mampu dikenali, atau jika dapat dikenali, maka tak mampu diinformasikan.”
Mereka mempunyai beberapa alasan yg cukup kuat tatkala beropini bahwa pengetahuan sesuatu yg tak ada atau tak dapat mengemban amanah. Pyrrho salah seorang dr mereka menyebutkan bahwa insan tatkala ingin mengetahui sesuatu memakai dua alat yakni, indra & akal. Indra yg merupakan alat pengetahuan yg paling dasar mempunyai banyak kesalahan, baik indra penglihat, pendengar, peraba, pencium & perasa. Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai kesalahan ratusan. Jika demikian adanya, maka bagaimana pengetahuan lewat indra dapat diandalkan?
Demikian pula halnya dgn kebijaksanaan. Manusia terkadang salah dlm berpikir. Bukti yg paling jelas bahwa di antara para filusuf sendiri terdapat perbedaan yg terang tak mungkin semua benar niscaya ada yg salah. Maka akalpun tak dapat mengemban amanah. Oleh karena alat pengetahuan hanya dua saja & keduanya mungkin bersalah, maka wawasan tak dapat mengemban amanah. Pyrrho tatkala berdalil bahwa pengetahuan tak mungkin karena kasalahan-kesalahan yg indra & budi, bekerjsama, ia sudah mengenali (baca: meyakini) bahwa wawasan tak mungkin. Dan itu merupakan wawasan. Itu pertama. Kedua, tatkala ia menyampaikan bahwa indra & kebijaksanaan kadang-kadang bersalah, atau katakan, senantiasa bersalah, memiliki arti ia mengetahui bahwa indra & akal itu salah. Dan itu ialah wawasan juga. Alasan yg dikemukakan oleh Pyrrho tak sampai pada kesimpulan bahwa pengetahuan sesuatu yg tak mungkin. Alasan itu cuma mampu membuktikan bahwa ada kesalahan dlm kebijaksanaan & indra tetapi tak semua wawasan melalui keduanya salah. Oleh karen itu mesti ada cara agar kebijaksanaan & indra tak bersalah.
Menurut Ibnu Sina, ada cara lain yg lebih efektif untuk menghadapi mereka, yaitu pukullah mereka. Kalau ia mencicipi kesakitan berarti mereka mengetahui adanya sakit (simpulan dawa’ kay). Cogito, ergosum “-nya Descartes. Rene Descartes termasuk pemikir yg beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dlm membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dlm kaum rasionalis. Ia tergolong pemikir yg pernah mengalami skeptisme akan pengetahuan & kenyataan, tetapi ia selamat & bangun menjadi seorang yg meyakini kenyataan. Bangunan rasionalnya beranjak dr keraguan atas realita & pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya kepada Tuhan, alam, jiwa & kota Paris. ia mendapatkan bahwa yg menjadi dasar atau alat kepercayaan & pengetahuannya yaitu indra & kebijaksanaan. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikan, artinya keduanya tak memberika hal yg pasti & meyakinkan. Lantas ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tak mampu meragukan akan pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini & mengenali bahwa dirinya ragu-ragu & berpikir.
Ungkapannya yg terkenal & sekaligus fondasi keyakinan & pengetahuannya adalah ” Saya berpikir (baca: ragu-ragu), maka saya ada “. Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tanpa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir, setiap yg berpikir ada, maka saya ada. Keraguan al Ghazzali. Dari dunia Islam ialah Imam al Ghazzali yg pernah skeptis kepada kenyataan, namun iapun selamat & menjadi pemikir besar dlm filsafat & tashawwuf. Perkataannya yg terkenal yakni “Keraguan yaitu kendaraan yg mengirimkan seseorang ke kepercayaan”. Sumber Dana Alat Pengetahuan. Setelah wawasan itu sesuatu yg mungkin & realistis, persoalan yg dibahas dlm lliteratur-literatur epistimologi Islam ialah problem yg berhubungan dgn sumber & alat pengetahuan.
Sesuai dgn hukum kausaliltas bahwa setiap balasan niscaya ada sebabnya, maka pengetahuan yaitu sesuatu yg sifatnya aksidental, baik menurut teori recolection-nya Plato, teori Aristoteles yg rasionalis-paripatetik, teori iluminasi-nya Suhrawardi, & filsafat-materialisnya kaum empiris- & niscaya mempunyai karena atau sumber. Tentu yg dianggap selaku sumber wawasan itu beragam & berbeda sebagaimana bermacam-macam & berbedanya fatwa pemikiran insan. Selain pengetahuan itu mempunyai sumber, pula seseorang tatkala hendak mengadakan kontak dgn sumber-sumber itu, maka ia menggunakan alat. Para filusuf Islam menyebutkan beberapa sumber & sekaligus alat wawasan, yakni Alam tabi’at atau alam fisik  Alam Akal  Analogi ( Tamtsil)  Hati & Ilham.