Dongeng Pelacur Indo Belanda Fientje De Feniks

Pak Silun (tengah) dengan dua algojonya   

Pada tangga 17 Mei 1912, Batavia ricuh. Sesosok jenazah perempuan cantik ditemukan mengambang di Kalibaru. Mayat gadis keturunan Indo Belanda itu terbungkus dalam karung dan tersangkut pintu air.

Masyarakat tambah geger dikala mengenali siapa yang tewas. Namanya “Fientje de Feniks“, seorang pelacur yang sering dikunjungi para pejabat dan orang kaya. Untuk ukuran ketika itu, Fientje jadi idola. Wajahnya adonan Indonesia dan Eropa. Matanya besar dengan hidung mancung dan bibir sensual. Rambutnya panjang, hitam dan berombak. Saat tewas usianya belum lagi 20 tahun.


Sehari-hari, Fientje tinggal di rumah bordir milik Umar. Demikian ditulis dalam Ensiklopedi Jakarta yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta tahun 2005.


Tewasnya Fientje menjadi pusat pemberitaan surat pada dikala itu. Masyarakat penasaran dengan setiap kemajuan modern masalah Fientje De Feniks.


Komandan Polisi Batavia, Komisaris Reumpol menangani kasus ini. Reumpol memeriksa setiap saksi dengan teliti. Akhirnya dia mendapatkan titik jelas saat seorang pelacur sobat Fientje bersaksi. Pelacur itu bernama Raonah, ia melihat eksklusif seorang laki-laki berjulukan Gemser Brinkman mencekik Fientje dari sela-sela bilik bambu.


Brinkman bukan orang asal pilih. Dia cukup punya pengaruh di Batavia dikala itu.Brinkman juga anggota Sociteit Concordia yang beranggotakan pembesar-pembesar Belanda.


Wartawan Senior Rosihan Anwar menulis soal sidang Brinkman ini. Raonah sempat dituding berbohong dan menunjukkan kesaksian palsu oleh pengacara Brinkman. Pengadilan bahkan sempat mengantartim untuk menganalisa tempat kejadian masalah (TKP) pembunuhan di lokalisasi milik Umar.


Raonah bersikeras pada pendapatnya.Dengan percaya ia berkata pada ketua majelis hakim.


“Tuan, aku seorang wanita, jadi aku penakut.Tapi aku katakan sekali lagi, laki-laki itu yang melakukan pembunuhan,” ujar Raonah.


Pengadilan jadinya mengganjar Brinkman dengan hukuman mati. Awalnya Brinkman yakin hukuman tidak akan jadi dilakukan. Dia berfikir tidak mungkin seorang kulit putih terhormat seperti dirinya dieksekusi mati cuma karena membunuh pelacur indo. Dia juga yakin efek teman-temannya di Sociteit Concordia akan menolong memperingan hukumannya.


Tapi Brinkman salah, pengadilan tetap berniat mengeksekusinya. Dia pun stres, dan berteriak-teriak terus dalam selnya. Akhirnya Brinkman bunuh diri dalam sel.


Ada beberapa versi soal pembunuhan ini. Ada yang mengatakan Brinkman bahwasanya tidak membunuh Fientje ketika itu juga. Tetapi dia memerintahkan algojo bernama Silun bersama dua anak buahnya. Silun yang alhasil mencekik Fientje sampai tewas. Sial bagi Silun, Brinkman belum membayarnya lunas. Dia gres dibayar persekot atau uang mukanya saja. Brinkman keburu tewas ketika Silun ditangkap.


Mengenai motif pun berlawanan-beda.Sebagian pihak meyakini Brinkman membunuh Fientje alasannya cemburu. Dia bahwasanya sudah ingin mengakibatkan Fientje sebagai gundik, tetapi ternyata Fientje masih juga melayani laki-laki lain.


Kisah soal Fientje ini juga ditulis dalam Novel karangan Pramoedya Ananta Toer. Di buku ‘Rumah kaca’, Pram juga memasukan dongeng soal pembunuhan ini. Namun Pram mengganti nama Fientje de Feniks menjadi Rientje de Roo. (mdk/ian)


Rientje De FENIKS II

Nah, di Kalibaru inilah pada 17 Mei 1912 terjadi insiden yang bikin gempar. Mayat perempuan muda indo didapatkan terapung di Kalibaru. Mayat itu terbungkus dalam karung dan tersangkut di pintu air.

Maka kejadian itu pun pribadi menyebar ke masyarakatdi pelosok Batavia.Tak ketinggalan komplemen kisah berbumbu seks dan kekerasan. Usut punya usut ternyata perempuan indo ini pekerja seks dan menghuni sebuah rumah pelacuran  yang dimiliki germo berjulukan Umar.


Jakarta Tempo Doleo terbitan tahun 1972 mengisahkan, Komisaris Kepala Batavia Toen Ruempol kelabakan memecahkan misteri mayat dalam karung ini. Hasil visum menawarkan mayit perempuan indo ini tewas dicekik. Kemudian dikenali pula nama si perempuan ini, Fientje De Feniks.


Sang germo tak luput diperiksa Reumpol. Dari ekspresi Umar terluncurlah nama seorang tuan besar bernama Gemser Brinkman. Brinkman kondang di kalangan orang-orang  Belanda yang tergabung dalam Societet Concordia di Gedung Harmonie, pasalnya meneer ini memang anggota sositet ini.


Brinkman tak mampu berkutik manakala Umar menunjuk hidungnya. Tak salah lagi, Brinkman memang pelanggan Fientje. Hal ini diperkuat dengan kesaksian rekan sejawat Fientje, Raonah. “Saya menyaksikan sendiri bagaimana meneer Brinkman membunuh Fientje,” begitu kira-kira ucap Raonah. Kala kejadian itu terjadi dia sedang berada di belakang kawasan pelacuran Umar dan mendengar suara gaduh. “Lantas aku intip,” lanjutnya, dari balik celah pohon bambu. Dari celah itulah beliau menyaksikan Brinkman mencekik Fientje sampai tewas.


Pengadilan memutuskan si Tuan bersalah dengan bahaya eksekusi mati. Akhirnya alasannya cemas, Brinkman pun buka suara. Namun sayang, suaranya tak mempan di hadapan pengadilan. Kabar yang menyebar di kelompok penduduk, beliau menggunakan algojo dari kelompok penduduk pribumi.

Brinkman memerintahkan Pak Silun, salah seorang algojo, untuk mengambil nyawa Fientje. Silun bareng dua anak buahnya melaksanakan peran. Silun lalu menyesal alasannya adalah baru terima persekot, sisa pembayaran tak mungkin diberikan lantaran Brinkman keburu dieksekusi mati. Bukan hanya tak ada lagi pembayaran, Silun juga masuk bui. Sayang tak dikisahkan bagaimana nasib Silun, dieksekusi seumur hidup atau dieksekusi mati.

  Sejarah Berdirinya Sekolah Kautamaan Istri Dewi Bagian 2