Asy’ariyyah ialah sebutan bagi suatu faham atau pedoman aqidah yang dinisbatkan kepada Syaikh Abul-Hasan Ali al-Asy’ari (Lahir dan wafat di Basrah tahun 260 H- 324 H.). Para pengikutnya sering disebut dengan Asy’ariyyuun atau Asyaa’irah (pengikut mazhab al-Asy’ari). Abul-Hasan Ali Al-Asy’ari, yang kemudian dikenal selaku pencetus aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah, mempunyai garis keturunan (garis ke-10) dari seorang Sahabat Rasulullah Saw. yang terkenal keindahan suaranya dalam membaca al-Qur’an, ialah Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lahir 55 tahun sesudah wafatnya al-Imam Syafi’I, dan Abul-Hasan al-Asy’ari yakni pengikut Mazhab Syafi’i.
Pada mulanya, beliau beraqidah Mu’tazilah karena berguru terhadap seorang ulama Mu’tazilah yang berjulukan Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubba’i (Wafat 295H.). Setelah menjadi pengikut Mu’tazilah selama + 40 tahun, ia bertobat kemudian mencetuskan semangat beraqidah menurut Al-Qur’an dan Hadis sebagaimana yang diyakini oleh Nabi Saw. dan para Sahabat beliau, serta para ulama salaf (mirip Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan lain-yang lain).
Dalam mengusung aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini, terdapat pula seorang ulama yang sejalan dengan al-Asy’ari, ialah Syaikh Abu Manshur al-Maturidi (wafat di Samarkand Asia Tengah pada tahun 333 H). Meskipun paham atau fatwa yang mereka sampaikan itu sama atau nyaris sama, namun al-Asy’ari lebih dikenal nama dan karyanya serta lebih banyak pengikutnya, sehingga para pengikut aqidah Ahlus-Sunnah wal Jama’ah lebih sering disebut dengan al-Asyaa’irah (pengikut al-Asy’ari) atau al-Asy’ariyyun.
Ahlus-Sunnah wal-jama’ah lahir selaku reaksi dari penyebaran aqidah Mu’tazilah yang condong mengedepankan akal ketimbang al-Qur’an atau Hadis. Banyak dogma Mu’tazilah yang dianggap oleh al-Asy’ari menyimpang jauh dari dasarnya. Lebih buruknya, saat Mu’tazilah sudah menjadi paham penguasa (kurun Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, & al-Watsiq dari Daulah Bani Abbasiyah), banyak ulama yang ditangkap dan dipaksa untuk meyakini paham tersebut. Di antara ulama yang ditangkap dan disiksa karena tidak mau mengakui paham Mu’tazilah itu yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.
Ajaran al-Asy’ari dan al-Maturidi (Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah) ini lalu berhasil meruntuhkan paham Mu’tazilah, dan umat Islam kembali mendasari aqidah mereka dengan al-Qur’an dan Hadis serta dalil-dalil ‘aqly (akal) sebagaimana dicontohkan oleh para salafush-shaleh.
Pada abad selanjutnya, aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah ini dianut dan disebarluaskan oleh ulama-ulama besar ibarat Abu Bakar al-Qaffal (wafat 365 H.), Abu Ishaq al-Isfarayini (wafat 411 H.), al-Baihaqi (wafat 458 H.), Imam al-Haramain al-Juwaini (wafat 460 H.), al-Qusyairi (wafat 465 H.), al-Baqillani (wafat 403 H.), Imam al-Ghazali (wafat 505 H.), Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H.), ‘Izzuddin bin Abdus-Salam (wafat 660 H.), Abdullah asy-Syarqawi ( wafat 1227 H.), Ibrahim al-Bajuri (wafat 1272 H.), Syekh Muhammad Nawawi Banten (wafat 1315 H.), Zainal Abidin al-Fatani (Thailand), dan lain-lainnya.
Karya-karya tulis mereka banyak bertebaran dan dijadikan pegangan di seantero dunia Islam, sehingga aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah itu menjadi paham para ulama dan umat Islam dominan di berbagai negeri mirip: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Turki, Mesir, sebagian Irak, India, sebagian Pakistan, Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia, Somalia, Sudan, Nigeria, Afghanistan, sebagian Libanon, Hadhramaut, sebagian Hijaz, sebagian Yaman, sebagian besar tempat Sovyet, dan Tiongkok. (Untuk lebih jelasnya, lihat “I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah” karya KH. Siradjuddin Abbas, diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Jakarta).
Para Ulama pengikut empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali) adalah penganut aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Belakangan ini dimunculkan kembali beberapa Pembahasan yg kemudian mengarahkan umat untuk menilai bahwa Asy’ariyyah hanyalah kelompok fatwa ilmu kalam (ilmu pembicaraan) yang tidak ada hubungannya dengan nama Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ilmu kalam mereka anggap selaku hasil pembahasan-pembahasan keyakinan agama dengan nalar yang didasari oleh ajaran filsafat, dan dengan kondisi mirip itu dia banyak dikecam oleh para ulama salaf. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kecaman para ulama salaf terhadap kalangan-kelompok mahir kalam diarahkan terhadap Asy’ariyyah sedangkan para ulama salaf tersebut tidak pernah menjumpai Asy’ariyyah yang gres muncul sesudah mereka wafat? Jika pun ada kecaman itu, maka bahu-membahu yang mereka kecam ialah aliran-anutan aqidah atau ilmu kalam yang dianggap sesat dan sudah meningkat di saat itu, seperti: Qadariyyah, Jabbariyyah, Khawarij, Syi’ah, dan Mu’tazilah.
Pendek kata, Asy’ariyyah menurut kaum Kaum “Baru” adalah bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, melainkan fatwa bid’ah yang harus dijauhi.
Aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah memang bukan cuma milik Asy’ariyyah atau Maturidiyyah saja. Siapa saja yang berpegang kepada al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat beliau yaitu termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik sebelum Asy’ariyyah timbul atau sesudahnya. Akan namun, aqidah (dogma) Ahlussunnah Wal-Jama’ah ibarat itu belumlah tersusun secara rapi dan masih terpencar-pencar di kala ulama salaf, mengingat pada abad itu para ulama menghadapi ujian berat dari penguasa yang beraqidah Mu’tazilah.
Barulah pada kurun selanjutnya, timbul Abul Hasan Al-Asy’ari yang menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai sebuah perhatian khusus, dan beliau bersusah payah menyebarluaskannya di golongan umat sebagai suatu rumusan yang rapi sekaligus sebagai bantahan-bantahan kepada aliran Mu’tazilah. Dengan lantaran itulah maka Abul Hasan al-Asy’ari dianggap selaku pencetus atau pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan para pengikutnya yang disebut Asya’irah secara otomatis termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Perhatikanlah pernyataan para ulama berikut ini:
إِذَا أُطْلِقَ أَهْلُ السُّنَّةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اْلأَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِيْدِيَّةُ (إتحاف سادات المتقين، محمد الزبدي، ج. 2، ص. 6)
“Apabila disebut nama Ahlussunnah secara biasa , maka tujuannya adalah Asya’irah (para pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari) dan Maturidiyah (para pengikut faham Abu Manshur al-Maturidi” (Ithaf Sadat al-Muttaqin, Muhammad Az-Zabidi, juz 2, hal. 6.
– “Adapun hukumnya (mempelajari ilmu aqidah) secara biasa yakni wajib, maka sudah disepakati ulama pada semua aliran. Dan penyusunnya adalah Abul Hasan Al-Asy’ari, kepadanyalah dinisbatkan (nama) Ahlussunnah sehingga dijuluki dengan Asya’irah (pengikut faham Abul Hasan al-Asy’ari)” (Al-Fawakih ad-Duwani, Ahmad an-Nafrawi al-Maliki, Dar el-Fikr, Beirut, 1415, juz 1, hal. 38).
– “Dan Ahlul-Haqq (orang-orang yang berjalan di atas kebenaran) adalah gambaran wacana Ahlussunnah Asya’irah dan Maturidiyah, atau tujuannya mereka yakni orang-orang yang berada di atas sunnah Rasulullah Saw., maka mencakup orang-orang yang hidup sebelum munculnya dua orang syaikh tersebut, yaitu Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi” (Hasyiyah Al-’Adwi, Ali Ash-Sha’idi Al-’Adwi, Dar El-Fikr, Beirut, 1412, juz 1, hal. 105).
“Dan yang dimaksud dengan ulama adalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah, dan mereka adalah para pengikut Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi radhiyallaahu ‘anhumaa (agar Tuhan ridha terhadap keduanya)” (Hasyiyah At-Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi, Maktabah al-Babi al-Halabi, Mesir, 1318, juz 1, hal. 4).
Pernyataan para ulama di atas memberikan bahwa tuduhan dan fitnahan Suatu kaum terhadap Asy’ariyyah yakni tidak benar dan merupakan kebohongan yang diada-selenggarakan. Di satu sisi mereka mengeliminasi (meniadakan) Asy’ariyyah dari daftar kumpulan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, di segi lain mereka malah dengan yakinnya menyatakan diri sebagai kelompok Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang bahwasanya.
Boleh dikatakan bahwa aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah di kurun belakangan yang diajarkan oleh para ulama di dalam kitab-kitab mereka tidak ada yang tidak bekerjasama dengan Asy’ariyyah, malah relasi ini mirip telah menjadi mata rantai yang baku dalam mempelajari ilmu aqidah. Hanya kaum “Nyeleneh” lah yang menolak adanya korelasi itu, dan dalam mengajarkan ilmu aqidah mereka eksklusif berhubungan dengan anutan para ulama salaf. Padahal Abul Hasan al-Asy’ari sudah lebih dulu menerangkan pemikiran para ulama salaf tersebut jauh-jauh hari sebelum kaum “Anyaran” muncul, terlebih era hidup beliau sungguh bersahabat dengan kala hidup para ulama salaf.
Sebutan Ahlussunnah Wal-Jama’ah bagi Asy’ariyyah dan “pemimpin Ahlussunnah Wal-Jama’ah” bagi Abul Hasan al-Asy’ari, hanyalah sebagai sebuah penghargaan dari para ulama setelah beliau atas jasa-jasa dia dalam menyusun aqidah Ahlussunnah Wal-Jama’ah serta perjuangan beliau dalam mempopulerkan dan menyebarluaskannya di saat aqidah sesat Mu’tazilah masih berkuasa. Tentunya, ini tidak berarti bahwa faham Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yakni satu-satunya yang sah disebut sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah, karena baik Abul Hasan al-Asy’ari maupun Abu Manshur al-Maturidi hanyalah menyusun apa yang telah diyakini oleh para ulama salaf yang bersumber terhadap al-Qur’an, Sunnah Rasulullah Saw., dan atsar para Shahabat. Jadi, mereka hanya menyusun apa yang sudah ada, bukan mencipta doktrin yang sama sekali baru.
Di saat para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah merasa berbahagia dengan mengakui diri selaku pengikut rumusan Asy’ariyyah, ada satu kaum justeru malah melepaskan diri dari ikatan itu, dan memberlakukan terminologi lazim wacana Ahlussunnah wal-Jama’ah yang tidak ada hubungannya dengan Asy’ariyyah. Itu memang hak mereka, tetapi masalahnya, jikalau di dalam mempelajari aqidah tidak ada format baku yang disepakati atau tidak ada ikatan yang terang dengan para ulama terdahulu dalam mengetahui al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. serta atsar para Shahabat, maka akan ada banyak orang yang sanggup seenaknya mengaku sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan cuma bermodal dalil-dalil yang mereka pahami sendiri. Dan keadaan ini berbahaya bagi keamanan aqidah umat Islam.
para pengikut Asy’ariyyah adalah mereka yang menerima pemikiran aqidah ulama salaf secara turun temurun dari generasi ke generasi melalui para guru guru yg bersambung dan kitab-kitab mereka.
Wallahu a’lam.
Oleh : Ustadz Ahmad Fii