Kedua Hadith diatas dari Sahabat Sebagaimana yang dibilang oleh Abu hatim al râzi, Abu Hatim bin Hibban, Ibnu Hajar al asqâlani, albukhâri dan yahya bin Ma’in, dia pernah bekerja untuk Khalifah Umar di kota Thâif beliau yakni Abu ‘Amr, dan ada yang mengatakan dari Abu ‘Amrah nama orisinil ia Sufyan Bin Abdullah Bin Râbi’ah bin al harith ada juga yang mengatakan nama dia yaitu Sufyan Bin Abdullah Bin Hatit al Thaqâfi Radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata : “Aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Katakanlah kepadaku dalam Islam suatu perkataan yang tidak aku tanyakan terhadap orang selain engkau/sehabis engkau.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman terhadap Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.’”
TAKHRIJ HADITS
Hadits pertama Shahîh. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 38), Ahmad (III/413; IV/384-385), at-Tirmidzi (no. 2410), an-Nasâ-i dalam as-Sunanul Kubra (no. 11425, 11426, 11776), Ibnu Mâjah (no. 3972), ad-Dârimi (II/298), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 6396, 6397, 6398), ath-Thayâlisi (no. 1327), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 21-22), Ibnu Abid Dun-ya dalam ash-Shamt (no. 7), al-Hâkim (IV/313), Ibnu Hibbân (no. 938, 5668, 5669, 5670, 5672-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân (no. 4572, 4574, 4575), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 16).
Sedang pada riwayat Imam Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasâi, dan Ibnu Mâjah terdapat embel-embel:
قُلْتُ : يَارَسُوْلَ اللهِ, مَاتَخَافُ عَلَيَّ؟ فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَرْفِ لِسَانِ نَفْسِهِ , ثُمَّ قَالَ هَذَا
KEDUDUKAN HADITS
Hadits ini yaitu hadits yang singkat, padat dan indah yang ialah Hadith Washâya (wasiat Nabi Muhammad ), dikatakan wasiat alasannya adalah terdapat didalamnya undangan wasiat dari nabi untuk Sahabat Sufyan Bin Abdullah Bin Hatit al Tsaqofi.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa Islam yaitu tauhid dan taat. Tauhid terkandung dalam kata “Amantu billâh (saya beriman kepada Allah Azza wa Jalla)” dan taat terkandung dalam kata “Istiqâmah” alasannya arti istiqâmah yaitu menjalankan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dihentikan, termasuk yang berkait dengan amalan hati dan badan ialah keyakinan, Islam, dan ihsan. Allah Azza wa Jalla berfirman,
………فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ ( فصّلت 6 )
Karena itu tetaplah kau (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya…” [Fushshilat/41:6][2]
Dalam ayat di atas terdapat aba-aba bahwa niscaya ada kelalaian (kekurangan) dalam istiqâmah yang diperintahkan; kemudian dilaksanakan istighfâr (mohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla) yang menciptakan taubat dan kembali kepada istiqâmah.[3]
SYARAH HADITS
Perkataan Sahabat RA, “Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yang tidak aku tanyakan terhadap orang selain engkau.” Maksudnya ialah ajarkanlah kepadaku sebuah perkataan ihwal pengertian Islam yang terang bagi diriku sehingga aku tidak perlu lagi menanyakan tafsirnya kepada orang lain dan saya akan mengerjakannya.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah Azza wa Jalla,’ kemudian istiqâmahlah.”[4]
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,”Katakanlah,” maksudnya, ucapkanlah dengan lisanmu serta iringi dengan pembenaran hatimu ”Aku beriman terhadap Allah Azza wa Jalla,” bahwa Dialah Allah Azza wa Jalla, Ilâh Yang Maha Esa yang wajib diibadahi oleh semua makhluk, yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna Yang Mahatinggi, dan wajib disucikan dari sifat-sifat yang buruk. Apa saja yang dijadikan-Nya benar maka itulah yang benar dan apa saja yang dijadikan-Nya batil maka itu batil. ”Kemudian Istiqâmahlah,” ialah istiqâmahlah (konsistenlah-red) di atas konsekuensi perkataan tersebut; berupa menyayangi Allah Azza wa Jalla yang menghadirkan keridhaan dan kecintaan-Nya serta menjauhkan diri dari kemurkaan-Nya dengan meninggalkan semua yang menjadikan kemarahan-Nya.[5]
Menurut bahasa, istiqâmah artinya adalah al-i’tidâl (lurus). Dikatakan aqâmasy syai-a was taqâma artinya lurus dan mapan.
Sedang menurut syari’at, istiqâmah ialah meniti jalan lurus yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup melaksanakan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang tidak boleh.[6]
Banyak perkataan para Shahabat, Tabi’in, dan yang lainnya dalam mendefinisikan istiqâmah. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Qatâdah rahimahullah berkata, “Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan hal-hal yang diwajibkan.” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla, ( ثُمَّ اسْتَقَامُوْا ) “Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Fushshilat/41:30) dengan mengatakan, ”Mereka yaitu orang-orang yang tidak menyekutukan Allah Azza wa Jalladengan sesuatu pun.”[7]
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah menyampaikan, “Maksudnya, mereka mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan beriman kepada-Nya kemudian berlaku lurus, tidak menyimpang dari tauhid, dan senantiasa iltizâm (konsekuen dan konsisten) dalam melakukan ketaatan kepada-Nya sampai mereka meninggal.”[8]
Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqâmah adalah suatu derajat, dengannya banyak sekali masalah menjadi sempurna dan banyak sekali kebaikan dan keteraturan bisa dicapai. Barangsiapa yang tidak istiqâmah dalam kepribadiannya maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan, ”Istiqâmah tidak akan bisa dijalankan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena dia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan akhlak kebiasaan, dan bangun di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan jujur.”[9]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan ” لُزُوْمُ طَاعَةِ اللهِ ” artinya tetap konsekuen dan konsisten dalam ketaatan terhadap Allah Azza wa Jalla.”[10]
Istiqâmah membuat lebih mudah rizki dan melapangkan kehidupan di dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman,
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan terhadap mereka air yang cukup.” [al-Jinn/72:16]
Imam al-Qurhubi rahimahullah berkata, “Maksudnya, seandainya orang-orang kafir itu beriman, niscaya Kami berikan mereka keleluasan di dunia dan Kami lapangkan rezeki mereka.”[11]
Firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ ( فصّلت 30 )
Maksudnya, mereka beriman kepada Allah Azza wa JallaYang Maha Esa, kemudian istiqâmah di atasnya dan di atas ketaatan hingga Allah Azza wa Jalla mewafatkan mereka.[12]
Tentang ayat di atas, al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, ”Mereka mengikhlaskan amal semata-mata karena Allah Azza wa Jalla dan melakukan ketaatan sesuai dengan syari’at Allah Azza wa Jalla.”[13]
Ayat ini memperlihatkan bahwa para malaikat akan turun menuju orang-orang yang istiqâmah dikala kematian menjemputnya, saat dalam kubur dan saat dibangkitkan. Para malaikat itu memberikan rasa aman dari panik dikala ajal menjemput dan menghilangkan rasa sedih akhir berpisah dengan anaknya sebab Allah Azza wa Jalla adalah pengganti dari hal itu. Juga menawarkan kabar gembira berupa ampunan dosa dan kesalahan serta amalnya diterima. Juga kabar bangga tentang Surga yang belum pernah dilihat mata, belum pernah didengar pendengaran, dan belum pernah terlintas dalam hati insan.[14]
Istiqâmah yaitu meniti ash-shirâthal mustaqîm, ialah agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan ke kanan. Istiqâmah meliputi pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Makara sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran agama.[15] Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan para pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini yaitu agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan selain Islam ialah pertimbangan para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa disebut agama dan tidak pula sebagai hujjah.[16]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Allah Azza wa Jalla menyuruh Rasul dan hamba-hamba-Nya yang beriman supaya teguh dan senantiasa istiqâmah sebab itu ialah alasannya untuk mendapatkan derma yang besar dalam mengalahkan lawan dan dapat menghindari bentrokan serta dapat terhindar dari tindakan melebihi batas. Karena melebihi batas -walaupun kepada orang musyrik- ialah kehancuran. Dan Allah Azza wa Jalla menginformasikan bahwa Dia Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lalai dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.”[17]
Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Tidak ada ayat yang diturunkan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur`an yang lebih berat dan sukar bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketimbang ayat ini.”[18]
Diriwayatkan dari Ibnu ’Abbâs Radhiyallahu anhu, beliau berkata, ”Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, ’Wahai Rasulullah! Engkau telah beruban.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
شَيَّبَتْنِيْ هُوْدٌ ، وَالْوَاقِعَةُ ، وَالْـمُرْسَلاَتُ ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُوْنَ ، وَإِذَا الشَّمْسُ
‘Aku telah dibuat beruban oleh (surat) Hûd, al-Wâqi’ah, al-Mursalât, ‘Amma yatasâ-alûn, dan Idzasy Syamsu kuwwirat” [19]
Dasar dari istiqâmah yakni keistiqâmah-an hati di atas tauhid mirip penafsiran Abu Bakar ash-shiddîq dan lain-lain wacana firman Allah Azza wa Jalla, إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami ialah Allah Azza wa Jalla,” lalu mereka meneguhkan pendirian mereka…(al-Ahqâf/46:13) bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik terhadap Allah Azza wa Jalla dan tidak menoleh kepada ilahi selain Allah Azza wa Jalla[20]. Makara, bila hati sudah istiqâmah di atas ma’rifatullâh, takut kepada-Nya, mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, menyayangi-Nya, menginginkan-Nya, berharap terhadap-Nya, berdoa terhadap-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan berpaling dari selain Dia, maka sungguh, seluruh anggota badan akan istiqâmah dengan taat kepada-Nya. Karena hati yakni raja bagi organ badan (yang lain) yang ialah pasukan hati. Jika raja telah istiqâmah, maka pasukan dan rakyatnya akan istiqâmah pula[21].
Anggota badan yang terpenting yang perlu mendapatkan perhatian sehabis hati adalah lisan. Karena verbal yakni media yang mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Terkadang keluar ucapan yang dianggap sepele namun mampu menciptakan pengucapnya binasa di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu mengajukan pertanyaan, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung pengecap dia Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menawarkan bahwa lisan sungguh berbahaya, alasannya adalah seseorang mampu istiqâmah kalau lisannya istiqâmah dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa dan murka Allah k. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu, ia memarfu’kannya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأََعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ : اِتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَـا نَحْنُ بِكَ، فَإِنِ اسْتَقَمْتَ ؛ اِسْتَقَمْنَا ، وَإِنِ اعْوَجَجْتَ ؛ اِعْوَجَجْنَا
“Jika anak keturunan Adam berada di pagi hari, seluruh organ badan tunduk kepada lidah dengan berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jallapada kami, alasannya adalah kami bersamamu. Jika engkau istiqâmah, kami juga istiqâmah. Jika engkau menyimpang, kami juga menyimpang.”[22]
Dan kebanyakan yang menyeret insan ke neraka yaitu lisan. Banyak nash yang berisi ancaman bagi yang membiarkan lisannya begitu saja tanpa kontrol.
إِنَّ الْعَبْدَ لَـيَـتَـكَـلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَـتَـبَـيَّـنُ مَا فِـيْهَا يَـهْوِيْ بِـهَا فِـى النَّـارِ أَبْـعَدَ مَا بَيْـنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak terperinci, maka akan menjerumuskannya ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara timur dan barat.”[23]
Demikian pula banyak nash yang mendorong biar menjaga mulut dan meluruskannya sesuai dengan perintah Allah. Di antaranya:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya Malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” [Qâf/50:18]
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa semua ucapan insan akan dihisab. Ada Malaikat yang selalu memantau semua perkataan insan dan senantiasa menulisnya, baik yang bagus maupun yang jelek.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَازَعِيْمٌ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَوَإِنْ كَانَ مُحِقًّا , وَأَناَزَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَ إِنْ كَانَ مَا زِحًا , وَأَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di taman-taman Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun ia yang benar; aku menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun beliau hanya bercanda; dan saya menjamin dengan sebuah istana di Surga yang tertinggi bagi orang yang membaguskan akhlaknya.”[24]
Di antara tips yang dapat mengantarkan terhadap istiqâmah dalam banyak sekali keadaan, perkataan, dan tindakan yaitu:
Agar tetap istiqâmah, ada beberapa hal yang mampu dilakukan, di antaranya :
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
FAEDAH HADITH
Marâji’
1. Al-Qur-an dan terjemahnya.
2. Tafsîr Ibni Katsîr.
3. Tafsîr al-Qurthubi.
4. Shahîh Muslim
5. Musnad Imam Ahmad.
6. Sunan at-Tirmidzi.
7. Sunan Ibnu Mâjah.
8. Sunan ad-Dârimi.
9. Musnad ath-Thayâlisi.
10. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
11. Sunan al-Baihaqi.
12. al-Mu’jamul Kabîr, karya Imam ath-Thabrâni.
13. Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
14. Kitâbush Shamt libni Abid Dun-ya.
15. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
16. Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah libni Daqîqil ’Ied.
17. Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah lil Allâmah as-Sindi.
18. Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah.
19. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
20. al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
21. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, Syirkah Egypcom li al-barmijah.
_______
[1]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 185).
[2]. Lihat al-Wâfî fî Syarhil-‘Arba’în an-Nawawiyyah (hlm. 155).
[3]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510) dan al-Wâfi fî Syarhil-Arba’în (hlm. 155).
[4]. Syarahul-Arba’in libni Daqiqil ‘Ied (hlm. 85).
[5]. Syarahul-Arba’in (hlm. 74) karya al-‘Allâmah as-Sindi.
[6]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/176) tahqîq Sami bin Muhammad as-Salamah.
[8]. Syarh Shahîh Muslim (II/8-9).
[9]. Syarhul-Arba’în libni Daqîqil ‘Ied (hlm. 86).
[10]. Bahjatun Nâzhirîn, Syarh Riyâdhis Shâlihîn (I/165).
[11]. Tafsîr al-Qurthubi (XIX/17).
[12]. Lihat Syarhul-Arba’în libni Daqiqil ‘Ied (hlm. 85).
[13]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/175).
[14]. Lihat Tafsîr Ibni Katsîr (VII/177) dengan diringkas dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 186-187).
[15]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/510).
[16]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 187).
[17]. Tafsîr Ibni Katsîr (IV/354).
[18]. Lihat Tafsîr al-Qurthubi (IX/71)7
[19]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 3297), al-Hâkim (II/343), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/388, no. 5964), dan selainnya. Lihat Silsilatul-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 955).
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/508).
[21]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/511-512).
[22]. Hasan: HR. Ahmad (III/95-96), at-Tirmidzi (no. 2407), Ibnu Abid Dunya dalam Kitâbush Shamt (no. 12), Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 1), al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimân (no. 4595), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (III/342, no. 5779), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4126), dan selainnya. Lihat Shahîhul Jâmi’ish Shaghîr (no. 351).
[23]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 6477) dan Muslim (no. 2988 (50)), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah z.
[24]. Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4800) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubrâ (X/249) dari Shahabat Abu Umâmah z . Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 273).
[25]. Shahîh: HR. At-Tirmdizi (no. 3522) dan Ahmad (VI/302, 315) dari Ummu Salamah.