Peran Wanita Pejuang di Sumatera Utara (Putri Lopian Sisingamangaraja), http://opac.perpusnas.go.id |
Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tanah Batak terkenal dengan Danau Toba. Keindahan Danau Toba dari jaman dulu sampai kini telah terkenal ke seluruh dunia. Tanah Batak tidak bisa dipisahkan dari Danau Toba. Raja Batak berasal dari Danau Toba, lahir dan besar disana, perkembangan si Raja Batak melahirkan suatu kerajaan yang diberi nama Kerajaan Sisingamangaraja (Harajaon Sisingamangaraja). Kerajaan Sisingamangaraja ini mulai terbentuk kala ke – 16. Kerajaan ini muncul sebagai perjuangan membuat suatu forum pemersatu antar keempat distrik Toba, terutama mempererat koordinasi antar bius “punguan marga”, sekaligus menata relasi dengan dunia luar dan dunia tetangga demi menjamin kemudian-lintas jual beli (hombar balok). Intinya, Kerajaan Sisingamangaraja sama seperti kerajaan-kerajaan lain di tanah air di abab 15 – 16, seperti Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, dll.
Pada tanggal 17 juni 1907, pasukan Belanda mengepung desa Sionom Hudon yakni desa tempat kerajaan SSM berdiri. Raja Sisingamangaraja XII (SSM XII) berusaha melawan pasukan Belanda bareng pasukannya temasuk anak-anaknya yaitu Putri Lopian. Pada jadinya mereka tewas dengan terhormat menjaga tanah Toba.
B. rumusan duduk perkara :
1. Biografi singkat Putri Lopian?
2. Bagaimana peran Putri lopian dalam perang melawan Belanda?
Bab II
Pembahasan
1. Biografi singkat ihwal Putri Lopian Sisingamangaraja XII
Putri Lopian Sinambela yaitu anak ke-3 dari tiga bersaudara dari Raja Sisingamangaraja XII. Ibunya ialah Boru Sagala Kakak tertuanya berjulukan Patuan Nagari dan Patuan Anggi yaitu abang keduanya. Ia lahir di Pearaja Dairi desa Sionomhudon. Kota ini ialah sentra usaha Sisingamangaraja XII. Lopian sedari kecil sering bergaul dengan para pejuang termasuk para panglima dari Aceh ialah teuku Nyak Bantal dan Teuku Muhammad Ben.
Lopian tumbuh di pekarangan kerajaan yang menjadikannya terdidik secara pikiran dan fisik. Ia berguru ilmu bela diri di Istana dan sering ikut andil dalam kemiliteran. Saat usianya 17 tahun, ia terjun pribadi bergerilya melawan pasukan Belanda bareng sang ayah (SSM XII) dan akhirnya tewas tertembak dan bersimbah darah di pangkuan sang ayah.
2. Peran Putri Lopian pada perang melawan Belanda
Satu periode lebih telah silam.Tanggal 17 Juni 1907 ialah hari bersejarah bagi orang Batak, dikaitkan dengan sejarah usaha ”Patuan Bosar Ompu Pulo Batu (Raja Sisingamangaraja XII)”. Pada hari itu, di sebuah daerah sepi di sekeliling Pearaja, Sionom Hudon, Dairi, sejarah mencatat peristiwa maut Sisingamangaraja XII (SSM XII). Dua orang putranya yakni Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta empat orang panglimanya yang setia, ikut tewas pada waktu yang nyaris bersamaan.
Dalam bingkai kisah tragis itu, anak perempuan SSM XII bernama Lopian (umum disebut Putri Lopian) mengalami luka cukup parah terkena peluru senapan prajurit Belanda yang dipimpin kapten Christoffel. Saat itu Lopian masih berusia 17 tahun. Dia setia sampai final mengikuti ayahandanya saat SSM XII dikejar Belanda keluar masuk hutan belantara.
Meski dalam beberapa hal, kisah ajal SSM XII kadang ada selisih model, tetapi secara biasa ialah gambaran historis wacana adegan titik puncak yang amat dramatis dari seluruh mata rantai perjuangan SSM XII selama lebih kurang 30 tahun menentang Belanda. Momentum pertempuran sengit di sekeliling Pearaja, Dairi, ialah fakta sejarah dimana nyaris seluruh sanak keluarga SSM XII turut terlibat secara frontal menghadapi kepungan tentara Belanda yang penuh nafsu membunuh. Berdasarkan sejumlah rujukan seputar bencana ajal SSM XII, detik-detik terakhir pada media Juni 1907 itu, merupakan saat-saat sangat genting sarat ketegangan. Pada saat itu, SSM XII bareng isteri, bawah umur, para panglima dan sisa pasukannya, terlunta-lunta naik turun jurang, keluar masuk hutan, dalam kejaran prajurit Belanda yang jumlahnya besar dengan kelengkapan senjata lebih terbaru.
Sore yang kelabu tanggal 17 Juni itu, agaknya telah ditakdirkan selaku akhir perlawanan SSM XII. Dalam posisi terjepit oleh pasukan Christoffel, pasukan SSM XII dengan persenjataan kelewang, tombak, dan bambu runcing, sungguh-sungguh tak berdaya menghadapi hujan peluru yang dimuntahkan serdadu- serdadu Belanda. Patuan Nagari tewas tertembak di antara desing peluru yang tiada hentinya. Sejumlah sisa pasukan SSM XII juga jatuh terkapar saat menjajal melakukan perlawanan. Sementara itu Kapten Christoffel berseru, agar SSM XII mengalah dan biar piso gajah dompak yang terkenal keramat itu diberikan. Tetapi SSM XII dari tempatnya berlindung menyahut tegas: “Lebih baik mati dari pada menyerah kepada penjajah”.
Pada saat serentak, terdengar jeritan Lopian putri sang raja, yang rupanya terkena tembakan. Seketika SSM XII terkejut menyaksikan putrinya tersayang rubuh bersimbah darah di atas rerumputan. Dengan piso gajah dompakterhunus di tangan, SSM XII mendekati Lopian dengan langkah gontai, dan pribadi memangkunya. Amarahnya meluap. Hatinya luluh melihat putrinya sekarat diterjang peluru penjajah. Namun dikala itulah SSM XII tersentak, sadar, bahwa dia berpantang kena darah. Tubuhnya digambarkan lesu, dan kesaktiannya yang legendaries itu seakan pudar. Lalu SSM XII berbisik:” Saatnya sudah datang…” Tak berapa lama lalu, dia juga rubuh oleh tembakan yang dilepas Christoffel dalam jarak tak terlalu jauh. Melihat hal itu, para panglima dan pengikut SSM XII bagai tertegun. Sulit mempercayai baginda bisa dilukai peluru.
Akan halnya Lopian, keadaannya sekarat akibat peluru yang perihal ulu hati. Lalu, rentetan cerita berikutnya menyebut Lopian sempat ditawan Belanda. Tapi selama ditawan, Lopian menawarkan daya tahannya yang luar biasa menentang Belanda. Lopian dilukiskan tidak merintih atau mengeluh dengan luka yang dideritanya.
Adniel Lumbantobing seorang pemerhati cerita usaha Sisingamangaraja XII menulis sebuah buku “ Sisingamangaraja XII” pada tahun 1967. Buku itu cukup detil melukiskan usaha SSM XII, walaupun rangkaian kisahnya ditulis dengan sederhana. Menurut buku itu, Lopian yang sempat ditawan Belanda, kemudian dibunuh dan mayatnya dibuang ke sungai Pancinoran, di kaki gunung Batu Gaja, Dairi. Tidak diceritakan, siapa yang kemudian mengambil mayat Lopian.
Sementara Prof. Dr. W.B. Sijabat dalam buku telaah ilmiahnya “ Ahu Sisingamangaraja” melukiskan, Lopian sosok putri yang setia hingga tamat mendampingi ayahnya dalam kancah usaha yang meletihkan. Kendati sebelum kematiannya SSM XII telah memerintahkan seluruh keluarga mencari daerah dukungan yang kondusif, namun Lopian bersikeras ingin mendampingi ayahnya. Itu sebabnya, selama detik-detik perburuan Belanda kepada SSM XII, Lopian ikut bergerilya mendampingi, dan ikut melaksanakan perlawanan. Meskipun Lopian dalam dongeng perjuangan SSM XII mungkin ditempatkan pada posisi “figuran”, tapi sesungguhnya perannya cukup strategis dan berarti historik tersendiri dalam mata rantai usaha SSM XII secara setempat maupun regional. Kehadiran dan peran Lopian memang tidak diletakkan pada posisi sentral figur pada setiap penulisan sejarah perjuangan SSM XII. Peran ketokohan dan kejuangan lebih condong pada kedua putra SSM XII, adalah Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Mungkinkah sebab Lopian seorang anak wanita yang porsinya dinilai tak begitu besar dalam ruang lingkup usaha itu? Namun jika dicermati, posisi Lopian bahwasanya mencerminkan sebuah nilai penting, terutama dikaitkan pada momentum selesai kehidupan ayahnya. Paling tidak, momentum akhir itu merefleksikan interaksi bathin seorang ayah dengan seorang anak, atau sebaliknya. Ternyata di ketika paling krisis sekalipun, kepentingan (keamanan) diri sendiri kerap kali bisa menempati prioritas kedua, dikala kepentingan lain ( kesetiaan pada usaha), menjadi prioritas utama.
ketika beberapa waktu kemudian timbul suara yang merekomendasikan supaya Lopian dinobatkan menjadi “pendekar nasional” seperti juga ayahnya, banyak yang menyahuti usulan itu dengan respons nyata. Sebuah goresan pena di salah satu media terbitan Medan, menyatakan Lopian lebih kurang sama dengan Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Lopian dalam konteks perang SSM XII, bukan sekadar penonton atau suplemen penderita. Dia ikut berada di garis depan, ikut bergelut dengan kemelut, bergerilya di tanah sarat duri dan hutan belantara. Lopian tahu, posisinya tidak menguntungkan ketika peluru tajam berdesingan di kiri kanan dan di atas kepalanya. Lopian juga mungkin tahu, dirinya menjadi beban tersendiri bagi ayahandanya. Tapi Lopian sudah membuat satu keputusan penting: apapun yang terjadi, ingin tetap bareng ayahnya.
Kadar kejuangan Lopian mungkin belum mampu disetarakan dengan Cut Nyak Dhien di Aceh. Sebab, dalam perang Aceh, Cut Nyak Dhien berposisi sebagai figur sentral, pribadi memimpin di lapangan. Sedang Lopian boleh disebut, posisinya mungkin hanya “kebetulan” ikut bersama rombongan SSM XII di medan juang. Tapi paling tidak, dari sudut kadar kejuangan dan semangat anti kolonialisme, nilai-nilai yang terkandung pada jatidiri Cut Nyak Dhien dan Lopian, relatif sama. Mereka sama-sama berjuang, bergerilya, menderita di arena, bertekad sama, dan mati untuk tujuan yang sama.
Nilai kejuangan dan kepahlawanan SSM XII sudah dibakukan pemerintah Indonesia, dengan menabalkannya menjadi Pahlawan Nasional. Namanya pun ditabalkan menjadi nama jalan di kota-kota besar maupun kota kecil. Bahkan gambar SSM XII yang direka pelukis Agustin Sibarani sudah pernah menghiasi lembaran duit RI tukaran Rp 1.000 (seribu rupiah). Sementara itu masyarakat Batak juga menabalkan nama besar Sisingamangaraja XII dengan ragam apresiasi. Ada yang menabalkannya menjadi nama universitas, ada yang menabalkannya dalam bentuk kelembagaan seperti Lembaga Sisingamangaraja XII di Medan, Sumut, walaupun kurang terang apa keuntungannya , untuk apa, untuk siapa, dan telah bagaimana eksistensinya saat ini.
Penghargaan kepada nama Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra SSM XII juga telah ada, seperti pengerjaan nama jalan di Pematang Siantar, Sidikalang, Balige, Tarutung, dan kota lainnya di Tapanuli. Demikian halnya nama jalan Putri Lopian di Desa Aek Siansimun Tarutung. Itu memperlihatkan, bahwa nilai kejuangan Lopian juga diakui orang Batak. Kalau ada yang tidak mengakui, itu pasti alasannya adalah tidak tahu siapa Lopian dan kenapa beliau tewas. Kebanyakan orang mungkin hanya sekadar tahu, bahwa Lopian ialah putrid Sisingamangaraja XII. Tidak dalam konteks kejuangan yang lebih detil.
Beberapa waktu kemudian, ada yang mempertanyakan wacana mengapa cerita perjuangan Sisingamangaraja XII tidak diabadikan dalam sebuah film kolosal seperti halnya film yang dibuat wacana Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teuku Cik Ditiro, dan lain-lain? Bahkan kisah Lopian, tak kurang menariknya jika diuntai dalam sebuah novel yang kerangkanya yaitu kisah usaha SSM XII.
Nama Sisingamangaraja XII, sudah menjadi salah satu brand Tano Batak mirip halnya Dr. IL. Nommensen. Dua nama besar itu berkiprah dalam konteks berlainan tapi berskala relatif sama. Di Sumatera Utara ada Universitas Nommensen dan ada Universitas Sisingamangaraja. Sejauh mana orang-orang di balik penggunaan nama itu sudah membuahkan sesuatu yang “besar” untuk kepentingan Tano Batak, sebagai basis usaha kedua pemilik nama besar itu, masih perlu dikaji dan dicermati.
Kita tak mau hanya apresiasi yang sifatnya monumental. Kita ingin, supaya mereka yang sekarang sudah sukses “menimba” hasil dari nama-nama besar itu, membuahkan arti lebih luas bagi Tano Batak, minus kepentingan langsung semata. Diresmikannya museum nasional Sisingamangaraja di Bakara, memang telah merupakan satu langkah yang tepat. Itu artinya, Bakara selaku sentra kerajaan Sisingamangaraja akan kita arahkan sebagai salah satu situs kesejarahan usaha nasional. Namun lebih dari itu, masuk akal ditindak lanjut aspirasi keturunan Sisingamangaraja, bagaimana supaya semua aset historis raja itu (piso Gajah Dompak, stempel/cap, dan lain-lain) yang dikala ini berada di negeri Belanda, mampu dikembalikan ke daerah asalnya. Hal itu mampu terlaksana, tergantung sejauh mana pemerintah Indonesia merespons melalui banyak sekali lobi, termasuk lobi-lobi diplomatik.
(Sumber Kompasiana.com)
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
Putri lopian yaitu putri satu-satunya dari raja SSM XII. lahir di Pearaja Dairi, desa Sionomhudon. Ia ialah putri yang bakir dan pemberani dan sering bergaul dengan para prajurit sehingga mentalnya terbentuk.
Pada tanggal 1 Juni 1907 adalah insiden yang tidak terlalaikan bagi tano batak. Peristiwa itu sudah menewaskan raja SSM XII beserta pasukannya termasuk anak-anaknya salah satunya Putri lopian. Peran Putri lopian bukan selaku penontong atau pelengkap penderita ayahnya namun, dia juga ikut bergerilya dan berjuang melawan Belanda hingga akhirnya dia tertembak peluru Belanda ketika melindungi ayahnya. Peluru tersebut mengenai ulu hati putri dan hasilnya tewas di pangkuan sang ayah.
Baca Juga: Peta dan Sejarah Maroko