Prosedur Perubahan Uud 1945 Kendala, Peluang Dan Langkah-Langkah
Pada permulaan abad reformasi muncul pergulatan gagasan antara inspirasi sakralisasi dan wangsit reformis ihwal perlu tidaknya Perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Kalangan yang keberatan atau menolak adanya amandemen berpikir dan beragumen biarlah UUD 1945 tetap sebagaimana adanya, tidak perlu perubahan, dengan dasar pendapatuntuk menghargai para founding fathers yang telah merumuskannya. Argumen kelompok yang memandang perlu adanya amandemen yakni bahwa zaman telah berganti, sehingga perlu rumusan-rumusan baru mengenai dasar-dasar pengaturan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang saat itu belum dipikirkan dan terumuskan dengan terang oleh para founding fathers, argumen yang terakhir inilah yang mendasari adanya konsensus perihal pergantian Undang-Undang Dasar 1945.
Konsensus pergantian Undang-Undang Dasar 1945 berjalan lewat proses perdebatan panjang sampai karenanya Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia (MPR-RI) menghasilkan empat kali pergeseran semenjak 1999 sampai dengan 2002 dalam setiap sidang tahunannya. Seperti diketahui, konsensus pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 itu yakni, bahwa pergeseran yang dilakukan tidak akan menyentuh Pembukaan UUD 1945 sebagaimana rumusan permulaan. Juga perlu dicatat, dari sisi nama pun tetap mencantumkan tahun 1945sebagai bagian atau istilah dari nama UUD itu, sehingga rumusannya menjadi ‘UUD Negara Republik Indonesia 1945’.
Beberapa pergantian fundamental yang dapat mempengaruhiperubahan kehidupan bernegara kita ialah: Pertama, menyangkut hakekat kedaulatan rakyat. MPR secara sadar menghalangi wewenangnya dan merubah susunan kedudukan MPR yang tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi atau super body. Susunan MPR terdiri dari DPR dan DPD. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara pribadi dan era jabatan Presiden dibatasi selama dua kali periode.
Ketiga, menyangkut eksistensi, tugas, wewenang, dan tanggungjawab lembaga-forum tinggi negara lainnya. Tidak ada lagi anggota dewan perwakilan rakyat yang diangkat. Hak dan Wewenang dewan perwakilan rakyat menjadi makin besar, sehingga ada kesan ‘legislative heavy’. DPR makin berdaya. DPA dihapus, diganti dengan Dewan Penasehat Presiden. Dalam hal kekuasaan kehakiman, di samping MA yang beranggotakan hakim-hakim agung yang dicalonkan oleh Komisi Yudisial untuk disetujui dewan perwakilan rakyat dan ditetapkan Presiden, disepakati adanya Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang judicial review atas UU kepada UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus hasil pemilihan lazim.
Keempat, yang menyangkut Pemerintahan Daerah. Hal-hal yang berkaitan dengan otonomi kawasan dan tugas pembantuan merupakan pergeseran penting yang merefleksikan pertumbuhan pemikiran desentralisasi pemerintahan. Pemerintahan tempat provinsi, kabupaten, dan kota menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali persoalan pemerintahan yang oleh undang-undang diputuskan sebagai persoalan Pemerintah Pusat. Gubernur, Bupati, dan Walikota diseleksi rakyat pribadi sebagaimana penyeleksian Presiden dan Wakil Presiden.
Kelima, yang berhubungan dengan keuangan negara. Perubahan yang terjadi yaitu pendapatan dan belanja negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab. Keberadaan bank sentral yang independen dan hal-hal lain tentang keuangan negara dikontrol dan ditetapkan dengan undang-undang. Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mampu berdiri diatas kaki sendiri diadakan untuk menyelidiki pengelolaan keuangan negara, yang melaporkan hasil pemeriksaannya kepada dan untuk ditindaklanjuti oleh DPR dan DPRD/dan atau badan sesuai dengan kewenangannya yang diatur sesuai dengan undang-undang.
Keenam, yang berhubungan dengan hak asasi insan. Elaborasi pasal-pasal mengenai hak asasi manusia ini dapat dikatakan merupakan pergantian yang sangat acuh taacuh, antara lain: hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupan, hak santunan dari kekerasan dan diskriminasi, hak atas pemenuhan kebutuhan dasar, hak pengakuan, jaminan, pemberian dan kepastian aturan yang adil, hak untuk melakukan pekerjaan dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan pantas, hak memperoleh peluang yang sama dalam pemerintahan, dan hak atas status kewarganegaraan. Begitu juga keleluasaan untuk memeluk agama dan beribadah berdasarkan agamanya, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, hak untuk kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat atau asumsi dengan ekspresi maupun goresan pena, hak untuk berkomunikasi dan mendapatkan berita, hak untuk menemukan layanan kesehatan, hak atas jaminan social, serta hak atas milik pribadi dan hak-hak yang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Ketujuh, yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan negara. Perubahan penting yang terjadi yakni perbedaan fungsi dan tugas antara TNI dengan Polri. Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang menjaga keselamatan dan ketertiban penduduk yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan aturan.
Kedelapan, yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan.pergeseran yang menonjol yakni perlunya wajib berguru, yaitu setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Disamping itu, penyelenggaraan tata cara pendidikan nasional bermaksud untuk mengembangkan keimanan dan ketaqwaan dan membangun budpekerti mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyebutan secara eksplisit bahwa negara memprioritaskan budget pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen belanja negara untuk menyanggupi keperluan penyelenggaraan pendidikan nasional, ialah amanah yang harus diprnuhi oleh para pengambil keputusan. Di samping itu, negara mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat untuk memelihara dan mengmbangkan nilai-nilai budaya, tergolong bahsa tempat dan banyak sekali kekayaan budaya nasional.
Kesembilan, yang berhubungan dengan perekenomian nasional dan kemakmuran. Terdapat rumusan perihal pentingnya demokrasi ekonomi selaku dasar dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, yang menekankan pada prinsip-prinsip: persamaan, efisiensi berkeadilan, berkesinambungan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta sepadan antara kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Demikian antara lain pergeseran-pergeseran penting Undang-Undang Dasar 1945 yang telah dilakukan oleh MPR. Tugas berikutnya perlu dikaji kembali apakah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud telah cukup atau masih diharapkan pergantian selanjutnya guna penyempurnaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa, bernegera dan bermasyarakat. Sebab akhir-simpulan ini muncul kembali perihal untuk melakukan pergeseran UUD 1945 alasannya adalah dianggap ada beberapa hal penting yang perlu disempurnakan baik perihal kekuasaan, wewenang, fungsi dan kedudukan sebuah forum dalam metode ketatanegaraan Indonesia.
Isu untuk perubahan ini bukan cuma dilontarkan oleh pakar-pakar hukum tata Negara, akan namun juga oleh kalangan partai politik dan bahkan dimunculkan secara garang oleh lembaga negara. Hal inilah yang perlu dikaji dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perdebatan panjang dan melelahkan serta untuk mencari penyelesaian secara ilmiah tentang perlu tidaknya dijalankan kembali perubahan kepada Undang-Undang Dasar 1945, bagaimana prosedurnya, seberapa jauh potensi untuk melaksanakan pergeseran tersebut dan hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan perubahan kepada UUD 1945 tersebut.
PROSEDUR PERUBAHAN UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
Pemikiran perihal akan terjadinya perubahan kepada Undang-Undang Dasar 1945 dikemudian hari ini bahwasanya sudah diantisipasi oleh the founding father dengan merumuskan pasal 37 selaku fasilitas untuk melaksanakan pergantian terhadap konstitusi tersebut. Para founding father juga mengisyaratkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 yang dibentuk waktu itu ialah konstitusi yang bersifat sementara, oleh risikonya kelak di kemudian hari dalam suasana negara yang sudah stabil dan damai dilakukan penyempurnaan guna mengakomodir berbagai fenomena gres mengenai prinsip-prinsip negara demokrasi. Demikian pula dalam proses perjalanan sejarah negara modern, adanya pergantian dan pembaruan konstitusi ialah merupakan sebuah keniscayaan yang konstruktif dan inhern dalam rangka membangun perkembangan suatu negara.
Adapun makna suatu konstitusi sebagai hukum dasar suatu negara (Basic Law) juga mesti mencerminkan adanya situasi kebathinan yang dijadikan landasan filosofis, sosiologis, historis maupun pokitis. Suatu yang pantas diketahui yaitu juga menyangkut para pembuat naskah UUD, dimana para pembuatnya harus berisikan orang-orang yang tercerahkan fikirannya. Memiliki abjad yang mulia (the noblest characters) sehingga dibutuhkan risikonya akan dapat menenteng kepada kemaslahatan bagi bangsa dan negara.
Untuk kepentingan mekanisme pergeseran UUD diperlukan dua jenis bahan. Pertama adalah materi-bahan idiil adalah impian, kebutuhan, harapan bangsa untuk dapat diwujudkan pada kala depan. Kedua yakni materi-bahan materiil, ialah pengalaman sejarah sebagai bangsa baik yang pahit maupun yang anggun serta faktor empiris lainnya yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Termasuk di dalamnya berbentukpengalaman sejarah ketika bangsa Indonesia menerapkan Undang-Undang Dasar 1945. Penerapan itu sedemikian rupa ragamnya sebagai manifestasi menafsirkan pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang dikaitkan tetapi tetap mengaku berlandaskan UUD yang sama ialah UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 akan menjamah tiga faktor pertimbagnan ialah faktor filosofis, sosiologis dan norma hukum faktual. Namun jikalau dicermati sampai dengan pergantian keempat, aspek filosofisnya yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak berubah. Kearifan para wakil rakyat tercermin dari sikap menjaga pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebab akan membuka peluang pertentangan yang luas, terlebih bila dihubungkan dengan perang ideologi yang kini berkecamuk di dunia. Tentu pertimbangan yang menyatakan bahwa merubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sama dengan merubah negara menjadi salah satu argumen yang menginginkan pembukaan itu tetap mirip semula (dipertahankan)
Perubahan yang dipengaruhi oleh aspek sosiologis tercermin dari dorongan penduduk untuk lebih membatasi kedudukan pemerintah yang sungguh kuat, agar tidak terjadi kooptasi kekuasaan lain di luar pemerintah (administrator). Fungsi judikatif harus mampu berdiri diatas kaki sendiri (bebas) dalam mengambil sebuah keputusan dari aneka macam dampak dan tekanan yang datang dari luar baik eksekutif, legislative maupun masyarakat, agar pengadilan benar-benar dapat menjadi benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan.
Perubahan UUD1945 merupakan pergeseran yang “gigantic”, sehingga dalam UUD mesti menyanggupi syarat selaku Undang-Undang Dasar yang sistemik, tuntas, tidak mengandung kontradiksi, serta memakai fundamental concept yang terperinci. Sistemik, artinya Undang-Undang Dasar dipandang sebagai kesatuan yang terdiri dari banyak sekali komponen yang tertata baik yang satu dengan yang lain saling bekerjasama dan saling menopang. Tuntas dan lengkap, artinya UUD tersebut telah dapat menyerap banyak sekali aspirasi penduduk , maupun unsur bangsa yang lain sehingga semua kepentingan dan problem bangsa merasa terwadahi dan mampu diselesaikan oleh UUD tersebut. Tidak mengandung pertentangan, artinya baik yang tersirat maupun yang tersurat dalam Undang-Undang Dasar tersebut tidak mengandung pertentangan atau ambiguitas yang akan menimbulkan multi tafsir sehingga akan menghemat kepastian hukumnya. Adapun penggunaan fundamental concept yang jelas akan mempermudah dan memastikan isi, luas dan tempatnya rancangan tersebut dalam hukum ketatanegaraan.
Untuk mengganti Undang-Undang Dasar 1945 seperti dikelola dalam Pasal 37 ada empat faktor yang mesti diperhatikan, ialah:
1. Prosedur yang harus dilalui;
2. Mekanisme yang harus dibarengi;
3. Sistem pergantian yang harus dianut; dan
4. Substansi yang (akan) diubah.
Sejalan dengan itu mekanisme yang harus ditempuh dalam pergantian UUD 1945 mesti dilalui beberapa tahapa antara lain:
a. Partisipasi publik
Dibukanya partisipasi luas masyarakat terhadap proses amandemen UUD 1945 pertanda proses pergantian konstitusi yang demokratis, alasannya adalah suara dan pandangan penduduk telah didengar dalam proses pergeseran. Partisipasi public secara luas sangat penting dalam pengerjaan ataupun pergeseran konstitusi, sehingga produk aturan dasar tersebut dapat dinilai sebagai mewakili aspirasi penduduk luas. Partisipasi penduduk secara luas dalam menawarkan masukan dalam proses pembuatan dan perubahan konstitusi merupakan satu cirri penting dalam negara demokrasi, sekalipun demikian, dalam prakteknya hal itu terpulang kembali kepada kecerdikan para pihak yang berwenang mengganti konstitusi
Partisipasi publik dalam prosedur pergeseran konstitusi sudah menjadi pengalaman berharga di sejumlah negara maju maupun negara yang berada dalam transisi menuju demokrasi. Di Inggris, dan negara-negara bekas jajahannya, mewajibkan pegawai senior penyusun konsep undang-undang untuk mengkonsultasikan naskah undang-undang dengan “pihak-pihak yang berkepentingan. Partisipasi public dalam proses penyusunan rancangan undang-undangtelah menjadi budaya politik baru di Afrika Selatan pasca-apartheid. Di Indonesia, partisipasi public dalam proses pembuatan undang-undang juga dilaksanakan oleh pihak Dewan Perwakilan Rakyat, yang lazimnya melibatkan organisasi profesi ataupun para jago dalam bidang terkait dengan undang-undang. Perkembangan yang menarik justru terjadi ketika proses amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam kurun Pemerintahan Presiden Soeharto dianggap sebagai “tabu politik”.
Pentingnya partisipasi publik dalam proses perubahan konstitusi, karena pada hakekatnya konstitusi merupakan kesepakatan social antara masyarakat dengan negara, dimana pada satu sisi masyarakat merelakan diri untuk melepas sebagian dari hak-haknya dan tunduk untuk dikontrol oleh negara. Sementara disisi lainnya, negara juga diberi batas-batas-batasan tertentu dengan adanya pengukuhan dan jaminan kepada HAM dengan mengedepankan prinsip pembatasan kekuasaan dan checks and balance. Dengan demikian sudah seharusnya masyarakat atau warga negara berpartisipasi penuh dalam proses pergeseran konstitusi. Malah kurang bijak bila proses pergeseran UUD 1945 yang menyangkut nasib seluruh bangsa, hanya menjadi monopoli 700 anggota MPR semata. Karena itu biar rakyat secara keseluruhan menjadi bab aktif dalam proses yang ada dan rakyat selaku pemilik kedaulatan berhak menerima isu semaksimal mungkin perihal perubahan tersebut.
b. Pengkajian secara konprehensif
Prosedur berikutnya pengkajian secara komprehensif kepada UUD 1945 wacana bagian mana yang mesti dirobah pasal mana yang mesti ditambah kekuasaan mana yang harus direvisi dan lain sebagainya. Pengkajian terhadap naskah pergantian disandingkan dengan hasil masukan yang diperoleh dari partisipasi publik. Dalam pengkajian ini ada beberapa problem pokok yang perlu mendapat perhatian secara substansial yakni:
1. Bagaimana perwujudan nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mampu direfleksikan dalam pergantian UUD 1945 tersebut mirip nilai keadilan dan nilai kerakyatan.
2. Bagaimana perwujudan rancangan negara hukum dalam hasil pergeseran UUD tersebut utamanya tentang pembatasan kekuasaan dalam perjuangan menangkal praktek penyimpangan kekuasaan dan tunjangan hak asasi insan.
3. Bagaimana pengembangan konsep demokrasi lewat struktur ketatanegaraan dan metode pemerintahan serta pembentukan produk hukum.
4. Bagaimana implementasi teori pemisahan (pembagian) kekuasaan dalam rangka pelaksanaan sistem pengawasan dan perimbangan kekuasaan (cheks and balances).
Pengkajian tentang pergantian Undang-Undang Dasar dapat dilaksanakan dengan memakai dua pendekatan, ialah: pertama pendekatan filosofis teoritis dipakai alasannya adalah kajian terahadap UUD yakni bagian dan kajian ilmiah ialah kajian ilmu aturan tata negara. Dalam tatanan ilmu untuk mendapatakan sebuah kebenaran, mesti lewat sebuah pengkajian yang mendalam dengan menaggunakan teori, asas-asas, metoda, sistimatika dan prosedur yang sesuai dengan hukum yang sudah ditetapkan. Pendekatan filosofis teoritis yang terkait dengan pergeseran Undang-Undang Dasar adalah pendekatan yuridis dan komperatif. Kedua pendekatan empiris juga sangat memilih dalam melaksanakan pengkajian kepada pergantian UUD, yakni dengan mengamati:
a. Praktek ketatanegaraan yang memperlihatkan bantuan faktual dalam kehidupan bernegara;
b. Perkembangan politik semenjak Indonesia merdeka sampai sekarang ;
c. Masalah ketatanegaraan yang timbul dalam penyelenggaraan negara ;
d. Tuntunan, kebutuhan, cita-cita dan perkembangan kehidupan penduduk ;
Dengan menggunakan pendekatan filosofis teoritis akan dipahami dan direfleksikan nilai-nilai kedaulatan dan nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sedang dengan menggunakan pendekatan empiris diharapkan perubahan UUD akan menjawab tuntunan dan kebutuhan masyarakat, serta memperkuat legitimasi eksistensi Undang-Undang Dasar tersebut. Hasil pengkajian disusun dalam satu naskah perguruan tinggi sebagai bahan masukan untuk MPR dalam melakukan pergantian. Hasil pengkajian disusun dalam suatu naskah akademis sebagai bahan masukan untuk MPR dalam melakukan pergantian Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam prakteknya di Indonesia forum yang berfungsi melaksanakan pengkajian secara komprehensif terhadap UUD 1945, yakni komisi konstitusi yang dibuat menurut ketetapan MPR. Komisi ini berkewajiban melaksanakan pengkajian secara teliti kepada UUD 1945 beserta risalah rapat yang ada, sehigga pemahaman terhadap prinsip dasar yang telah disepakati mampu menjadi pegangan dan landasan dalam penyempurnaan terahadap Undang-Undang Dasar 1945. Celakanya peran komisi ini tidak difungsikan secara efektif dan menjadi korban politisasi kekuatan-kekuatan politik pada level elite kekuasaan.
PELUANG DAN LANGKAH-LANGKAH PERUBAHAN TERHADAP UUD 1945
Dilihat dari perkembangan ketatanegaraan Indonesia cukup umur ini, potensi untuk melaksanakan pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 sangat besar, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ternyata perubahan yang dilaksanakan terhadap UUD 1945 masih belum sepenuhnya dapat menjinjing bangsa Indonesia menata sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan menuju masa depan sebagaimana divisikan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini didukung lagi dengan adanya keinginan sebagahaian masyarakat.
Peluang untuk melakukan pergantian tersebut terbuka dengan tujuan untuk :
1. Menyempurnakan aturan dasar perihal tatanan tata cara Pemerintahan negara.
2. Menyempurnakan aturan dasar tentang jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat sesuai pertumbuhan paham demokrasi.
3. Menyempurnakan jaminan dan sumbangan HAM sesuai dengan perkembangan dan peradaban selaku kriteria dalam suatu negara aturan.
4. Adanya pembagian kekuasaan yang lebih tegas dengan tata cara cheks and balances yang sepadan dan transparan, serta mengakomodasi pembentukan tembaga semacam Ombudsman, komisi anti korupsi, komisi tentang santunan HAM.
5. Adanya aturan dasar secara constitutional mengenai keharusan negara dalam merealisasikan kemakmuran social kehidupan bangsa.
6. Sebagai pokok-pokok aturan dasar dalam penyelenggaraan negara, pengaturan wilayah negara dan pengaturan proses pemilihan umum.
Alasan lain terbukanya kesempatan untuk melaksanakan pergantian UUD 1945 yaitu alasannya adanya forum negara yang secara fungsional kurang diberi kekuasaan dan kewenangan seperti DPD. Keberadaan DPD sebenarnya merupakan uupaya untuk sungguh-sungguh mewujudkan kedaulatan kawasan yang berbasis pada tempat-kawasan otonom. Eksistensi DPD, pada tingkat tertentu, sekaligus bias mempunyai arti bahwa ada upaya utnuk mengembalikan kedaulatan politik dalam artian yang bantu-membantu yang selama ini masih lebih menjadi hak milik para politisi. Selain itu, alasannya anggota DPD dipilih eksklusif secara perseorangan oleh rakyat dari setiap provinsi, maka kehadirannya benar-benar mewakili kepentingan masyarakat untuk mensugesti proses-proses pengambilan kebijakan pada tingkat nasional.
Dengan demikian, jikalau selama ini tempat, kurang berperan dalam memilih kebijakan nasional, dengan adanya lembaga DPD dibutuhkan akan secara eksklusif berperan selaku kekuatan kawasan yang mempengaruhi kebijakan nasional, tergolong dalam memilih kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan dan atau pengelolaan politik dan pemerintahan di kawasan otonom. Tetapi ironisnya lagi, eksistensi DPD masih berada pada posisi marginal.
Salah satu bab substansial yang perlu memperoleh perhatian serius dirubah ialah pada pasal 22D, ayat (1) yang berbunyi : “Dewan Perwakilan Daerah mampu mengajukan kepada badan legislatif rancangan undang-undang yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan sentra dan kawasan, pembentukan dan berhubungan dengan otonomi daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang lain, serta yang berhubungan dengan pendapatkeuangan sentra dan daerah. Juga pasal 22D ayat (2) yang berbunyi : “DPD ikut membicarakan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi kawasan; korelasi sentra dan kawasan; pembentukan dan pemekaran serta penggabungan tempat, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berhubungan dengan usulankeuangan pusat dan tempat serta memperlihatkan pertimbangan terhadap DPR atas rancangan UU APBN dan RUU yang berhubungan dengan pajak, pendidikan dan agama”. Pada pasal 22 D ayat (3)”DPD mampu melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU perihal otonomi daerah, korelasi sentra dan kawasan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi yang lain, pelaksanaan APBN, pajak pendidikan agama untuk ditindaklanjuti”.
Semua kekurangan-kelemahan tersebut ialah celah-celah yang membuka peluang untuk melakukan pergantian kepada Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah antara lain :
1. Melakukan sosialisasi akan pentingnya menata kembali kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat lewat pergeseran Undang-Undang Dasar 1945 ;
2. Melakukan kajian secara komprehensif kepada pasal-pasal yang sangat krusial untuk dilaksanakan pergeseran ;
3. Melakukan pressure politik utamanya terhadap DPR dan DPD untuk membuka diri menerima pergantian kepada UUD 1945
Di samping itu dibutuhkan adanya tindakan dengan menolong forum kajian konstitusi yang bersifat independen dan mampu berdiri diatas kaki sendiri, untuk menampung aspirasi penduduk khususnya dari kalangan masyarakat kampus dan forum swadaya penduduk . Hal ini dianggap sangat efektif alasannya tidak terkotori dengan kekuatan kekuasaan dan praktek-praktek politik simpel.