Demokratisasi Politik Dan Reformasi Manajemen Publik

Demokratisasi Politik Dan Reformasi Administrasi Publik 
Sewindu Gerakan Reformasi
Gerakan reformasi di Indonesia, yang dimotori oleh para mahasiswa, pada lima tahun pertama (1998-2003) ditandai oleh adanya paradoks antara adanya tuntutan akan kehidupan yang lebih demokratis di satu segi dan hadirnya anarkisme sosial di segi lainnya. Tuntutan terhadap demokrasi, timbul selaku balasan lahirnya kesadaran ihwal banyaknya hak-hak warga negara yang selama bertahun-tahun diabaikan, dilanggar, bahkan diinjak oleh rezim yang berkuasa. Kerinduan akan demokrasi juga lahir dari adanya penolakan terhadap korelasi-relasi kekuasaan yang besar kepala dan represif, perihal hubungan-hubungan ekonomi yang timpang dan jauh dari rasa adil, serta ihwal relasi-korelasi sosial dangkal dan sarat ritual kolektif tetapi sangat merendahkan martabat manusia selaku eksklusif. Sedangkan anarkisme sosial terjadi selaku akibat hancurnya kepastian normatif dan kepantasan bertingkah di dalam masyarakat, berbarengan dengan runtuhnya rezim dominan yang berkuasa. Institusi-institusi sosial yang ada dipertanyakan kembali eksistensi dan hubungannya, sementara institusi-institusi gres belum muncul untuk mewadahi kearifan-kearifan dan nilai-nilai gres yang lahir bareng dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Dalam sosiologi suasana seperti ini disebut selaku situasi anomie. Pertanyaan kritis yang mengusik selama itu adalah, apakah gerakan reformasi akan berakhir dengan mengkristalnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa atau rampung dengan anarkisme berkepanjangan dan berakhir dengan kegagalan?
Pada tahap kedua (2003-sekarang), euforia reformasi di jalan raya terlihat mulai mereda. Keberhasilan Indonesia mengadakan penyeleksian presiden secara eksklusif, diakui banyak pihak tergolong donor internasional, selaku sebuah kesuksesan politik anak-anak negeri ini dan menjadi indikasi bahwa reformasi berada di jalur yang diharapkan. Yang mempesona untuk dicermati yaitu, bahwa sesudah pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung dengan prosedur yang relatif demokratis, dinamika politik berpindah dari jalan raya, ke dalam ruang-ruang sidang komisi dan paripurna di dalam gedung Senayan dan Istana Merdeka. Kata reformasi, tidak lagi merupakan intimidasi, bahkan mereka yang dulu merupakan bagian dari kekuatan yang pendukung status quo dapat mengidentifikasi diri sebagai tokoh reformasi tanpa perlu di lakukan ”observasi khusus”. Di satu sisi, secara positif hal ini mampu dilihat sebagai sebuah konsolidasi yang dapat memberi tenaga pada setiap upaya pembaharuan menuju kristalisasi demokrasi. Di sisi lain, secara negatif hal tersebut dapat dilihat selaku sebuah kompromi yang dapat mengakibatkan reformasi sebagai gerakan setengah hati yang tak memiliki daya dobrak yang diperlukan untuk melaksanakan pergeseran.
Terlepas dari apa yang gres dikemukakan, saat ini setiap orang mampu menjadi saksi tentang apa yang sedang terjadi di negeri ini. Dalam bidang hukum, UUD 1945 sudah mengalami revisi, puluhan undang-undang berhasil diberlakukan dari yang mengatur soal otonomi sampai problem pornografi dan pornoaksi. Bidang ekonomi, terutama sektor riil, bergerak amat perlahan jika tidak mau bicara soal kebangkrutan alasannya adalah rendahnya daya beli penduduk dan kian berlipatnya jumlah pengangguran. Konsep NKRI dihadapkan pada aneka macam tantangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam. Lepasnya provinsi ke-27 Timor Timur melalui referendum, begitu juga Gerakan Aceh Merdeka yang mampu memaksa Jakarta untuk duduk bareng di Helsinki, serta duduk perkara Papua yang tidak mendapatkan rancangan otonomi ala Jakarta. Terakhir negeri ini dihadapkan pada banyak peristiwa, dari mulai Alor, Nabire, Aceh, Nias, Jogya dan terakhir di pantai selatan Jawa, utamanya Pangandaran. Semua itu seolah mau mengatakan, bahwa keberhasilan mewujudkan proses demokrasi dalam memilih presiden barulah permulaan. Proses demokratisasi tidak hidup untuk dirinya sendiri, namun masih harus diuji lewat kemampuannya untuk menjamin dan memberi pemberian kepada hak-hak konstitusional setiap warga negara. Pertanyaannya, langkah-langkah apa yang harus dijalankan supaya proses demokratisasi yang selama ini dijalankan bermuara pada apa yang dicita-citakan?
Belajar dari Pengalaman Bangsa Lain
Pengalaman bangsa-bangsa lain memperlihatkan, bahwa suatu bangsa mampu saja mulai dengan mencanangkan proses demokratisasi sesudah tumbangnya rejim diktatorial, tetapi tidak semua yang hingga kepada demokrasi yang dicita-citakan. Tidak ada jaminan bahwa rejim baru yang berkuasa dapat bertahan, stabil, dan bisa mengantarkan bangsanya mencapai penduduk demokratis mirip yang dicita-citakan. Tumbangnya pemerintah Nigeria pada tahun 1983 dan pemerintah Sudan pada tahun 1989, contohnya, merupakan pola dan pelajaran berguna, utamanya bagi bangsa-bangsa di negara yang sedang meningkat seperti Indonesia, tentang bagaimana sulitnya menegakkan demokrasi sehabis turunnya sebuah rezim otoriter. Di Angola, sebagai bandingan lain, fase transisi menuju demokrasi selsai dengan pecahnya perang kerabat dan berlanjutnya rezim yang absolut yang berkuasa. Dengan kata lain, demokratisasi yaitu proses bertingkat-tingkat di mana terdapat kemungkinan bagi setiap bangsa untuk gagal di setiap titik sepanjang garis kontinum dari otoritarianisme hingga ke tahap terkristalnya demokrasi yang baru (Casper dan Taylor, 1996). 
Pengalaman Indonesia sendiri, baik di bawah pemerintahan Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurachman Wahid maupun Megawati, dan sekarang Soesilo Bambang Yudoyono, mengukuhkan pernyataan Casper dan Taylor, betapa sukar dan berlikunya jalan menuju suatu sistem politik yang tidak hanya demokratis. Namun betapapun kecilnya peluang keberhasilan itu, senantiasa ada jalan untuk memperjuangkannya. Jika demikian halnya, pertanyaan yang muncul lalu yakni, mengapa ada negara yang berhasil mencangkokkan demokrasi setelah runtuhnya rezim absolut, tetapi ada pula negara yang lain yang gagal? Faktor-aspek apa yang menentukan proses demokratisasi di suatu negara berhasil sampai ke tahap mengkristalnya demokrasi baru, sementara yang lain berjalan tersendat, mandeg di tengah jalan atau bahkan berserakan? Setelah membandingkan dan mengkaji beberapa kasus, Casper dan Taylor beropini, bahwa tahap pencangkokan demokrasi, baru ialah separuh dari proses demokratisasi. Orang tidak mampu berpendapat, bahwa demokrasi akan berkembang dan berkembang dengan sendirinya. Menurut mereka ada dua langkah penting yang harus dikerjakan agar suatu bangsa mampu sampai pada kehidupan demokratis yang dicita-citakan. Pertama, langkah jangka pendek yang berkaitan dengan pencarian jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan yang masih mendukung rezim lama. Kedua, ialah langkah jangka panjang yang difokuskan pada proses konsolidasi demokrasi yang baru. Pertanyaan strategis yang ingin ditelusuri dan dikaji dalam bab ini adalah, apakah manajemen publik mampu berperan selaku katalisator proses demokratisasi, ataukan administrasi publik ialah bab dari dilema yang juga harus direformasi? 
Reformasi Administrasi Publik 
Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1967), adalah sebuah disiplin ilmu yang khususnya mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Woodrow Wilson (1887) yang dianggap selaku orang yang membidani lahirnya ilmu manajemen publik modern di Amerika Serikat. Ia mengemukakan bahwa disiplin manajemen publik ialah produk kemajuan ilmu politik, tetapi Wilson menganjurkan adanya pemisahan disiplin manajemen dari ilmu politik. Gagasan ini lalu diketahui sebagai dikotomi politik-manajemen. Ilmu manajemen publik, berdasarkan Wilson, berhubungan dengan dua hal utama, yaitu:
1. What government can properly and successfully do?
2. How it can do these proper things with the utmost possible efficiency and at the least possible cost either of money or of energy?
Bertolak dari pemikiran dasar tersebut, mampu diyakini bahwa manajemen publik dapat berperan aktual dalam mengawal proses demokratisasi hingga pada tujuan yang dicita-citakan, karena pada dasarnya manajemen publik bermasalah dengan duduk perkara bagaimana memilih to do the right things dan to do the things right. Dengan kata yang berbeda, administrasi publik bukan saja berususan dengan cara-cara yang efisien untuk melaksanakan proses demokratisasi, melainkan juga mempunyai kemampuan dalam menentukan tujuan proses demokratisasi itu sendiri, terutama dalam bentuk penyelenggaraan pelayanan publik secara efektif selaku wujud dari penjaminan hak-hak konstitusional seluruh warga negara.
Persoalannya kini yakni, mungkinkah para administror publik dapat menjadi tulang punggung bagi proses demokratisasi? Jawaban empirik terhadap pertanyaan tersebut mempunyai dua versi. Dalam satu suasana, peran para direktur publik dalam menuntaskan berbagai duduk perkara yang berkaitan dengan demokratisasi cukup signifikan. Di Taiwan, misalnya, seperti juga di beberapa negara sedang berkembang lain, pemerintah bermasalah dengan duduk perkara dilematis bagaimana merekonsiliasi kontradiksi antara budaya tradisional, kultur demokrasi gres dan industrialisasi sebagai perjuangan negara membangun ekonomi. Untuk menghadapi masalah tersebut, para jago manajemen publik menolong para pengambil keputusan di Taiwan untuk menuntaskan reformasi administratif yang kompleks dengan menggunakan pendekatan perencanaan strategis (Sun dan Gargan, 1996). 
Mengenai tugas administrasi publik tersebut, O’Toole (1997) menciptakan kesimpulan bahwa administrasi publik yang meningkat dikala ini sungguh mendukung proses demokratisasi, alasannya adalah sudah tidak terlalu hirarkis dan parokial, namun lebih seperti suatu jaringan (network). Kecenderungan ini memiliki implikasi yang sungguh penting dan positif kepada pertumbuhan demokrasi, tergolong tanggungjawab yang berubah terhadap kepentingan publik; terhadap pemenuhan prefrensi publik, dan terhadap perluasan liberalisasi politik, kewargaan, dan tingkat iktikad publik. Administrasi publik yang berupa jaringan dapat menangani hambatan menuju pengelolaan yang demokratik, dan dapat membuka kemungkinan untuk memperkuat pemerintahan yang bergantung terhadap nilai-nilai dan langkah-langkah-tindakan administrasi publik. Hal tersebut dikemukakan O’Toole dalam rangka mengingat Dwight Waldo yang juga pernah mengemukakan, bahwa jika administrasi yakni inti dari pemerintahan, maka teori demokrasi mesti pula mencakup administrasi.
Dalam situasi lain, direktur publik tidak dapat diperlukan menjadi katalisator proses demokratisasi. Di negara-negara Afrika sub-sahara, seperti juga di daerah lain, saat rezim militer menguasai pemerintahan, mereka memerintah dengan komando; melarang partai-partai politik, membekukan konstitusi, dan melumpuhkan lembaga-lembaga legislatif. Sebagai hasilnya, tidak ada jalan masuk institusi politik bagi warganegara pada proses pengambilan keputusan. Penguasa militer biasanya mendapatkan input bagi proses perumusan dan pengambilan keputusan dengan cara mengangkat elit politik sipil. Hal tersebut dijalankan sebagai respons kepada tuntutan transisi terhadap pihak sipil dan sebagai teknik politik untuk melaksanakan proses sipilisasi rezim militer. Pengalaman empirik menawarkan, bahwa keterlibatan sipil dalam rejim militer ialah prediktor bahwa rezim tersebut akan mengikuti hukum-aturan militer dan bukan sebaliknya. Dalam konteks inilah administrasi publik tidak aman bagi proses kristalisasi demokrasi, namun malah sebaliknya, dapat menjadi katalisator bagi pelanggengan pemerintahan lama yang sewenang-wenang. Dalam banyak hal, reformasi politik yang bergulir sampai saat ini, sekali lagi terlihat berada dalam jalur yang benar. Yang dibutuhkan ialah ketekunan untuk bertahan dan konsistensi untuk melaksanakan langkah-langkah sistematik yang diperlukan. Proses demokratisasi di Indonesia tidak hanya diuji melalui penyeleksian presiden secara pribadi, tetapi utamanya ditantang untuk bisa keluar dari berbagai problem supaya mampu memenangkan pertarungan dengan bangsa-bangsa lain.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas, manajemen publik dapat menempati kawasan di jantung gerakan demokratisasi politik, asal menyanggupi paling tidak tiga persyaratan. Pertama, mampu melaksanakan penyusunan rencana strategis yang menyeluruh seperti yang dikerjakan di Taiwan mirip yang dikemukakan Sun dan Gargan. Kedua, memiliki struktur organisasi yang tidak terlampau hirarkis dan parokial mirip yang dikemukakan O’Toole. Ketiga, membebaskan diri dari pendekatan dan kultur militeristik dalam melaksanakan pelayanan publik. Mengenai perencanaan strategis, Indonesia memiliki pengalaman dan institusi penyusunan rencana seperti Bappenas di tingkat pusat, dan Bappeda di tingkat daerah. Yang diperlukan adalah revitalisasi dan reposisi fungsi-fungsi institusional yang disesuaikan dengan konteks demokrasi yang diharapkan. Mekanisme penyusunan rencana bottom-up dapat terus dilakukan bukan sekedar basa-kedaluwarsa atau mencari legitimasi. Untuk dua syarat yang terakhir, struktur dan kultur birokrasi, masih membutuhkan ketabahan dan ketekunan untuk melaksanakan perubahan secara inkremental untuk meminimalkan (kalau tidak dapat menghindari) biaya sosial, politik, dan ekonomi yang tinggi. Dalam kaitan dengan ini, pembicaraan perihal gosip reformasi administrasi publik tetap mempunyai relevansi. Pertanyaan selanjutnya adalah reformasi ke arah mana?
Uraian di atas paling tidak merupakan suatu arahan ke arah mana reformasi administrasi publik mesti menuju. Salah satu gerakan reformasi administrasi publik yang juga sempat populer di permulaan 90-an timbul dalam kemasan ‘reinventing government’ yang berakar pada tradisi dan perspektif New Public Management yang ialah kristalisasi dari praktek manajemen publik di Amerika Serikat. Para penunjang gerakan ini berpendapat, bahwa institusi-institusi administratif yang diresmikan dalam kerangka birokrasi dengan versi komando dan pengawasan telah berubah secara signifikan selama era ke 20, dan harus terus diubah. Birokrasi jenis ini tidak lagi efektif, efisien dan sudah ketinggalan zaman dalam tatanan ekonomi-politik dunia yang semakin mengglobal. Oleh alasannya itu birokrasi di Amerika Serikat harus melakukan reformasi institusi manajemen publik agar lebih mempunyai aksara kewirausahaan. Apakah reformasi administrasi publik mirip ini layak menjadi model bagi reformasi manajemen publik di tanah air? 
Tampaknya perlu disimak lebih seksama hasil-hasil observasi di balik hingar-bingarnya desain reinventing government. Wolf (1997), dengan memakai meta-analisis kepada 170 studi perkara dari 104 agen federal, menyimpulkan bahwa jalan menuju efektivitas birokrasi dari biro-distributor pemerintah federal tidaklah mengalami pergantian; tiada berkesudahan dan lebih bersifat politis ketimbang cerita reinventing government seperti yang lazimnya dipercaya orang. Kritik kepada pendekatan kewirausahaan administrasi publik juga ditunjukkan oleh Cope (1997) yang menyorotinya dari sudut responsivitas politik. Ia berpendapat, bahwa banyak rancangan dan teknik yang berafiliasi dengan reformasi birokrasi kini ini (baca: reinventing government) penuhdengan berbagai implikasi negatif terhadap responsivitas politik. Ada empat kesimpulan yang dihasilkan penelitiannya. Pertama, review kepada unjuk kerja pegawai memang bisa memperkuat birokrasi dan para pejabat terpilih, tetapi ternyata cenderung memperlemah responsivitas politik para direktur publik tersebut. Kedua, dengan mengadopsi pendekatan kewirausahaan terhadap metode keuangan publik, memang ada peluang untuk memajukan jumlah pendapatan, namun hal tersebut cenderung menghemat tingkat responsivitas politik. Ketiga, penekanan terhadap pelayanan konsumen tidak serta merta memajukan responsivitas politik, sebab dalam prakteknya hal itu ternyata memiliki arti hanya memperhatikan kepentingan individu-individu tertentu; padahal pelayanan terhadap penduduk semestinya ditujukan untuk mengembangkan responsivitas terhadap publik tanpa diskriminasi Keempat, kemitraan sektor publik dengan swasta yang disediakan oleh model reinventing government, dalam prakteknya ternyata mengakibatkan masalah etik. Khusus mengenai dilema etik, Ghere (1997) menyimpulkan bahwa dalam gema ‘reinventing government’, ada indikasi bahwa budbahasa administrasi publik terlewatkan. Ia melakukan studi perkara ihwal kemitraan antara ‘county government’ (setingkat kecamatan) dengan ‘local chamber of commerce’ (Kadin-tempat) dari dua perspektif, kriteria tabiat pribadi para pelaku dan etika kebijakan institusional. Studi masalah ini menunjukkan adanya penyalahgunaan keuangan publik dalam kemitraan dua lembaga tersebut. Jika di tempat kelahirannya saja, model yang disediakan secara global tersebut sarat dengan persoalan, apakah mesti kita latah memakai pendekatan yang serupa tanpa kajian seksama?
Model alternatif reformasi manajemen publik yang mendukung proses kristalisasi demokrasi ialah versi Korea Selatan mirip yang digambarkan oleh Jung (1996). Bagi penduduk Korea Selatan, reformasi pegawanegeri atau para pejabat administratif bukanlah merupakan informasi utama. Mereka lebih kesengsem pada dua hal; proses demokratisasi politik dan teknik penyaluran pribadi ‘public goods and services’ terhadap rakyat. Dari praktek memberikan bahwa, baik proses demokratisasi politik maupun mutu dan kuantitas pelayanan pemerintah, pada kenyataannya sungguh tergantung pada metode administrasi publik. Oleh alasannya itu, reformasi administratif yang dibentuk Kim Young-Sam yang ialah pemerintahan sipil pertama sesudah 30 tahun rezim militer, mempunyai efek yang sungguh besar kepada dua hal. Pertama, tumbuhnya ekonomi Korea Selatan. Kedua, meningkatnya memperbesar legitimasi negara di depan rakyat, walaupun pemerintahan Kim yakni regim sipil yang dibuat melalui prosedur demokratik oleh politisi-politisi sipil. Dari kasus Korea, orang paling tidak dapat mencar ilmu tiga hal. Pertama, menempatkan reformasi manajemen publik dalam agenda politik merupakan langkah yang strategis. Kedua, proses demokratisasi selain menjadi tujuan, juga menjadi sarana bagi tujuan yang lebih utama, mengadakan pelayanan publik. Ketiga, memperbaiki sikap abdnegara ialah hal yang baik, namun lebih penting membangun sistem yang memungkinkan aparat bertindak baik. Keempat, legitimasi negara di depan rakyat tidak selalu mesti ditegakkan dengan senjata. Orang sipil pun bisa memimpin dan mengelola negara. Model manakah yang sempurna untuk Indonesia? Kiranya perlu dikaji lebih seksama, alasannya adalah apa yang sukses di tempat lain, belum niscaya sempurna untuk diadopsi. Sebaliknya, jikalau sudah ada orang yang pernah melakukannya, mengapa mesti mulai dari awal just to reinvent the wheel?
Beberapa Rekomendasi 
Terinspirasi oleh prinsip-prinsip revitalisasi konsep publik yang, diikuti dengan usaha untuk melebarkan pandangan lewat komparasi dengan pengalaman bangsa lain, serta dengan melaksanakan kontemplasi teoritik, penulis mencoba mengajukan beberapa usulan yang mungkin berguna untuk melaksanakan reformasi administrasi publik di Indonesia, yang tidak cuma diarahkan untuk mendukung proses demokratisasi, namun juga dalam rangka menawarkan pelayanan terbaik bagi rakyat tanpa diskriminasi, baik secara politik, etnik, kelas sosial, agama, maupun kalangan budaya. Secara substansial reformasi administrasi publik harus diarahkan pada revitalisasi konsep publik, yang berlandas pada kepatuhan terhadap konstitusi, pemahaman ihwal virtuous citizen, pengertian wacana kepentingan publik, dan pemahaman tentang kebajikan dan kasih. Belajar dari Korea Selatan, secara formal reformasi manajemen publik harus diarahkan pertama-tama dan terutama pada pembangunan sistemik yang menyangkut perubahan struktur administrasi, pengembangan kultur baru, penetapan mekanisme-prosedur kerja, dan bukan pada aparatnya.
Namun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa reformasi administrasi tidak perlu menjamah pengembangan insan yang mesti bekerja di dalam tata cara. Ini adalah tugas pendidikan manajemen publik.
Dalam hal ini berlaku prinsip, the first things first. Investasi waktu, uang dan energi untuk membangun tata cara yang memungkinkan orang biasa mampu bekerja baik, selalu lebih baik dari pada melaksanakan investasi untuk membuatkan orang-orang andal untuk melakukan pekerjaan dalam tata cara yang buruk. Mengenai opsi ini, ada pengalaman mempesona. Ketika seorang mahasiswa ditanya apakah beliau akan korupsi kalau nanti menjadi pejabat publik. Dia menjawab, ”… tidak janji, Pak.” Ketika ditanya lagi mengapa? Sambil berkelakar beliau membalas, ”…kalaupun malaikat dari surga disuruh jadi pegawai negeri di Indonesia, beliau pasti korupsi juga, apalagi saya. Kecuali jikalau ada yang mampu mengganti kondisi di bumi Indonesia mirip di dalam surga…” Sebuah kelakar yang sangat tidak lucu, tetapi memberi ilham dari mana reformasi administrasi publik harus dimulai, kalau tidak ingin menempatkan bawah umur muda yang penuh idealisme dan keseriusan bekerja, dalam lingkungan yang menimbulkan mereka apatis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ada beberapa usulan wacana dari mana reformasi administrasi publik secara sistemik mesti dimulai. 
Rekomendasi 1;
Belajar dari Korea Selatan, reformasi manajemen publik mesti menjadi agenda politik; hal ini menjadi bukti dari suatu keseriusan dan jaminan untuk sebuah kesinambungan karena menerima sumbangan secara luas. Dengan demikian reformasi manajemen dapat menemukan tenaga, tidak saja untuk mendukung proses demokratisasi, melainkan juga untuk mentransformasi diri menjadi ujung tombak pelayanan kepada publik. Beberapa agenda politik yang mampu diturunkan dari acuan pikir di atas yakni:
1. Melakukan penggalangan banyak sekali kekuatan reformis yang pro-demokrasi dan perduli dengan kepentingan publik.
2. Mengusahakan pemecahan dan jalan keluar bagi kekuatan-kekuatan absolut yang masih berada dalam tampuk kekuasaan, sehingga tidak menjadi kekuatan tandingan yang menghambat demokratisasi.
3. Memerangi anarkisme dengan cara menetralisir atau mengurangi kondisi-kondisi yang menjadi penyebab kemunculannya, yakni:
  • Pemenuhan kebutuhan dasar minimum secara serius bagi segenap warga negara.
  • Pengadaan lapangan kerja dan mengupayakan peningkatan daya beli penduduk .
  • Pemberian subsidi sementara kepada pengadaan public goods and services yang vital tetapi belum terjangkau oleh segmen masyarakattermiskin.
  • Membangun tata cara distribusi public goods and services secara langsung terhadap rakyat. 
  Seni Manajemen Media Dalam Membangun Penduduk Multikultur
Rekomendasi 2;
Reformasi manajemen publik harus diarahkan pada pergeseran struktur secara sistemik, dari struktur administrasi yang hirarkis vertikal menjadi struktur yang lebih landai horisontal dengan bentuk jejaring kerja. Secara empirik, struktur dalam bentuk jejaring, tidak cuma lebih mendekatkan para pejabat publik dengan publik yang dilayaninya, tetapi juga menempatkan publik dalam posisi lebih mempunyai arti.
Rekomendasi 3;
Reformasi manajemen publik perlu diarahkan pada pengembangan nilai-nilai budaya dan etos kerja baru yang suportif terhadap proses demokrasi dan pelayanan publik, dengan cara antara lain:
  • Mengubah etos kerja birokratik ke ethos kerja demokratik.
  • Perubahan dari ethos kerja dilayani menjadi etos kerja melayani.
Rekomendasi 4;
Reformasi administrasi publik perlu diarahkan pada penetapan strategi-seni manajemen dan administrasi lewat penyusunan rencana yang partisipatif dan demokratik, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam melakukan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Dengan begitu pelayanan administrasi tidak tergantung pada bintang film semata, namun pada tata cara yang lebih handal.
Reformasi Pendidikan Administrasi Publik
Jika ada yang paling bertanggungjawab pada buruknya kinerja dan reputasi manajemen publik di Indonesia, tidak lain yaitu mereka yang bergerak di bidang pendidikan utamanya pendidikan manajemen publik. Oleh alasannya itu reformasi administrasi publik mesti mulai dari reformasi bidang pendidikannya. Memang keberhasilan reformasi manajemen publik yang dijalankan Korea Selatan, mirip yang dikemukakan di tampang, tidak dimulai dari perjuangan untuk mengganti sikap dan perilaku pegawapemerintah, melainkan berupaya membangun sistem yang memungkinkan para abdnegara berperilaku mirip yang dikehendaki, yakni bertindak demokratis dan melakukan distribusi public goods and services secara langsung kepada rakyat. Ini ialah soal opsi, langkah Korea Selatan juga memiliki landasan empirik yang berpengaruh dan terdukung secara akademik. Beberapa penelitian tentang etos kerja para pejabat publik, menarik untuk disimak sebab secara umum mereka ternyata cenderung mempunyai ethos kerja yang negatif. Setiap profesi bisa jadi memiliki adab yang mungkin berlawanan dengan akhlak yang berlaku di masyarakat umum. Gos (1996), melaksanakan survey terhadap 378 birokrat karir dan 46 anggota legislatif negara bagian di Colorado U.S, serta 250 orang warga pemilih yang diambil secara acak dan diinterview lewat telefon. Mereka ditanya apa yang penting bagi seorang pegawai negeri. Hasilnya, ketiga kelompok responden mempunyai persepsi yang sama wacana apa yang penting bagi seorang pegawai negeri, yaitu: dapat diandalkan, kemampuan, dan akuntabilitas dalam manajemen publik. Secara kategorial, ketiga hal tersebut ialah antribut dari etos birokratik, sedangkan atribut yang berkaitan dengan etos demokratik diberi rangking yang lebih rendah. Dari sini mampu disimpulkan, bahwa pejabat publik lebih dituntut untuk memiliki etos birokratik dibanding etos demokratik.
Studi eksplorasi wacana perbedaan etos kerja para top manajer di organisasi publik dan organisasi swasta, dilakukan oleh Wittmer dan Coursey (1996). Yang dimaksud dengan top manajer publik dalam observasi ini ialah chief executive of an agency sedangkan top manajer swasta yakni para kepala cabang. Sampel yang dipilih sebanyak 432 top manajer di tiga lokasi, Syracuse dan Albany, NY; Denver, CO; dan Tallahassee, FL. Mereka menggunakan survey lewat pos. Kesimpulan yang mereka dapatkan yaitu, bahwa pada umumnya manajer publik cenderung tidak mengikuti tolok ukur, baik standar profesional maupun legal; kurang menekankan kepedulian wacana kemakmuran orang-orang di dalam organisasinya, dan lebih menekankan pada perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya sendiri. Hasil observasi tersebut menyiratkan, paling tidak dua hal, ialah pertama, metode birokrasi begitu buruk sehingga bisa mengubah orang-orang baik menjadi jahat. Kedua, pendidikan manajemen publik sedemikian rusak sehingga tidak mampu menyiapkan para pemangku jabatan publik yang mumpuni dan amanah. Setitik optimisme tentang peran pendidikan muncul dari hasil observasi Bovens (1996). Meskipun reformasi manajemen publik tidak mesti mulai dengan membereskan pegawapemerintah, tetapi ada iman bahwa melalui proses mencar ilmu, hingga derajat tertentu orang dapat berganti. Hasil penelitian Bovens memperlihatkan, bahwa di Amerika Serikat telah terjadi pergantian loyalitas para pejabat publik, dari loyalitas tunggal kepada birokrasi dan atasan, ke loyalitas profesional yang berlandas terhadap tanggung jawab langsung, tanggung jawab sosial, tanggung jawab profesional, dan tanggung jawab publik. Pergeseran tersebut pasti sungguh merupakan aspek aman bagi reformasi manajemen publik. Pertanyaan berikut yang perlu ditelusuri yakni, pendidikan manajemen publik seperti apa yang mampu merencanakan para pemikir dan praktisi manajemen publik yang mumpuni dan amanah? 
Administrasi publik yaitu disiplin ilmu, seni dan juga profesi. Oleh sebab itu peran forum pendidikan administrasi publik adalah merencanakan para mahasiswa untuk ketiga kawasan tersebut. Meskipun setiap lembaga pendidikan dapat mendesain kurikulum, metoda pembelajaran dan karakter khas yang dibayangkan untuk para lulusannya, tetapi dari observasi sistematik dan studi dokumen terhadap kurikulum sejumlah perguruan tinggi swasta di Jawa Barat yang menyelenggarakan pendidikan manajemen publik, secara umum dapat disampaikan beberapa pemikiran selaku berikut ini:
Pertama, dari sisi jalur pendidikan, pendidikan manajemen publik seharusnya dibedakan menjadi jalur akademik dan jalur profesi. Jalur akademik dipakai untuk mempersiapkan ilmuwan administrasi publik yang bertugas untuk mengkaji secara kritis wawasan yang telah ada dan secara kreatif mengembangkan wawasan dan teknik-teknik baru untuk disumbangkan pada pengembangan praktek manajemen publik. Jalur ini mampu meliputi tiga jenjang pendidikan, yakni tingkat sarjana (Strata 1) yang secara internasional setara dengan bachelor degree di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia; tingkat master (Strata 2) yang secara internasional setara dengan gelar Magister of Science (MSc); dan tingkat doktoral (Strata 3) yang secara internasional setara dengan gelar Philosophical Doctor (PhD). Sedangkan jalur profesional ditujukan untuk menyiapkan mereka yang hendak berkarir selaku praktisi manajemen publik yang memiliki berbagai kompetensi profesional yang dibutuhkan di banyak sekali tingkat pekerjaan. Jenjang pendidikan dapat dimulai dengan yang terendah setingkat Diploma I, II, dan III. Pada tingkat sarjana perlu dibedakan dari program jalur akademik, meskipun gelarnya sama (Sarjana Administrasi Publik-SAP), contohnya, skripsi mampu diganti dengan laporan proyek simpulan sebagai hasil magang di kantor lurah hingga kantor presiden. Demikian pula untuk tingkat Strata 2, berlawanan dengan jalur akademik mereka menerima gelar Master Administrasi Publik –MAP, dan di tingkat Strata 3 dengan gelar Doktor Administrasi Publik – DAP.
Kedua, dari segi kurikulum kedua jalur harus terperinci sangat berlawanan. Jalur akademik memiliki tekanan pada penguasaan pengembangan ilmu pengetahuan dengan segala aspeknya, mirip pendalaman kepada paradigma manajemen publik, sejarah dan teori administrasi publik, filsafat publik, perbandingan manajemen publik, dan metodologi penelitian manajemen publik, tergolong pengembangan metoda pembelajarannya. Sedangkan jalur profesional, lebih menekankan pada membangun keahlian (skill) dan keterampilan (competency) untuk mengurus dan mengadakan pelayanan publik tertentu secara efektif dan efisien. Oleh sebab itu, walaupun perlu diubahsuaikan dengan jenjang dan posisi jabatan yang dipangku, pendidikan administrasi publik di jalur ini harus mengasumsikan penguasaan bidang-bidang antara lain: menguasai bidang pelayanan spesifik yang dipilih seperti bidang kesehatan, pendidikan, industri, dll.; mengerti publik spesifik yang harus dilayani; dan menguasai teknik-teknik pelayanan yang mencukupi, termasuk kemampuan pengelolaan dan prosedur-mekanisme administratif yang perlu dikuasai termasuk mempunyai pengertian yang cukup tentang konstitusi, struktur-kultur-dan-prosedur di organisasi publik.
Ketiga, dari sisi proses pembelajaran, baik jalur akademik apalagi jalur profesional, perlu menggunakan experiential learning process yang kreatif dan berpusat pada mahasiswa. Proses berguru, apapun namanya, yang memungkinkan para mahasiswa berbagi seluruh potensinya secara utuh, baik yang menyangkut kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, maupun kecerdasan sosialnya. Untuk itu semua, kemudahan yang mencukupi, khususnya pusat info ilmiah digital, saluran internet, dan laboratorium administrasi publik sungguh sangat dibutuhkan,.selain tentu ruang kuliah dan ruang-ruang simulasi.
Keempat, dilihat dari segi penyelenggaran pendidikan sudah saatnya Indonesia mempunyai peta besar perihal keperluan tenaga di bidang manajemen publik secara menyeluruh, baik dari sisi kuantitas maupun dari segi mutu. Proses penyelenggaraannya pun perlu dilakukan secara sinergis, dimulai dengan langkah sederhana (yang umumnya susah dikerjakan), yakni duduk dan berbicara bareng di antara seluruh stake-holder pendidikan manajemen publik dengan semua institusi pendidikan yang berhasrat untuk mengadakan pendidikan manajemen publik dan mempunyai janji untuk melakukan reformasi administrasi publik demi pertumbuhan bangsa ini.