Makalah konsep kepemimpinan dalam Islam – Islam mengendalikan kehidupan manusia dengan begitu lengkap, tergolong dalam hal sosial kemasyarakatan hingga dalam hal berpolitik dan bernegara. Menjelang Pemilihan Umum biasanya diramaikan dengan pembahasan tentang “Pemimpin”, semua orang yang pantas memimpin daerah atau negara.
Sebagai umat Islam konsep pemimpin dan kepemimpinan bergotong-royong sudah digariskan oleh Allah SWT. Diantaranya pada QS. Al-Baqarah ayat 30 dengan jelas menceritakan kisah diciptakannya insan yakni untuk selaku kholifah (pemimpin) di paras bumi.
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ
“Sesungguhnya Aku (Allah) akan menciptakan kholifah di wajah bumi…”(Al-Baqorah : 30).
Memimpin berarti mengemudikan dan mengarahkan. Seperti halnya mengemudikan kendaraan ada pengemudi dan ada penumpangnya.
Pemimpin yakni pengemudi sedangkan penumpang ialah yang dikemudikan atau yang dipimpin. Baik atau buruknya yang dipimpin tergantung dari bagaimana si pengemudi menertibkan kendaraannya. Sejahtera atau tidaknya sebuah negara, tergantung dari kebijakan yang dilakukan oleh pemimpinnya. Sakinah atau tidaknya sebuah keluarga, tergantung perilaku kepala keluarganya. Mahmudah atau madzmumahnya budpekerti seseorang, tergantung kepribadian seseorang itu sendiri. Disinilah letak tanggung jawab seorang pemimpin. Setiap pemimpin bertanggunjawab atas yang dipimpinnya.
Ketika ingin memulai sebuah pembahasan ada baiknya kita melaksanakan sebuah pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini menolong kita untuk mengetahui dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya yakni orang yang berada di depan dan mempunyai pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika mengatakan kepemimpinan maka ia akan berbicara perihal prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, prosedur penyeleksian pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam perumpamaan perihal Kepemimpinan ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kalangan Islam memiliki pendefinisian berlainan satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak mampu dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya duduk perkara-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pendekar, idola, dan manusia kamil, tanpa pemimpin umat insan akan mengalami disorientasi dan alienasi.[1]
Ketika sebuah penduduk membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham akan realitas masyarakatlah yang patut mengemban amanah kepemimpinan tersebut. Pemimpin tersebut mesti mampu membawa penduduk menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. Watak insan yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari huruf individu yang mengharapkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan yang lebih.
Ulama merupakan orang yang dianggap selaku orang memiliki keistimewaan mesti bisa menguasai ilmu yang berkaiatan dengan kehidupan agama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Ulama mesti mampu membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan namun juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah mampu melepaskan insan dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama berasal dari kata bahasa Arab dan semula dia berbentuk jamak, yakni alim artinya yaitu orang yang mengetahui atau orang berilmu. Seorang pemimpin revolusi Iran, adalah Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan beliau memakai kata Fuqaha untuk mengubah perumpamaan ulama.
Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah sebuah kemestian. Ia mempunyai 2 argumentasi, yakni : Pertama, argumentasi yang teologis berbentukriwayat dari Nabi Muhammad SAW, adalah ”Fuqaha ialah pemegang amanat Rasul, selama mereka tidak masuk ke duania”, lalu seseorang bertanya, ” Ya Rasul, apa maksud dari perkataan mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, ” mengikuti penguasa. Jika mereka melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian dari mereka.”[2] Kedua, argumentasi rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan membiarkan ummatnya resah sebab ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi beliau merupakan sebuah pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.
Syarat-Syarat Pemimpin menurut Islam
Kepemimpinan sesudah Rasulullah SAW wafat, ialah pemimpin yang memiliki mutu spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, mempunyai wawasan yang cocok dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta mesti mempunyai sifat adil.
Pemimpin sehabis Rasul mesti memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul. Karena pemimpin ialah patokan atau tumpuan umat Islam dalam beribadah setelah Rasul. Oleh sebab itu dia haruslah mengenali cita rasa spritual yang cocok dengan realitasnya, agar dikala memberikan sesuatu pesan maka dia paham betul akan makna yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berlawanan dalam hal keimanan dan kesadaran mereka akan akhir dari perbuatan dosa. Semakin kuat keyakinan dan kesadaran mereka akan akibat dosa, kian kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat keimanan sudah meraih intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses akal sehat) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau meminum racun, maka kemungkinan melaksanakan dosa pada diri yang bersangkutan akan menjadi nol.[3] Saya mengetahui apa yang dibilang Muthahhari derajat keimanan telah meraih intuitif dan persepsi bathin ini yakni selaku telah mencicipi cita rasa realitas spiritual. Dengan adanya keadaan telah mencicipi cita rasa realitas spiritual, maka pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang cocok dengan realitas dari wujud atau pun sebuah maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan mutu dari dunia ini yang sering menjebak manusia.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga mempunyai sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.[4] Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan selaku menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Keadilan kolam aturan biasa yang dapat diterapkan kepada administrasi dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba meliputi. Ia sebuah jalan raya yang melayani siapa pun dan setiap orang.[5] Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara dia membagi ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak ada diskriminasi dengan memperlihatkan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena argumentasi agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melaksanakan kecurangan maka dia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam, menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih (pemimpin) harus menyanggupi syarat-syarat pemimpin sebagai berikut :
- Faqahah, meraih derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath aturan dari sumber-sumbernya.
- ’yakni : menunjukkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari etika jelek. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
- Kafa’ah : mempunyai kemampuan untuk memimpin ummat, mengenali ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.[6]
Menurut Khomeini, selain standar biasa mirip kecerdasan dan kesanggupan menertibkan (mengorganisasi), ada dua syarat fundamental yang lain bagi seorang fuqaha yakni wawasan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha bekerjsama adalah wujud dari aturan Islam itu sendiri.[7] Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh untuk berbuat salah.[8]
Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang ulama (faqih) yang menyanggupi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi faqih (ulama). Manusia mesti melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual maupun spiritual.
Islam menginginkan setiap pemimpin menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Seperti halnya Nabi Muhammad Saw yang diatuladani oleh umatnya. Tanpa akhlaknya yang luhur, Nabi Muhammad tidak akan disebut selaku suri tauladan yang bagus, sebagaimana difirmankan Allah Swt dalam Al-Alquran. Sebagaimana ayat Al-Alquran yang tertulis diawal, ada empat hal pokok yang menjadi teladan untuk menjadi seorang pemimpin sejati. Jika ke-empatnya dilakukan, maka seorang pemimpin akan menjadi pemimpin sejati. Empat hal itu menawarkan kekerabatan yang sebanding antara pemimpin selaku hamba ALLAH SWT dan sebagai makhluk.
Pemimpin mendirikan Sholat. Sholat adalah salah satu bentuk ibadah yang mencerminkan korelasi antara hamba dengan sang Kholik-nya (Allah Swt). Sholat menjadi ibadah yang paling utama untuk membangun relasi antara hamba dan Kholiknya. Dengan mendirikan Sholat, memiliki arti seorang pemimpin telah melakukan tanggungjawabnya selaku hamba Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala-galanya.
Pemimpin menunaikan Zakat. Selain Sholat, Zakat juga ialah salah satu ibadah yang diwajibkan dan termasuk dalam rukun Islam. Namun demikian ada perbedaan antara zakat dan sholat. Zakat mencerminkan jiwa pemimpin yang sensitif dengan duduk perkara sosial. Jika Sholat merupakan ibadah yang mencerminkan kekerabatan hamba dengan Kholik-nya saja, maka Zakat merefleksikan kekerabatan seorang hamba dengan kholiknya dan dengan hamba ALLAH yang yang lain baik itu yang seiman maupun yang tidak. Seorang pemimpin seharusnya tanggap dengan kondisi dan dilema yang dihadapai oleh penduduk . Karena memang fungsi yang paling esensi dari seorang pemimpin itu terletak pada sifat sosial yang dimiliki. Karena sifat-sifat inilah yang memang sudah dicerminkan oleh Rasulullah SAW terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan tanpa pandang bulu menyaksikan konteks dan status.
Pemimpin memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran ialah suatu perintah Allah Swt terhadap setiap hamba. Pemimpin harus memiliki jiwa yang tegas dalam mengeluarkan kebijakan, dan pastinya kebijakan itu tidak merugikan orang lain. Menegakkan amar makruf mungkin akan lebih mudah karena memang konteks ini hanya menyuruh orang untuk melakukan kebaikan, beribadah kepada Allah terlepas orang menerima atau tidak. Tetapi menghalangi kemungkaran tidak semudah amar makruf, sebab memang dalam konteks ini memerlukan suatu kekuatan, bekal yang mantap untuk menangkal kemungkaran, sebab itulah seorang pemimpin mesti tegas dan berani dalam menegakkan kebenaran dan mampu menyuarakan kebernaran walaupun ada tekanan dari banyak sekali pihak yang membenci dengan kebenaran dan keselamatan ditegakkan di tengah-tengah penduduk .
Pemimpin menyerahkan kepada Allah atas kesudahan segala problem. Poin terakhir ini tidak kalah penting dengan tiga point sebelumnya. Point ini membuktikan bahwa seorang pemimpin mesti bertawakkal kepada Allah Swt. Manusia hanya mampu berusaha dan berdoa, sedangkan Allah Swt yang mengabulkan usaha dan permintaannya. Oleh jadinya, setiap manusia dilarang arogan. Sesuatu yang dikehendaki tidak akan terjadi tanpa izin Allah Swt. Dengan memperhatikan empat hal tersebut, maka seorang pemimpin, baik pemimpin bagi orang lain maupun pemimpin untuk diri sendiri, harus bertaqwa kepada Allah Swt, mengamati keadaan yang dipimpin, bersikap tegas dalam kebajikan, dan bertawakkal terhadap Allah Swt atas setiap usaha yang dikerjakan dan dibarengi dengan.
Empat hal tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Semuanya ialah acuan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin semoga menjadi seorang pemimpin yang bertanggungjawab baik terhadap orang lain, terlebih lagi kepada Allah Swt. Karena seorang pemimpin tidak cuma bertanggung jawab terhadap yang dipimpin. Pemimpin juga bertanggungjawab kepada yang memperlihatkan amanah tersebut yaitu Allah Swt. Pemimpin yang hanya bertanggungjawab terhadap manusia akan menjadi pemimpin yang “pincang”. Karena pada hakikatnya, posisi selaku pemimpin adalah amanah yang Allah Swt berikan. Tidak semata-mata alasannya adalah manusia. Manusia cuma wasilah. Maka pertanggungjawaban seorang pemimpin yang bergotong-royong yaitu kepada Allah Swt. Sejahtera atau tidaknya warganegara, sakinah atau tidaknya sebuah keluarga, baik-burknya adat insan, seluruhnya dipertanggungjawabkan kepada Allah Swt.
Disamping itu semua seorang pemimpin harus juga memiliki keterampilan (skill) yang mesti termanifestasikan dalam diri seorang pemimpin. Skill yang mesti dimiliki seorang pemimpin dalam mengerjakan tugasnya lain seorang pemimpin harus mempunyai komunikasi yang mulut, dapat memeneg waktu dengan baik sehingga waktu tidak ada yang tidak berguna, mampu memeneg pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil tidak tergesa-tergesa dan keputusan tersebut memang tepat sesuai kebutuhan. Mengakui, menerangkan dan memecahkan persolan yang dihadapi, dapat memotivasi dan mensugesti orang lain. Mendelegasikan wewenang, mampu memutuskan tujuan dan menerangkan visi, memiliki kesadaran diri bahwa pemimpin mempunyai tanggung jawab, membangun kerja tim yang solid, dan mampu memeneg pertentangan yang dihadapai sehingga tidak terjadi perpecahan dalam penduduk .
Seandainya berhasil menjadi pemimpin yang bagus, maka baik pula yang akan Allah Swt berikan. Begitu pula sebaliknya. Meski demikian, martabat seorang pemimpin yang yang mengerjakan empat hal pokok diatas yakni lebih tinggi ketimbang manusia lainnya. Seperti seorang nelayan, makin dia ketengah lautan yang kencang ombaknya, maka akan kian banyak ikan yang mau beliau mampu.
Jika hanya mencari ditepi pantai, maka sukarlah baginya mendapatkan ikan. Begitu pula yang mau diperoleh seorang pemimpin kelak. Semoga pemimpin Indonesia khususnya Sumatra utara adalah pemimpin yang bertaqwa terhadap Allah Swt, perhatian kepada rakyatnya, tegas dan bijak dalam kebajikan, dan bertawakkal terhadap Allah Swt. Amin.
Hukum-aturan Allah yaitu sebuah keniscayaan yang mengontrol ummat manusia, yang menolong insan dalam meraih realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi. Sekarang ini untuk terjaganya aturan-aturan Illahiah yang mengatur kehidupan umat insan dan penduduk , maka di butuhkan seorang pemimpin yang mempunyai wawasan luas perihal aturan Allah dan keadilan, adab yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengendalikan (mengorganisasi), dan memiliki teladan hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.
Hubungan Kepemimpinan Terhadap Keadaan Masyarakat Islami
Untuk membangun suatu penduduk yang adil, damai, sejahtera dan sejahtera. Maka diharapkan pemimpin yang bijaksana, pemimipin yang betul-betul mampu merakyat, mampu bergaul dengan semua lapisan penduduk tanpa menyaksikan kalangan dan asal atau paham yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat tidak memerlukan pemimpin yang hanya sibuk di balik meja, ruang pertemuan, ruang rapat. Pemimpin yang dicari dan pemimpin idaman untuk dapat membuat situasi yang kondusif menciptakan masyarakat yang bermoral bermartabat tinggi adalah pemimipin yang paham dan tahu dengan kondisi umat, keadaan penduduk di lapangan dan pengalaman ini harus membumi dan mesti menjadi suatu aksara yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin.
Sebagai langkah awal dalam mengerti pemimpin yang tepat untuk diamati sebagai seorang calon-calon pemimpin ialah ada lima persyaratan minimal kandidat pemimpin yang harus dipenuhi yaitu :
Pertama : Beriman
Pemimpin jangan cuma beriman ketika cuma berkampanye dengan mendatangi ulama-ulama, pesantren-pesantern atau lembaga keagamaan yang lain, tetapi saat sudah menjadi seorang pemimpin lupa dengan komitmennya dan tak ingintau dengan kondisi umat. Nilai-nilai luhur kepemimpinan yang diajarkan oleh Islam tidak akan mampu dilaksanakan kecuali oleh orang-orang yang betul-betul beriman bukan mukmin gadungan yang selalu berganti sesuai dengan arah angin kencang hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan semata.
Kedua : Memiliki Keahlian (Skill)
Seorang pemimpin yang ideal mesti memiliki visi dan misi yang terang dan kongkret sesuai dengan keperluan penduduk . Sehingga memang memiliki kemampuan untuk memimpin dan membangun Sumatra utara yang bermoral dan bermartabat. Kemampuan atau keterampilan ialah syarat mutlak untuk menjalani amanah pemimpin. Rasulullah juga sudah mengingatkan kita bahwa setiap pekerjaan itu harus diserahkan kepada ahlinya, kalau tidak maka tunggu kita tinggal menunggu waktu kehancurannya (HR. Muslim).
Ketiga : Bisa Diterima Dalam Masyarakat
Keahlian yang teruji ditambah dengan integgritas eksklusif yang terpuji membuat seseorang menjadi mudah diterima ditengah-tengah masyarakat. Seseorang memiliki cacat di mata masyarakat tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin apalagi berkaitan dengan problem budbahasa.Pemimpin yang bahagia ber-silaturahmi dengan masyarakat.
Keempat : Tidak Arogan, Otoriter, dan Mau Menerima Masukan
Seorang Pemimpin mesti mempunyai pandangan bahwa dirinya ialah pelayan bagi masyaraktnya. Hidupnya selalu menghabiskan hari-harinya untuk kepentingan penduduk . Tidak arogan terlebih bergaya Fira’un.
Kelima : Berkualitas. Baik dari Segi Fisik, Mental dan Intelektual
Pengetahuan dan pengetahuan yang luas, mental dan fisik yang sehat sungguh memilih dan menolong seorang pemimipin dalam mejalani kepemimpinannya untuk memecahkan banyak sekali persolan yang dihadapi. Seorang pemimpin harus memiliki jenjang pendidikan yang telah dijalani untuk memberikan keintelektualitasnya. Rasulullah juga telah memberikan kita citra bahwa seorang mukmin yang besar lengan berkuasa lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Swt ketimbang seorang mukmin yang lemah.
Maka telah terperinci kiranya bahwa taktik yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menjalani kepemimpinannya, supaya nantinya roda kepemimpinan bisa berlangsung dengan baik dan sukses dengan banyak menunjukkan bantuan dan mampu membangun penduduk yang makmur, makmur dan bermartabat ialah dengan memnguasai desain-desain kepemimpinan yang Islami seperti yang diterangkan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Milal wan-Nihal I/24 atau lihat Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i, Gema Insani Press.
2. Haidar Bagir dalam Ali Syari’ati, Ummah dan Imamah, Bandung, Pustaka Hidayah, 1989
3. Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera
4. Dr. Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syar’i,Gema Insani Press, Jakarta 1997
5. Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006
6. Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002
7. Armanu Thoyib.2004. Strategi Managemen Konflik Dalam Organisasi Multibudaya, Jurnal Managemen dan Bisnis(JMB) Vol.1,No.1
[1] Haidir Bagir dalam AliSyari’ati, Ummah dan Imamah. Halaman 16-17
[2] Ushul Kafi, Jilid I hal 58 kitab Fadhlu Al-Ilm
[3] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian 1991 hal 12
[4] Andi Anas, desain wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini. 2006 hal 29
[5] Murthada Muthahhari, tema-tema pokok Nahj Al-Balaghah, 2002 hal 106-107
[6] Jalaluddin Rahmat dan Yamani, filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan Khomeini,2003 hal 17
[7] Imam Khomeini, System Pemerintahan Islam, 2002 hal 63
[8] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih berdasarkan Imam Khomeini, 2006 hal 4