a. Asas Nonretroaktif
Asas nonretroaktif dalam ilmu hukum pidana secara eksplisit tersirat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (kitab undang-undang hukum pidana), dirumuskan dalam pasal ayat (1) : “Tiada suatu tindakan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan hukum pidana dalam perundang-usul yang sudah ada, sebelum perbuatan dilakukan “(Moelyatno, cetakan keduapuluh, April 2001). Di dalam Rancangan Undang-undang RI ihwal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (2005), dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) selaku berikut: “Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan langkah-langkah, kecuali tindakan yang dikerjakan sudah ditetapkan sebagai tindak kriminal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada dikala tindakan itu dilakukan.”
b. Asas Pembuktian Terbalik
Sejarah perihal pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi semenjak 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji yaitu pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “beban” ditekankan bukan pada alat buktinya namun pada siapa yang berhak untuk melaksanakan pembuktian tertulis tersebut. Misalnya apabila seseorang dituduh korupsi oleh Jaksa maka dalam tata cara aturan yang konvensional, jaksa harus mengambarkan dakwaannya bahwa koruptor tersebut korupsi. Tetapi dengan asas pembuktian terbalik maka “koruptor” harus menerangkan bahwa hartany bukan diperoleh dari hasil korupsi, kalau dia bisa menerangkan bahwa semua hartanya bukan hasil korupsi, maka beliau mampu dibebaskan.
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas hukum prasangka tak bersalah, sejak periode ke 11 dikenal di dalam metode aturan Common Law, terutama di Inggris, dalam Bill of Right (1648). Asas aturan ini dilatar belakangi oleh pedoman individualistik-liberalistik yang berkembang sejak pertengahan kurun ke-19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs) menurut metode aturan Common Law (metode adversarial/metode kontest), asas aturan ini ialah prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses sudah berjalan jujur, adil, dan tidak memihak (due prisess of law). Asas prasangka tak bersalah ialah bagian yang tidak terpisahkan dari prinsip dua prosess tersebut. Friedman (1994) memastikan bahwa prinsip “due process” yang sudah melembaga dalam proses peradilan semenjak duaratus tahun lampau, kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial.
Melalui asas dugaan tak bersalah akan melindungi hak asasi insan dan nama baik seseorang, alasannya lewat asas ini sudah ditetapkan bahwa seseorang yang tersangkut hukum sebelum diputus oleh hakim, maka orang tersebut tetap dinayatakn “benar” dan mesti dihormati.
d. Asas Legalitas
Inti dari asas legalitas ialah bahwa seseorang tidak dapat dieksekusi jika belum ada peraturan yang mengontrol.artinya bila polisi ingin menangkap seseorang atau menyidik seseorang harus jelas, apalagi hukum aturan yang dilanggar. Jika tidak hukum aturan yang dilanggar maka seseorang tidka boleh dikerjakan penangkapan secara absolut dan hanya menurut kekuasaan semata-mata. Oleh sebba itu aturan harus ada terlebih dahulu dan dilarang diberlakukan mundur karena kan menimbulkan kesewenang-wenangan.
Asas legalitas yang diketahui dalam hukum pidana terbaru timbul dari lingkup sosiologis kala pencerahan yang mengagungkan dokrin tunjangan rakyat dari perlakuan otoriter kekuasaan. Sebelum datang Abad Pencerahan, kekuasaan mampu menghukum orang meski tanpa ada peraturan apalagi dahulu. Saat itu, selera kekuasaanlah yang paling berhak memilih apakah perbuatan mampu dieksekusi atau tidak. Untuk menangkalnya, hadirlah asas legalitas yang ialah instrumen penting dukungan kemerdekaan individu ketika berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang disebut dengan tindakan yang dapat dieksekusi menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.
e. Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus
Sekalipun esak langit akan runtuh atau dunia akan musnah keadilan mesti tetap ditegakkan.
f. Geen straf zonder schuld
Tiada hukuman tanpa kesalahan
g. Indubio pro reo
Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa.
Sumber : “Pengantar Ilmu Hukum” Oleh : Dr.H. Zainal Asikin, S.H.,S.U. hal: 103-106