Administrasi Sistem Berita Dalam Memperlancar Arus Berita Untuk Mengembangkan Kualitas Penyusunan Rencana Pembangunan Tempat

Manajemen Sistem Informasi Dalam Memperlancar Arus Informasi Untuk Meningkatkan Mutu Perencanaan Pembangunan Daerah 
Kita pahami bersama bahwa berita yang ialah salah satu kunci kesuksesan dari metode info yang tangguh, tlah menjadi keperluan mutlak dalam penyelenggaraan kehidupan di segala bidang, serta untuk mendukung upaya pembangunan. Sistem gosip telah berkembang seiring dengan perkembangan teknologi berita yang bgitu cepat, serta mempunyai peran yang besar dalam acara perekonomian dan taktik penyelenggaraan pembangunan. Keberadaan tata cara info selama ini mampu mendukung peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas organisasi pemerintah dan dunia perjuangan, serta mendorong terwujudnya masyarakat yang maju dan sejahtera. Oleh sebab itu, dalam repelita VI ini pengembangan tata cara info yang handal ditempatkan selaku bagian integral dalam pembangunan nasional.
Dalam GBHN 1993 sudah diamanatkan pentingnya pengembangan sistem informasi dalam banyak sekali sektor yang sejalan dengan upaya untuk terus memajukan terciptanya jaringan berita yang mahir, efisien serta bisa mendukung industrialisasi dan upaya pemerataan pembangunan. Amanat GBHN 1993 tersebut telah dijabarkan ke dalam Repelita VI melalui bagian khusus tentang ” tata cara Informasi dan Statistik” (bagian 45). Hal ini memperlihatkan adanya janji yang besar lengan berkuasa dan perhatian yang kian besar dari Pemerintah dalam pengembangan sistem informasi dalam masa informasi yang kian pesat perkembangannya sampaumur ini. 
Pengertian tata cara informasi (SI) sendiri, sebagaimana dikemukakan dalam Repelita VI ialah suatu kesatuan tatanan yang terdiri atas organisasi, manajemen, teknologi, himpunan data, dan sumber daya manusia yang mampu menciptakan dan memberikan info secara cepat, sempurna, lengkap dan akurat untuk mendukung berbagai upaya dalam mewujudkan target yang dikehendaki. 
Dalam kaitannya dengan metode informasi yang diperlukan, dimanfaatkan, dan dikembangkan bagi keperluan pembangunan di daerah, dapat dikemukakan disini bahwa sistem informasi yang khususnya diarahkan untuk menunjang perencanaan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari metode berita manajemen nasional (SIMNAS), serta termasuk selaku salah satu unsur integral dari metode isu penyusunan rencana pembangunan nasional (SIMRENAS) yang cukup umur ini tengah dibangun Bappenas. Dalam konteks ini, eksistensi dari SIM pembangunan kawasan tidak terlepas dan saling terkait dengan SIM yang lain baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam rangka merealisasikan pembangunan SIMNAS yang berdayaguna dan berhasilguna. Untuk itu, perlu diciptakan sebuah pola kemitraan kerja dan jaringan tata cara info antarinstansi dan antara pusat dengan tempat secara harmonis, dengan tetap memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masing-masing dalam konstelasi pengembangan SIMNAS secara keseluruhan. 
Melalui goresan pena ini, akan dicoba dikemukakan beberapa isyu pokok dalam pengembangan tata cara gosip pembangunan di kawasan dalam rangka menunjang proses perencanaan pembangunan daerah secara lebih berdayaguna dan berhasilguna. Pembahasan selanjutnya akan difokuskan kepada kinerja pengembangan basis data dan gosip pembangunan yang selama ini diatur dan dikembangkan oleh daerah, serta upaya pendayagunaan dan pengembangannya lebih lanjut, dalam lingkup pengembangan SIM pada skala yang lebih luas di tingkat nasional. 
KINERJA PENGEMBANGAN BASIS DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Secara historis, penyusunan dan pengembangan data dan berita bagi pembangunan tempat telah dimulai semenjak tahun 1988 yang kemudian dengan pengembangan data pokok pembangunan kawasan lewat program penyusunan peta penyebaran pembangunan kawasan di masing-masing dati I dan dati II, yang pada TA 1990/91 dikontrol lewat Inmendagri Nomor 23 Tahun 1990 tentang Penyusunan dan Pemanfaatan Data Pokok Pembangunan untuk Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pemantauan Pembangunan di Daerah. Dalam rangka pengembangannya, pada masa lima tahun terakhir ini lewat pendanaan bareng APBN dan APBD telah pula dilaksanakan pembinaan komputerisasi kepada pegawapemerintah Bappeda Tingkat I dan Tingkat II seluruh Indonesia, dengan menggunakan program GIS software Delta-9B yang telah dikembangkan dengan menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat lebih mudah calon user/operator dari kawasan yang dilatih. 
Di dalam perkembangannya selama delapan tahun sampai TA 1996/97 ini, sudah dinikmati perlu adanya penyesuaian kepada dasar aturan pengelolaan data pokok pembangunan kawasan, atau dibutuhkan adanya pembiasaan kepada Inmendagri No. 23 Tahun 1990, yang tampaknya telah kurang akomodatif terhadap kemajuan yang terjadi selama 8 tahun terakhir ini. Sebagai contohnya, Inmendagri 23/1990 masih sangat berorientasi pada peran Kantor Agraria (BPN) di tempat dalam menyediakan peta dasar pembangunan tempat. Selain itu, Inmendagri tersebut juga belum sama sekali memikirkan faktor penataan ruang daerah/kawasan (RTRW) selaku salah satu dokumen utama perencanaan. 
Sejalan dengan diterbitkannya UU No. 24 Tahun 1992 perihal Penataan Ruang, maka perlu adanya pembiasaan terhadap beberapa konsideran pokok dalam pengembangan data pokok pembangunan tempat, mirip: (i) konsiderasi ‘time frame’ RTRW dati I dan dati II yang relatif berjangka menengah dan panjang; (ii) skala peta RTRW dati I (1:250.000) dan RTRW dati II (1:100.000) juga perlu diubahsuaikan dengan peta data pokok; (iii) konsiderasi penetapan daerah lindung, kawasan budidaya (daerah andalan dan sektor unggulan), dan daerah tertentu yang telah ditetapkan oleh masing-masing RTRW dati I dan dati II; dan (iv) instansi koordinator dari pengelolaan tata ruang tempat yang tidak lagi didominasi oleh peran Kanwil/Kantor BPN, namun oleh Bappeda tingkat I dan tingkat II. 
Ketersediaan data dan informasi geografis yang mencukupi sangat diperlukan dalam penataan ruang, semoga usaha meningkatkan secara optimal pemanfaatan ruang wilayah dapat dicapai. Data dan gosip geografis yang dibutuhkan dalam tahap perencaaan tata ruang daerah ialah data dan informasi geografis yang beraspek sumber daya alam sebagai faktor penunjang dan bagian-unsur pembatas lingkungan fisik selaku aspek kendala. Data SIG sumber daya alam antara lain meliputi: (a) sumber daya lahan, (b) sumber daya air, dan (c) sumber daya mineral dan energi. Sedangkan data pembatas lingkungan terdiri dari (a) pembatas alami (data potensi musibah) dan (b) pembatas yang timbul akhir ulah manusia (seperti penurunan kualitas lingkungan). Berbagai data geografis yang beraspek sumber daya alam dan bagian pembatas di atas ditampilkan ke dalam peta-peta tematik atau peta kompilasi yang gampang dibaca dan diketahui oleh para perencana ruang daerah. 
Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa tata cara info sungguh dibutuhkan dan merupakan kebutuhan utama dalam rangka peningkatan mutu penataan ruang, yang dalam rangka itu perlu dikerjakan perluasan cakupan metode isu yang telah ada pada banyak sekali instansi ketika ini menjadi suatu sistim yang terpadu yang menghimpun info mengenai ruang kawasan daratan, ruang kawasan lautan dan ruang udara beserta peluangsumberdaya yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, upaya untuk semakin memantapkan dan mengembangan administrasi tata cara berita dalam pembangunan kawasan menjadi hal yang sungguh mendesak untuk diwujudkan. 
Pelaksanaan aneka macam proyek pembangunan yang diarahkan untuk memantapkan data pokok pembangunan daerah yang bersifat spasial, antara lain dalam bentuk tata cara info geografis (SIG), seperti yang dikembangkan lewat proyek berbantuan luar negeri Land Resources Evaluation and Planning (LREP) dan Marine Resources Evaluation and Planning (MREP), sebetulnya sekaligus telah memperkuat kemampuan kelembagaan dan abdnegara penyusunan rencana di tempat (utamanya Bappeda) di dalam membangun data pokok dan gosip neraca sumber daya alam yang ada di daerah daratan dan wilayah laut. 
Dalam prakteknya, eksistensi SIG matra daratan dan bahari tersebut di masing-masing tempat telah memberikan perlindungan yang sungguh penting terhadap pemerintah daerah di dalam memantapkan penyusunan planning tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah. Pengembangan SIG di kawasan tersebut, tidak cuma melalui penyediaan fasilitas dan prasarana piranti keras dan lunak komputer, tetapi juga sekaligus menembangkan mutu sumber daya pegawanegeri perencana pemerintah tempat melalui kegiatan pembinaan yang dijalankan baik di dalam maupun di luar negeri. Kualitas dan kesiapan sumber daya aparatur perencana di tempat sungguh vital peranannya di dalam menyebarkan dan memelihara (updating) SIG yang sudah disusun, serta sekaligus dalam mengimplementasikan SIG ke dalam rencana tata ruang daerah di wilayahnya masing-masing. 
Hingga ketika ini, peta topografi yang ada yakni peta topografi produk TNI-AD (non-digital) dan peta rupa bumi yang dibuat Bakosurtanal dengan informasi yang kurang terinci. Status terakhir menawarkan bahwa variasi dari kedua produk peta tersebut telah meliputi 65% dari seluruh kawasan Indonesia. 
Dalam rangka penataan ruang, maka peta dasar untuk penataan ruang wilayah bagi setiap tingkatan planning tata ruang adalah: 
  • untuk RTRW nasional, dipakai peta dasar dengan skala 1:1.000.000 yang disusun Bakosurtanal, dan 1:500.000 untuk peta lingkungan bahari nasional (digital); 
  • untuk RTRW propinsi, digunakan peta dengan skala 1:250.000 (digital); 
  • untuk RTRW kabupaten, digunakan peta topografi/rupa bumi dengan skala bermacam-macam antara 1:50.000 (untuk Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi), 1:100.000 (untuk Irian Jaya dan Maluku), hingga 1:25.000 (untuk Jawa-Bali dan Nusa Tenggara). 
  √ 7 Ciri Tindakan Konsumerisme dan Contoh Kasusnya
Sebagaimana diketahui, penyediaan peta-peta tersebut dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Dalam kaitannya dengan lebih memantapkan aktivitas penataan ruang kawasan, maka dalam upaya untuk menanggulangi masalah ketidaktersediaan peta, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan bareng , yakni: 
  • penyeragaman peta dasar yang digunakan dalam penataan ruang wilayah, 
  • kenaikan kesanggupan aparatur dan kelembagaan pemda dalam acara pemetaan dan penataan ruang kawasan. Selain itu, perlu diupayakan pula sinkronisasi dan penyeragaman legenda dan nomenklatur peta, terutama mengenai penggunaan lahan baik yang bersifat biasa maupun yang khusus untuk masing-masing instansi sektoral terkait. 
BEBERAPA ISU PENGELOLAAN (MANAJEMEN) DATA DAN INFORMASI BAGI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DALAM REPELITA VI
Dalam kaitannya dengan penyusunan basis data spasial dan sumber daya alam di tingkat kawasan, selama ini melalui pelaksanaan proyek LREP dan MREP yang dikerjakan pada beberapa daerah sebenarnya telah kian meningkat dan kuatnya basis data spasial tempat, serta sekaligus mendukung upaya penyusunan neraca kependudukan dan lingkungan hidup daerah (NKLD) dan neraca sumberdaya alam dan spasial daerah (NSASD) di masing-masing daerah. Walaupun demikian, eksistensi dari berbagai jenis data spasial tersebut perlu dievaluasi dan dikaji kembali hasilgunanya, utamanya dalam kaitannya dengan upaya pencapaian sasaran acara penataan ruang dan inventarisasi sumber daya alam yang sudah ditetapkan dalam Repelita VI ini. 
Dengan memperhatikan isyarat yang telah dutuangkan dalam Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penyusunan NKLD dan NSASD, maka dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna dari pelaksanaan kedua proyek penyusunan data dasar sumber daya spasial tempat di atas (LREP dan MREP), paling tidak terdapat 3 indikator keberhasilan yang akan dinilai tingkat pencapaian sasarannya, ialah: 
  • berfungsi secara efektifnya Provincial Data Center (Pusat Data Propinsi/PDP) atau Unit Informasi Spasial Propinsi (UISP) sebagai sebuah wadah koordinasi antarinstansi dalam penyusunan rencana pembangunan di masing-masing tempat; 
  • tersusunnya peta zonasi lahan dan kelautan tingkat propinsi dengan skala 1:250.000 sebagai contoh kerangka makro pembangunan di daerah; dan 
  • tersusunnya peta penyusunan rencana semi ditail dengan skala 1:50.000 dan 1:250.000 di areal prioritas proyek LREP-II dan MREP, yang kesemuanya diarahkan untuk mampu dipadukan dan diselaraskan dalam rangka mewujudkan NKLD dan NSASD yang dibutuhkan selaku kerangka acuan makro dan teknis dalam rangka menunjang perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam sebagai peluangpembangunan kawasan. 
Berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan peranan dan fungsi dari Pusat Data Propinsi (PDP) sebagai wadah kerjasama penyusunan rencana dan pengendalian data dasar sumber daya alam spasial untuk pembangunan daerah, terdapat beberapa hal yang perlu diamati selaku berikut: 
  • Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi berbagai data dan info yang terkait dengan pemetaan sumber daya alam dan potensi tempat yang lain. Dalam hal ini, eksistensi dari peta-peta dasar spasial/geografis (SIG) yang telah dihasilkan melalui proyek LREP dan MREP (bagi 10 propinsi pelaksana) serta data pokok pembangunan kawasan perlu dipadukan dan diselaraskan, tergolong dibakukan perangkat lunaknya mirip antara Arc-Info (LREP dan MREP) dengan Delta-9B (data pokok), sebagaimana sudah ditegaskan lewat SE Dirjen Bangda dalam rangka menselaraskan dan menterpadukan pelaksanaan LREP dan MREP dalam rangka menunjang penyusunan NKLD dan NSASD di masing-masing kawasan. 
  • Pertimbangan perlu adanya kerjasama dan optimasi keberadaan dari KPDE (kantor pengolahan data elektronik di dati I dan dati II) yang mengurus SIMDA dalam menunjang SIMDAGRI, yang ditetapkan berdasarkan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 (sebelum dirancangnya pembentukan PDP lewat LREP-II dan MREP). Hal ini termasuk perlu diselaraskan dan diterpadukannya peralatan yang dimiliki oleh PDE dan PDP untuk mampu lebih maksimal dimanfaatkan sebagai wadah kerjasama antarinstansi dalam perencanaan pembangunan kawasan. 
  • Optimasi keberadaan staf perencana di Bappeda dan instansi terkait dati I yang sudah mengikuti kursus dan training perlu terus dijaga, dan diupayakan adanya ‘transfer of knowledge’ dari mereka dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan kegiatan penyusunan NKLD dan NSASD, utamanya pada pasca proyek LREP dan MREP. Selain itu, keberadaan dari beberapa tim teknis perencanaan spasial di Bappeda yang melibatkan staf teknis purnawaktu dan paruhwaktu mirip pada Tim Physical Planning (TPP) dan unit GIS selaku motor pelopor PDP sangat perlu dipertimbangkan kemungkinan pengangkatannya selaku staf organik pemda pada pasca proyek. Selanjutnya, keberadaan dari para konsultan juga harus dimanfaatkan secara maksimal oleh Bappeda, serta sekaligus telah mulai menerima estafet “kepakaran” dari para konsultan, guna menjamin keberlanjutan kegiatan pada pasca proyek. 
  • Masih terkait dengan faktor kelembagaan, eksistensi dari beberapa tim-tim teknis dan koordinatif yang dibentuk dalam proyek LREP dan MREP dan dengan sudah dibentuknya Pusat Data Propinsi, serta Tim Penyusunan NKLD dan NSASD sesuai dengan arahan Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995, perlu diperhitungkan kemungkinannya selaku cikal bakal (embrio) dari rencana pembentukan Tim Koordinasi Tata Ruang Daerah yang dicicipi kebutuhannya sudah makin mendesak baik di dati I maupun dati II. 
  Pemahaman Penawaran (Supplay)
UPAYA PENYEMPURNAAN JUKLAK/JUKNIS PENYUSUNAN BASIS DATA DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan pesatnya laju kemajuan pembangunan tempat, yang memperlihatkan konsekuensi pada perlunya penyesuaian juklak/juknis penyusunan basis data dan isu pembangunan kawasan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhitungkan selaku berikut: 
  • perlunya reidentifikasi basis data dan gosip pembangunan tempat; 
  • pemantapan sumber informasi dan data yang dipakai dalam penyusunan dan pengelolaan data pokok pembangunan kawasan, termasuk dalam meng’update’ dan me’refine’ data pokok yang telah disusun selama ini; 
  • pemasayarakatan data pokok pembangunan tempat kepada ‘users’; dan 
  • perlunya penyempurnaan kepada dasar hukum penyusunan data pokok ialah Inmendagri No. 23 Tahun 1990. 
Selain itu, secara lebih teknis, perlu pula dimantapkan dan disempurnakan: (i) standarisasi peta; (ii) kerjasama data pokok; (iii) sumberdaya insan (brainware), hardware, dan software; dan (iv) pemanfaatan data pokok pembangunan tempat. 
Selanjutnya, dengan menimbang-nimbang beberapa konsideran pokok tersebut di atas, perlu dikerjakan beberapa langkah tindak lanjut yang lebih teknis sifatnya, yang antara lain meliputi beberapa upaya selaku berikut: 
  • Perlu adanya sinkronisasi sumber data dan isu yang dikembangkan acara Delta-9B untuk data pokok, mirip data-data GIS yang sudah dikembangkan lewat LREP-II dan MREP di masing-masing dati I; 
  • Perlu adanya komitmen pemantapan faedah data pokok: apakah hanya menciptakan profil/potret tempat, atau selaku ‘policy input’, atau ‘rencana, implementing, monitoring, and controlling input’?, yang membutuhkan pembedaan kepada output yang dihasilkan; 
  • Perlu adanya janji jenis data pokok yang mau dihasilkan, yang perlu didukung dengan identifikasi/inventarisasi data pokok yang sudah dicakup selama ini dan yang belum dicakup data pokok namun diharapkan dalam upaya penentuan pencapaian target (baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang) pembangunan kawasan; 
  • Perlu kesepakatan untuk menentukan instansi koordinator yang hendak mengkoordinasikan pengelolaan data pokok, utamanya dengan mempertimbangkan keberadaan RTRW dati I dan dati II yang sudah disusun masing-masing; 
  • Perlu ditegaskan ‘time framework/period’ dari data pokok yang dihasilkan, yang diadaptasi dengan ‘sasaran input’nya: apakah jangka panjang, menengah, atau tahunan (khususnya untuk mendukung penyusunan Sarlita)?; 
  • Perlu ditegaskan koordinasi lintasdata, lintassektor, dan lintaslembaga yang perlu dikembangkan, khususnya dengan pendapattersebarnya data dan info yang sudah ada, serta instansi/lembaga dan sektor pengurus data di masing-masing daerah; 
  • Perlu penegasan jalur pelaporan output data pokok dari daerah tingkat II, ke dati I, sampai ke Pusat, serta sekaligus penentuan instansi pengguna dari data pokok tersebut baik di dati I maupun di Pusat; 
  • Perlu adanya penegasan terhadap bantuan pendanaan dari APBD utamanya dalam penyediaan hardware, software, dan brainware untuk me’maintain’ dan meng’update’ data pokok yang telah disusun. 
Selanjutnya dalam kaitannya dengan upaya untuk menyusun peta zonasi lahan dengan skala 1:250.000, perlu didahului dengan integrasi dan pengakuratan (updating) data dan berita yang dijadikan acuan kerjasama penyusunan rencana pembangunan selama ini, seperti data dan berita dari RTRW (utamanya untuk RSTRP dan RUTRK yang disusun sebelum terbitnya UUPR). Selain itu, dengan memikirkan semakin mendesaknya kebutuhan untuk melakukan review dan evaluasi serta penyesuaian terhadap RTRWP dan RTRWK untuk dapat disesuaikan dengan isyarat nasional dalam RTRWN, maka keberadaan dari peta zonasi lahan sangat penting untuk mampu secepatnya dimanfaatkan. 
PEMANTAPAN DATA POKOK DAN INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH MELALUI PENGELOLAAN SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Sejalan dengan upaya di atas, dengan memperhatikan planning pengembangan Sistem Informasi Manajemen Departemen Dalam Negeri (SIMDAGRI) dan SIM Daerah (SIMDA) yang penerapan dan pengembangannya di kawasan telah diinstruksikan kepada Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) di Daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II, tergolong dalam mengantisipasi rencana pengembangan Sistem Komunikasi Depdagri (SISKOMDAGRI) sesuai dengan Kepmendagri No. 20 Tahun 1995 dan Inmendagri No. 5A Tahun 1995 jo. Inmendagri No. 31A Tahun 1996, maka terdapat pula beberapa hal yang perlu diperhitungkan dalam rangka penyempurnaan juklak dan juknis data pokok yang mau datang, adalah: 
  • perlu diciptakan keterkaitan dan prosedur penyampaian/pertukaran data yang efektif antara Bappeda sebagai sentra berita penyusunan rencana spasial dan nonspasial kawasan dengan aneka macam metode yang telah meningkat yang sudah meningkat baik di pusat maupun di tempat pada saat ini, mirip SIMDAGRI, SIMBANGDA, SIMDA, SISKOMDAGRI, SIG (LREP/MREP), dan IPTEK-Net (BPPT), dalam rangka mewujudkan tata cara informasi yang terintegrasi untuk menunjang pembangunan kawasan; 
  • perlunya penterpaduan desain struktur kelembagaan PDC yang akan dibentuk pada dati I dan dati II, serta pusat pelayanan info teknologi di tingkat kecamatan (mirip Pos Pelayanan Teknologi Perdesaan/Posyantekdes yang dikembangkan bareng oleh Ditjen PMD Depdagri dan BPP Teknologi), dengan berbagai forum penyedia dan pengolah data lainnya yang telah ada dan beroperasi di kawasan; 
  • perlunya dipertimbangkan keberadaan aneka macam instansi/dinas di dati I dan dati II di dalam menghasilkan isu dan mengorganisir pengembangan teknologi dalam beberapa sektor buatan tertentu, mirip perindustrian lewat BIPIK dan pertanian lewat BPTP, perlu dipertimbangkan sebagai sebuah aset yang perlu diintegrasikan dalam PDC yang hendak dikembangkan di daerah; 
  • pihak Departemen Dalam Negeri sendiri, khususnya Setjen (Biro Ortala), perlu melaksanakan koordinasi internal di tingkat sentra dalam kaitannya dengan pengembangan SIMDAGRI dan SISKOMDAGRI, yang jika konfigurasi dan desain sistemnya mampu layak dan memungkinkan secara teknis dan hemat, perlu diterpadukan dengan rencana pengembangan PDC dengan sekaligus memaksimalkan eksistensi KPDE dan Kantor Statistik di dati I dan dati II. 
  Manfaat Perdagangan Antarnegara
Dengan demikian, perlu diamati beberapa hal yang perlu diamati dalam pengembangan sistem gosip untuk menunjang proses penyusunan rencana pembangunan daerah yang antara lain meliputi: potensi sumber daya insan, jenis data yang diharapkan, kelembagaan (siapa yang berperan selaku penyedia/sumber data dan pengguna data, serta mekanisme pertukaran info yang dimungkinkan), serta pemilihan teknologi berita yang diubahsuaikan dengan keperluan. Dalam hal ini, peluangpemanfaatan dan pendayagunaan teknologi komunikasi melalui internet dan home page yang sudah dibangun oleh beberapa Bappeda Tingkat I dapat dioptimalkan secara lebih berdayaguna dan berhasilguna. 
UPAYA PENTERPADUAN DATA POKOK DAN SISTEM SISTEM INFORMASI PEMBANGUNAN DAERAH
Dengan mempertimbangkan relatif beragamnya jenis data pokok dan kompleksnya pengelolaan basis data bagi pembangunan kawasan, dalam rangka lebih mengembangkan dayaguna dari basis data dan gosip pembangunan tempat yang diperlukan dalam rangka menyusun suatu masukan bagi penentu kebijakan (policy inputs) di tingkat kawasan, maka diperlukan sebuah upaya penterpaduan aneka macam data dan berita yang bermacam-macam dan tersebar tersebut ke dalam sebuah basis data pembangunan kawasan yang terpadu. 
Dalam rangka itu, perlu diperhatikan beberapa aspek pokok untuk mewujudkan suatu data pokok pembangunan daerah yang terpadu sebagai berikut: 
  • Aspek Kelembagaan. Rencana pembentukan PDC (provincial data center) masih ialah isyu yang hingga saat ini masih belum dapat diwujudkan realisasinya, baik secara fungsional (keproyekan) maupun secara struktural (dalam lingkup Bappeda Tk. I). Untuk itu, dalam Rakorteknas dicoba dibicarakan kemungkinan pengintegrasian komponen dan subkomponen dari proyek LREP dan MREP ke dalam PDC yang dibentuk secara fungsional atau struktural pada Bappeda Tk. I pelaksana. Rencana pembentukan PDC sebagai Pusat Data dan Informasi Keruangan Daerah (PDIKD) tersebut, ialah salah satu sasaran akhir dari pelaksanaan LREP dan MREP di kawasan. 
  • Aspek integrasi internal. Selain upaya untuk mengintegrasikan LREP dan MREP yang didanai lewat pemberian ADB dan mempunyai nuansa substansi yang serupa, sesungguhnya terdapat beberapa data pokok yang lain yang juga dikontrol di Bappeda Tk. I, seperti Neraca Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Daerah (NSDALD) yang juga dikelola oleh Bidang Fispra (seksi LH), serta Data Pokok Pembangunan Daerah yang dikelola oleh Bidang Statistik dan Pelaporan Bappeda Tk. I. Selama ini, eksistensi dari kedua data pokok di atas belum diamati dan diupayakan penterpaduannya dengan data spasial matra darat dan matra maritim yang dihasilkan LREP dan MREP, mengingat pengelolaan LREP dan MREP yang masih sungguh berorientasi pada proyek 1).. 
  • Integrasi secara eksternal. Selain dari aneka macam data yang dikontrol dalam lingkup Bappeda di atas, terdapat pula data pokok yang lain yang juga dikembangkan di daerah melalui instansi Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) yang berada di bawah koordinasi Setwilda Tk. I, yang selama ini mengelola/mengolah data-data yang terkait dengan pengembangan SIMDA (tata cara gosip daerah) sesuai dengan Kepmendagri No. 45 Tahun 1992 tentang Pembangunan SIMDAGRI dan SIMDA. Namun demikian, mengenang jenis data yang dimasak KPDE relatif bersifat administratif, seperti data kepegawaian, data keuangan, dan data perlengkapan yang diharapkan dalam lingkup Setwilda, maka upaya pengintegrasian PDC dengan KPDE perlu dikaji lebih lanjut kompatibilitas dan kelayakannya (klarifikasi secara diagramatis pada skema 1 terlampir). 
  • Aspek legalitas/formalitas. Kelembagaan PDC sampai saat ini belum formal terbentuk, walaupun secara fungsional sudah mempekerjakan staf proyek yang bekerja secara fungsional keproyekan (non-struktural). Untuk itu diharapkan sebuah upaya pemantapan status dari PDC, apakah sebagai sebuah lembaga struktural yang secara struktural melekat dalam struktur Bappeda atau secara fungsional terpisah sebagai institusi tersendiri di luar Bappeda. Namun demikian, bila opsi yang kedua (fungsional terpisah) yang hendak diseleksi, maka perlu dipertimbangkan eksistensi KPDE yang sudah dibuat melalui dasar hukum yang berpengaruh (Kepmendagri). Maka opsi berikutnya akan menjadi, membuat institusi tersendiri atau melakukan integrasi PDC ke dalam KPDE yang perlu diperluas cakupannya dan dikembangkan fungsinya. Apabila memungkinkan, juga perlu dipertimbangkan pembentukan PDC selaku suatu profit institution yang dapat memproduksi data dan peta dasar bagi kalangan dunia perjuangan di daerah, yang penerimaannya selain mampu dipakai untuk insentif staf PDC juga dapat sekaligus meningkatkan pemasukan asli kawasan. 
  • Aspek sumberdaya insan. Dengan mengamati bahwa salah satu bagian pokok dari LREP dan MREP adalah dalam kenaikan mutu aparatur perencana di kawasan dalam faktor keruangan (matra darat dan bahari) melalui acara training baik di dalam maupun mancanegara, maka yang diperlukan dalam fase pasca pembinaan ialah melaksanakan transfer of knowledge atau carry over terhadap staf perencana yang lain di Bappeda yang terkait dengan planning pengelolaan sumberdaya lahan dan pesisir. Namun demikian, realita di lapangan memperlihatkan bahwa sekitar 20% dari pegawanegeri yang telah dilatih tersebut ternyata mengalami penawaran spesial dan/atau mutasi sehingga tidak dapat menerapkan asil pelatihannya secara berdayaguna dan berhasilguna untuk lingkup keproyekan maupun kelembagaan. Dengan demikian, nilai tambah yang diperoleh lebih bersifat perorangan dan bukan nilai tambah kelembagaan. Untuk itu, planning pembentukan PDC sebagai wadah yang dapat mendayagunakan pegawapemerintah yang sudah dilatih menjadi makin penting, lewat lembaga yang bersifat fungsional (non-struktural) dan mempekerjakan staf fungsional yang dapat ditugaskan secara purnawaktu.