Pengaruh Metode Dongeng Interaktif Untuk Meningkatkan Moral Judgement Pada Anak Usia 5-6 Tahun
Pranoto (2011) menerangkan pada tahun-tahun terakhir masih banyak perkara pada anak dengan berbagai sikap yang memberikan kualitas akhlak yang rendah mirip kebohongan, licik, egois, dan melaksanakan kekerasan kepada teman yang lemah atau yang sekarang familiar dengan perumpamaan bullying. Anak-anak tumbuh dan meningkat dalam kehidupan yang diwarnai oleh pelanggaran terhadap hak orang lain, kekerasan, pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan antara benar dan salah, baik dan tidak baik, perilaku yang boleh dan dihentikan dijalankan.
Anak-anak sungguh membutuhkan pengalaman kepada pengetahuan ihwal apa yang disebut tindakan benar dan salah. Keputusan untuk menciptakan penilaian ihwal benar dan salah ialah salah satu bab dari moral judgement (pertimbangan susila). Menurut Sarbaini (2012) susila judgement ialah manifestasi untuk membuat kesimpulan atau keputusan wacana sesuatu, baik yang berhubungan dengan banyak sekali persoalan/pertentangan adab antara hal yang harus menjadi kenyataan, maupun yang berhubungan pula dengan pihak lain, antara lain Tuhan, manusia lain dan diri sendiri.
Metode dongeng adalah suatu alat yang kuat untuk memajukan susila judgement antara diri dan orang lain. Moral judgement mampu ditingkatkan lewat pola-teladan perbuatan. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Fitro (dalam Ahyani, 2012) bahwa salah satu cara yang efektif untuk membantu bawah umur kita mengubah budpekerti mereka menjadi aktual yakni mengajar perilaku tabiat dengan pola.
Salah satu pola sederhana yang mampu dijalankan adalah dengan cerita. Ironisnya dimasa sekarang acara mendongeng jarang mampu dilakukan oleh kebanyakan orang renta. Peran dan fungsinya telah banyak tergantikan oleh tayangan televisi dan permainan terbaru lainnya. Padahal berbagai faedah yang dapat diambil dari aktivitas mendongeng. Setiadi (2010) mengatakan “Character Building melalui kegiatan mendongeng atau bercerita saat ini telah jarang dilaksanakan, padahal dengan mendongeng atau bercerita ialah salah satu cara efektif untuk membentuk kepribadian anak menjadi generasi yang handal dimasa depan”.
Berdasarkan hal-hal diatas peneliti merasa tertarik untuk melaksanakan observasi eksperimental dengan judul : Pengaruh Metode Dongeng Interaktif Untuk Meningkatkan Moral Judgement Pada Anak Usia 5-6 Tahun. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah mengetahui imbas tata cara dongeng interaktif untuk mengembangkan budpekerti judgement pada anak usia 5-6 tahun.
Terkait dengan peran pertumbuhan susila permulaan abad kanak-kanak Hurlock (1991) menjelaskan:
Pengetahuan perihal benar dan salah masih terbatas pada suasana rumah dan harus diperluas dengan pengertian benar dan salah dalam relevansinya dengan orang-orang di luar rumah terutama di lingkungan tetangga, sekolah dan sahabat bermain. Lebih penting lagi belum dewasa mesti meletakkan dasar-dasar untuk hati nurani selaku tutorial untuk sikap benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai sumber motivasi bagi anak-anak untuk melaksanakan apa yang diketahuinya selaku hal yang salah bilamana mereka sudah terlalu besar untuk senantiasa diawasi orang bau tanah atau pengganti orang bau tanah.
Menurut Soetjiningsih (2012) bawah umur berada pada pertumbuhan fatwa praoperasional, sehingga pertumbuhan moralnya masih terbatas. Hurlock (1991) juga mengatakan hal yang serupa bahwa pertumbuhan susila pada awal kurun kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan intelektual anak-anak belum meraih titik di mana ia mempelajari atau menerapkan prinsip-prinsip abstrak wacana benar dan salah.
Moral bagi Kohlberg dibatasi oleh satu konstruk lain yang disebut pertimbangan (judgment). Moral judgement (pertimbangan akhlak) merupakan manifestasi untuk menciptakan kesimpulan atau keputusan perihal sesuatu, baik yang berhubungan dengan aneka macam dilema/konflik watak antara hal yang harus menjadi realita, maupun yang bekerjasama pula dengan pihak lain, antara lain Tuhan, insan lain dan diri sendiri (Sarbaini, 2012).
Kohlberg dalam Santrock (2002) menyampaikan sebelum usia 9 tahun, kebanyakan belum dewasa berpikir tentang duduk perkara adab dengan cara yang prakonvensional. Kohlberg (dalam Omrod, 2008) menjelaskan tahap pertumbuhan susila pada tingkat pre-kovensional:
1. Hukuman-pengindaran dan kepatuhan (Punishment-avoidance and obedience)
Tahap hukuman-pengindaran dan kepatuhan merupakan tahap akal budi budpekerti dimana orang akan menciptakan keputusan menurut apa yang terbaik bagi mereka, tanpa menimbang-nimbang kebutuhan atau perasaan orang lain. Perilaku yang salah yaitu sikap yang akan menerima hukuman.
2. Saling memberi dan mendapatkan (Exchange of favors).
Mereka mungkin menjajal membuat puas kebutuhan orang lain apabila keperluan mereka sendiri pun akan tercukupi melalui perbuatan tersebut (“bila kau mau memijat punggungku; saya pun akan memijat punggungmu”). Mereka masih mendefenisikan yang benar dan yang salah berdasarkan konsekuensinya bagi diri mereka sendiri.
Moral ialah wilayah yang luas dan bermacam-macam. Ada berbagai macam-macam tabiat pada belum dewasa. Dalam penelitian ini akan konsentrasi pada faktor nilai etika bahu-membahu, meminta dan menawarkan maaf, jujur dan mengucapkan terimakasih. Adapun definisi kelima nilai etika diatas berdasarkan kamus besar bahasa indonesia (2012) ialah selaku berikut:
- Tolong-membantu adalah saling membantu untuk mengendorkan beban (penderitaan, kesukaran, dsb) atau saling membantu biar mampu melakukan sesuatu.
- Meminta maaf adalah istilah undangan ampun atau penyesalan.
- memperlihatkan maaf ialah memberi ampun atas kesalahan
- Jujur adalah lurus hati; tidak berbohong (misal dengan berkata apa adanya)
- Mengucapkan terimakasih yaitu mengeluarkan ucapan/perkataan rasa syukur.
Bagi anak prasekolah, perilaku prososial timbul untuk memperoleh timbal balik dari rekan-rekannya (Hastings, dkk 2007). Perilaku prososial seperti gotong royong, meminta dan memberikan maaf, jujur dan mengucapkan terimakasih dapat membuat lebih mudah anak untuk bekerjasama dalam bermain dengan lingkungan sosialnya. Anak-anak harus berguru untuk bertindak dengan cara tertentu supaya mampu diterima secara sosial untuk bergaul dengan baik dalam penduduk . Hurlock (1991) mengungkapkan bentuk perilaku sosial yang paling penting untuk adaptasi sosial yang sukses terlihat dan mulai berkembang dalam periode ini. Periode ini merupakan tahap kemajuan yang kritis karena pada kurun inilah dasar sikap sosial dan contoh perilaku sosial dibentuk.
Danandjaja (1986: 83) menjelaskan:
Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesustraan ekspresi. Selanjunya kisah ialah dongeng prosa rakyat yang tidak dianggap betul-betul terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (tabiat), atau bahkan sindiran. Dalam anggapan pada umumnya orang, cerita sering dianggap selaku dongeng perihal peri. Dalam kenyataannya banyak dongeng yang tidak mengenai peri melainkan kisah atau plotnya perihal sesuatu yang masuk akal.
Kusmiadi dkk, (2008) menyebutkan “pembelajaran dengan menggunakan tata cara kisah di PAUD harus menggembirakan dan menarik, tidak kaku, tidak menjemukan dan memperlihatkan kesempatan kepada anak untuk aktif dan kreatif”. Larkin (Marina & Sarwono, 2007) mengungkapkan bahwa mendongeng yaitu pertunjukkan seni yang interaktif, adalah aktivitas dua arah antara pendongeng dan audiens, didasarkan pada interaksi dan koordinasi untuk membangun suatu dongeng yang utuh.
Untuk itu dalam observasi ini metode yang dipilih yaitu cerita interaktif. metode dongeng interaktif adalah menyampaikan karya seni berupa dongeng yang tidak betul-betul terjadi atau dongeng prosa rakyat dengan melibatkan keahlian olah dongeng yang bagus dan melibatkan komunikasi yang interaktif, dimana didasarkan pada interaksi timbal balik dan kerjasama untuk membangun suatu dongeng yang utuh antara anak dan pendongeng.
Pemilihan kisah mesti mengamati beberapa faktor penting biar acara mendongeng mempesona bagi anak. Kusmiadi dkk (2008) menjelaskan:
Pemilihan kisah mesti berdasarkan patokan-tolok ukur tertentu yaitu: 1) mesti menarik dan memikat perhatian pendongeng sendiri, bila dongeng mempesona dan menarik perhatian maka pendongeng akan tekun dan mengemas cerita dengan mengasikkan. 2) cerita mesti sesuai dengan kepribadian anak, gaya anak, dan bakat anak semoga memiliki pesona terhadap perhatian anak dan keterlibatan aktif dalam kegiatan mendongeng. 3) kisah sesuai dengan tingkat usia dan kesanggupan mencerna isi kisah anak usia dini. 4) cerita cukup pendek dalam rentang jangkaun waktu perhatian anak. Anak tidak dituntut untuk menyimak dongeng kisah diluar batas ketahanan untuk mendengarkan.
Pada penelitian jenis kisah yang dipilih yaitu kisah hewan/fabel. Dananjaja (dalam Nugraha 2012) menjelaskan kisah hewan yakni kisah yang tokoh-tokohnya adalah hewan peliharaan dan hewan liar yang mampu mengatakan dan dapat bertingkah mirip manusia. Dongeng binatang sering di sebut juga kisah fabel. Secara spesifik, fabel yakni cerita binatang yang mengandung pelajaran akhlak yakni anutan baik atau buruknya suatu tindakan.
Menurut Widyasari (2012) dalam mendongeng dongeng disampaikan dengan banyak sekali aspek seperti ekpersi, suara, penokohan, gerak badan. Dongeng yang dibawakan dengan teknik komunikasi tersebut akan lebih menarik minatanak. Fakhrudin (2003) menjelaskan teknik-teknik mendongeng sebagai berikut:
1) Akting
Akting merupakan gerak-gerik pendongeng, baik mimik ataupun pantomimik, dipangung atau kelas untuk mengekspresikan atmosfer dongeng dan tabiat bermain.
2) Gesture dan Business
Gesture hakikatnya gerak (anggota) tangan yang bekecil-kecil yang dimaksudkan untuk memperkuat akting dalam rangka mengekspresikan budbahasa atau keadaan emosi tertentu. Business merupakan gerak pendongeng yang dijalankan untuk memperkuat adegan dan akting. Misalnya, untuk menggambarkan kegelisihan pendongeng berjalan mondar-mandir.
3) Ekspresi Wajah
Yang sungguh penting perananannya untuk ekspresi wajah adalah mata. Untuk menawarkan aneka macam lisan emosi matalah yang sangat mayoritas. Orang murka, bangga atau binggung dan sebagainya mampu ditunjukkan lewat pandangan pendongeng.
4) Posisi dan gerak kaki
Kaki mempunyai posisi memperkuat adab dan emosi pendongeng. Dengan posisi tegak lurus misalnya, mungkin sedang mengekspresikan ketegasan perilaku saat menghadapi problem. Gerak kaki bermacam-macam. Namun, yang perlu dikenang ialah kesesuaian dengan moral dan keadaan emosi yang diperankannya. Gerak kaki dalam keadaan wajar yang biasa yakni melangkah maju. Namun dalam kondisi terdesak, takut, atau terkejut kaki dapat digerakkan mundur.
Dengan memakai teknik di atas, dongeng interaktif ini akan dibawakan secara monoplay. Kusuma (2009) menerangkan:
Dalam monoplay, bintang film mesti bermain drama seorang diri. Kadang beliau jadi tokoh tertentu namun pada satu ketika beliau menjadi tokoh yang lain. Dengan bermain seorang diri, pemeran dituntut untuk bermain secara prima. Eksplorasi yang dilakukan tidak cuma tertuju pada satu abjad atau satu ekspresi namun semua karakter dan verbal yang ada dalam cerita mesti ditampilkan secara proporsional.
Awal kala kanak merupakan waktu yang tepat untuk bawah umur berguru dan bersosialisasi dengan dunia luar, selain lingkungan rumah. Pada dikala membuat korelasi dengan orang lain, bawah umur sedikit demi sedikit demi tahap berguru mengembangkan perilaku yang tepat agar diterima oleh lingkungannya. Ahyani (2012) menjelaskan seorang anak perlu dibimbing dan diberi stimulasi biar mampu mengerti berbagai hal ihwal kehidupan dunia dan segala isinya.
Salah satu stimulasi yang diharapkan dan penting untuk anak yaitu memiliki pertimbangan akan nilai-nilai watak. Kak seto (dalam Sukmaya, 2013) berpendapat bahwa kisah mempunyai banyak manfaat diantaranya adalah mampu melatih daya pikir anak, bersosialisasi, mengasah kreativitas, memupuk rasa keindahan dan kehalusan kebijaksanaan, kepekaan sosial, mengakibatkan daya kritis, jendela pengalaman bagi anak, melatih kesanggupan bahasa anak, mengakibatkan multiple intelegence belum dewasa dan mengandung hiburan.
Musfiroh ( dalam suwangsih, 2011) mengemukakan selaku berikut:
Cerita merupakan salah satu tata cara pembelajaran budpekerti yang cocok untuk anak disamping modeling atau contoh bertindak. Nilai sopan santun dalam dongeng dapat dikenali anak karena simbolisasi nilai-nilai melibatkan dua hal sekaligus, adalah gambaran insiden dan kesimpulan yang ditarik pada simpulan cerita. Melalui konflik kisah anak mencar ilmu menyelaraskan hak dan keharusan, berguru mengidentifikasi apa yang dialami tokoh dengan insiden di lingkungannya. Moral bagi anak identik dengan penyelesaian pertentangan antara kepentingan diri dan lingkungannya (Kohlberg, 1979). Moral cerita melibatkan pertarungan baik dan buruk dalam kehidupan tokoh, dan menjadi “pelajaran” yang cukup penting bagi anak. Cerita merangsang anak mengkonstruksi nilai-nilai apa yang dianut dalam agama dan masyarakatnya, perilaku yang dipuji, dan perilaku yang dihentikan.
Mendongeng memiliki banyak kegunaan di dalam pendidikan anak. Dia menyimpulkan bahwa dongeng menawarkan suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang menjadikan anak mampu membentuk pengalaman menjadi keseluruhan yang mampu mereka pahami. Dongeng mengakibatkan mereka mampu memetakan secara mental pengalaman dan menyaksikan gambaran di dalam kepala mereka (Collin, dalam Ahyani 2012). Hal ini sesuai dengan pertumbuhan kognitif anak dimana pada kurun ini berdasarkan teori Piaget pertumbuhan kognitif anak awal masa kanak-kanak masuk dalam tahap praoperasional. Pemikiran praoperasional merupakan permulaan kesanggupan untuk merekonstruksi pada tingkat ajaran dasar mengenai apa yang telah dijalankan di dalam perilaku.
Sanchez dkk. (2009) mengungkapkan kekuatan utama strategi cerita adalah menghubungkan rangsangan lewat penggambaran abjad. Dongeng memiliki potensi untuk memperkuat imajinasi, memanusiakan individu, memajukan tenggang rasa dan pemahaman, memperkuat nilai dan budbahasa, dan merangsang proses pedoman kritis/kreatif. Hidayat (2009) juga menjelaskan bahwa dongeng yang mengandung sisi imajinatif yang tinggi dapat membantu anak menelaah insiden sesuai dengan batas-batas imajinasinya.
Perkembangan rasa ingin tahu anak sesuai dengan sistem dongeng interaktif dimana metode ini mampu menstimulasi anak untuk aktif mengungkapkan pendapatnya wacana cerita yang diberikan. Menurut Soetjinigsih (2012) “pada usia 4-7 tahun anak masuk dalam subtahap pedoman intuitif, yakni anak mulai memakai penalaran primitif dan ingin tahu balasan atas semua pertanyaan”. Menurut Elkind (dalam Soetjiningdih, 2012) “karakteristk lain belum dewasa pada tahap praoperasional yaitu mereka suka menanyakan serentetan pertanyaan yang dimulai semenjak kira-kira usia tiga tahun dan pada usia lima tahun mereka mulai menciptakan orang-orang cukup umur disekitarnya menjadi lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa’ mereka”.
Soetjinigsih (2012) menerangkan menurut teori pemrosesan emosi, anak prasekolah telah mampu memusatkan perhatian dan pikirannya dalam rentang waktu yang agak panjang pada suatu kegiatan. Namun perhatian mereka masih terpusat pada hal-hal yang menarik perhatian Dalam hal ini kisah yang dibungkus dengan baik pasti dapat menarik perhatian anak-anak sehingga akan mempermudah anak untuk berfokus.
METODE
Partisipan
Jumlah subjek pada penelitian ini adalah 20 anak, dengan catatan sebelumnya terdapat 40 anak yang berusia 5-6 tahun, kemudian dijalankan pretest untuk dilihat adab judgement tiap anak. Bagi anak yang mempunyai tabiat judgement sungguh tinggi tidak diikutkan lagi dalam observasi berikutnya. Setelah dikerjakan pretest terdapat 20 anak yang masih mempunyai moral judgement dalam kategori sangat minim, rendah dan tinggi yang diikutkan dalam observasi berikutnya.
Desain Penelitian
Adapun rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah nonrandomized pretest-posttest control group design. Pretest dan posttest merupakan tes yang sama semoga kesudahannya mampu diperbandingkan. Pretest memberitahukan kesanggupan permulaan (initial position) para subjek sebelum dilaksanakan penelitian, atau dengan kata lain adalah proactive history mereka. Sedangkan posttest yaitu tes yang dikerjakan setelah diberi perlakuan. Sehinga nantinya skor yang diperoleh ialah peningkatan/penurunan variabel terikat adalah peningkatan atau penurunan moral judgement anak akibat dilakukannya observasi.
Alat Ukur
Instrumen yang dipakai dalam observasi ini yakni aliran wawancara dan pedoman eksperimen mendongeng interaktif. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan seputar kisah-cerita dilema moral seputar tahap kemajuan etika prakonvensional awal abad kanak-kanak. Jenis wawancara yang dipakai dalam penelitian ini yakni wawancara semi terencana.
Karena penelitian memakai metode statistik maka data harus berbentukangka mirip yang dikemukakan Arikunto (dalam Sari 2010) bahwa “Bagi peneliti yang menginginkan mengolah data dengan tata cara statistik, maka datanya harus berbentukdata kuantitatif, yaitu berupa angka-angka”. Oleh karena itu data dalam observasi ini harus diubah menjadi data kuantitatif dengan cara tunjangan skor (Sari, 2010).
Seperti yang diterangkan Santrock (2002) bahwa Kohlberg percaya terdapat tiga tingkat perkembangan watak, yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Dari penjelasan Santrock tersebut, maka dalam observasi ini skor tertinggi yakni 2 ialah yang mempunyai pertimbangan etika pre-konvensional saling memberi dan mendapatkan dan skor 1 yaitu yang mempunyai pertimbangan akhlak pre-konvensional eksekusi-pengindaran dan kepatuhan sedangkan skor 0 yakni tanggapan yang tidak mempunyai pertimbangan etika pre-konvensional. Sama halnya seperti rating scale sumbangan skor ini akan menciptakan hasil selesai berupa skor yang selanjutnya akan dapat dijalankan analisis statistik.
Adapun pedoman eksperimen mendongeng disusun untuk memudahkan aktivitas mendongeng agar sesuai dengan karakteristik dan perkembangan anak. Pedoman eksperimen mendongeng interaktif dalam penelitian ini mencakup nilai sopan santun dongeng ditinjau dari faktor pertumbuhan sopan santun Kohlberg, pemilihan bahasa, media yang dipakai dalam mendongeng, langkah-langkah mendongeng interaktif, isi cerita kisah dan instrumen wawancara.
Prosedur Penelitian
Pemilihan subjek dikerjakan menurut kalangan-kalangan yang sudah tersedia. Kelompok kelas dipilih berdasarkan perkiraan peneliti bahwa kedua kalangan yakni homogen Sehingga pemilihan subjek ditetapkan kelas B2 dan kelas A1 selaku kalangan ekperimen sedangkan kelas B1 dan A2 selaku kalangan kontrol. Penelitian ini melibatkan 4 kelas, dikarenakan penelitian dikerjakan pada pedoman semester genap sehingga rentang usia 5-6 tahun tidak lagi berada pada satu kelas.
Setelah membagi kelompok kontrol dan kelompok ekperimen dengan jumlah subjek pada tiap kalangan ialah 20 anak. Hal berikutnya adalalah melaksanakan pretest berbentukwawancara semi teratur kepada subjek tiap kalangan. Pelaksanaan pretest dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2013.Hasil wawancara digunakan untuk melaksanakan tata cara cutoff, dimana subjek yang mempunyai skor moral judgement yang sangat tinggi tidak dimasukkan lagi sebagai subjek dalam observasi ini.
Pada kalangan kontrol subjek yang menyanggupi standar untuk diikutkan dalam observasi berikutnya yakni 12 subjek dan pada kelompok ekperimen menjadi 13 subjek. Namun pada saat perlakuan kegiatan mendongeng, 2 subjek dalam kelompok eksperimen menolak untuk ikut serta dan 1 subjek tidak masuk sekolah sehingga subjek pada kalangan ekperimen menjadi 10 subjek dan kalangan kendali menjadi 10 subjek yang diikutkan dalam observasi.
Tahap perlakuan berjalan selama dua hari pada tanggal 26-27 Maret 2013. Pada tanggal 26 Maret bahan kisah yang diberikan yaitu kisah Belalang, Jangkrik dan Semut. Pada pelaksanaan perlakuan selanjutnya adalah pada tanggal 27 Maret bahan cerita yang diberikan yakni dongeng Singa dan Tikus. Masing-masing cerita dibawakan selama kurang lebih 15 menit.
Setelah diberikan perlakuan, maka pada tanggal 28 Maret 2013 subjek dari kalangan kendali dan kelompok ekperimen diberikan postets berbentukwawancara semi terstrusktur dengan instrumen pertanyaan yang serupa. Tahap final dijalankan dengan membandingkan hasil pretest-posttest antara kalangan kendali dan kalangan eksperimen.
HASIL
Pelaksanaan mendongeng interaktif pada kelompok eksperimen pada tanggal 26 Maret 2013 berlangsung tanpa gangguan, sedangkan pada pelaksanaan kedua ialah tanggal 27 Maret 2013 kegiatan mendongeng mundur dari jadwal yang ditetapkan. Pada pelaksanaan hari kedua, pada pertengahan kegiatan mendongeng beberapa anak tampakmengamati tetapi ada beberapa anak terkandang menjadi tidak fokus memperhatikan pendongeng.
Pada golongan kendali ditemukan hasil mean skor pretest sebesar 6,4 dengan tolok ukur deviasi sebesar 1,43 dan mean skor posttest sebesar 7,5 dengan kriteria deviasi sebesar 1,18. Pada kelompok eksperimen didapat mean skor pretest sebesar 5,50 dengan standar deviasi sebesar 1,27 dan mean pada skor posttest sebesar 8,10 dengan persyaratan deviasi sebesar 2,02.
Hasil uji wilcoxon signed rank test pada kelompok kontrol didapatkan nilai dengan signifikansi .088. Oleh karena itu signifikansi thitung lebih dari 0,05 (sig >0,05), maka dapat dimengerti bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikansi dari mean skor pada pretest dan posttest. Hasil uji wilcoxon signed rank test pada kelompok eksperimen didapatkan nilai dengan signifikansi 0,028. Oleh karena itu signifikansi thitung kurang dari 0,05 (sig <0,05), maka dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikansi dari mean skor pada pretest dan posttest.
Setelah melakukan perhitungan uji wilcoxon signed rank test, maka untuk menyaksikan apakah perbedaan yang ditimbulkan sungguh-sungguh dipengaruhi oleh variabel bebas maka dijalankan uji eta. Hasil uji Eta memperlihatkan signifikansi sebesar 0,202. Signifikansi thitung lebih dari 0,01 sehingga tidak terdapat imbas yang signifikan terhadap metode cerita interaktif untuk mengembangkan tabiat judgement.
DISKUSI
Hasil analisis statistik pada penelitian ini memberikan data kasar dari kalangan eksperimen dengan peningkatan nilai pretest-posttest. Pada kelompok kendali tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari mean skor pretest-posttest. Hal itu diperkuat dengan analisis uji wilcoxon signed rank test yang memperlihatkan pada golongan eksperimen terdapat perbedaan signifikan dari mean skor pada pretest dan posttest sedangkan pada golongan kontrol tidak terdapat perbedaan yang signifikansi dari mean skor pada pretest dan posttest.
Hasil diatas sesuai dengan pendapat Horn (Ahyani 2010) yang menyatakan bahwa cerita mempunyai kemampuan untuk menciptakan lingkungan mencar ilmu yang benar untuk siswa anak usia dini. Selain itu, tata cara kisah dapat dijadikan selaku media membentuk kepribadian dan moralitas anak usia dini. Hamilton dan Weiss (2005) juga menjelaskan bahwa bercerita merupakan proses membangun cerita dalam pikiran, yakni pada cara yang paling fundamental untuk membuat makna dan mencakup faktor pembelajaran.
Sebelumnya peneliti sudah menertibkan variabel sekunder yang kemungkinan mampu mensugesti penelitian. Beberapa hal yang telah diatur peneliti yang pertama yaitu memutuskan skoring 0,1,2 pada balasan anak untuk membuat lebih mudah interviewer mengkategorikan balasan responden, menyamaratakan fatwa dalam menskoring pada tiap interviewer, menetapkan lokasi mendongeng yakni tempat yang tidak menciptakan golongan kendali mengetahui kegiatan mendongeng, waktu mendongeng yaitu waktu yang kondusif ialah pada jam-jam pagi maksimal pada jam 9, kisah juga sudah dijalankan oleh pendongeng yang telah menguasai dan sudah sering melakukan aktivitas mendongeng, serta menentukan tempak duduk anak golongan eksperimen. Karena keterbatasan daerah, maka pada kelas mendongeng anak-anak yang berada pada kelas B2 ikut serta dalam acara mendongeng, sehingga bawah umur yang masuk dalam subjek eksperimen berada di barisan depan untuk membuat lebih mudah pendongeng melakukan komunikasi dan perhatian terhadap golongan eksperimen.
Setelah dianalisa memakai wilcoxon, maka untuk memutuskan apakah terdapat korelasi sistem cerita interaktif untuk memajukan sopan santun judgement anak usia 5-6 tahun dikerjakan perkiraan lewat uji eta. Uji eta menandakan bahwa sistem dongeng interaktif pada penelitian ini ternyata tidak berpengaruh secara signifikan untuk mengembangkan budbahasa judgement pada anak usia 5-6 tahun.
Terdapat beberapa hal yang tidak mampu dikontol oleh peneliti dan kemungkinan berpengaruh dalam observasi yakni perbedaan derajat pinjaman skor yang dijalankan oleh masing-masing interviewer, perbedaan respon atau penerimaan subjek kepada kehadiran interviewer sebagai orang gres, pretest-postest dilakukan pada waktu yang berlainan, perbedaan kognitif juga kemungkinan kuat. Dimana perkembangan kognitif anak dalam merespon sesuatu hal tidak sama antara satu anak dengan anak lainnya, sehingga akan menghipnotis pesan yang ada dalam cerita dan ketelambatan kegiatan mendongeng
Selain tata cara dongeng, terdapat beberapa sistem yang dapat dipakai untuk berbagi akhlak judgement anak atau utuk memperkenalkan nilai sopan santun pada anak. Menurut Murdiono (2007) tata cara penanaman nilai watak sangat beraneka ragam dan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Beberapa metode yang dapat digunakan yaitu tata cara bersajak atau syair, metode bermain, bermain peran, dan teladan.
Beberapa tata cara lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan susila judgement anak yang mampu disesuaikan dengan karakteristik subjek, keadaan lingkungan kemajuan anak sehingga tujuan untuk mengembangkan sopan santun judgement anak dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyani, Latifah Nur. 2012. Meningkatkan Perkembangan Kecerdasan Moral Anak Usia
Prasekolah dengan Metode Dongeng. Jurnal disajikan dalam seminar Nasional Psikologi Islami, Surakarta. (Online), (publikasiilmiah.ums.ac.id/…/D1.%20Latifah UMK%20(fixed).pdf?…1), diakses 19 Oktober 2012.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineke Cipta
Danandjaja, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:Pustaka Grafitipers.
Fakhrudin, Mohammad. 2003. Cara Mendongeng. Disajikan Pada Pelatihan Teknik Mendongeng bagi Guru Taman Kanak-Kanak se-Kabupaten Purworejo 16 Desember 2003. (Online), (www.umpwr.ac.id/download/postingan/Cara%20Mendongeng.pdf ), diakses 10 April 2013.
Hastings, Dkk. 2007. The Socialization Of Prosocial Development. (Online) (www.cmb.ucdavis.edu/people/pdhphd/pdfs/HoS%20Hastings%20Utendale%20-%20Sullivan.pdf), diakses 27 September 2012.
Hamilton, Martha & Weiss, Mitch. 2005. The Power Of Storytelling In The Classroom. (Online), (www.rcowen.com/…/CTS%20Ch%201%20for%2… ), diakses 23 November 2012.
Hidayat, Arif. 2009. Pengaruh Dongeng Dalam Masa Kanak-Kanak Terhadap Perkembangan Seseorang. Jurnal Studi Gender & Anak, (Online), Vol.4 No.2 : 335:344, (http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/download/109/108 ), diakses 23 November 2012.
Hurlock, Elizabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Kusuma, Afandi.2009. Monolog:(Online), ( ), diakses 25 Januari 2013.
Kusmiadi, Ade dkk. 2008. Stategi Pembelajaran Paud Melalui Metode Dongeng Bagi Pendidik PAUD. Jurnal Imiah VISI PTK-PNF-. (Online), Vol.3. No.2: 198-200. (http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=38765..), diakses 27 September 2012.
Marina, Lia & Sarwono, Sarlito W. 2007. Kecerdasan Emosional Pada Orang Tua Yang Mendongeng Dan Tidak Mendongeng. Jurnal Psikologi Sosial. (Online), VoL. 13 No. 02 (himcyoo.files.wordpress.com/…/kecerdasan-emosional-pd-org-tua-yg-td…, diakses 19 Januari 2013).
Murdiono, Mukhamad. 2007. Metode Penanaman Nilai Moral Untuk Anak Usia Dini, (Online), (staff.uny.ac.id/…/B1-JURNAL%20KEPENDIDIKAN-LEMLIT%20UNY….), diakses 27 September 2012.
Nugraha, Chynthia Ratna. 2012. Keefektifan Penerapan Teknik Bercerita Berpasangan dalam Pembelajaran Apresiasi Dongeng yang diperdengarkan. (Online), (http://repository.upi.edu/operator/upload/s_ind_0807241_chapter2.pdf )diakses 10 April 2012.
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan: Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang. Jakarta: Erlangga
Pranoto, Yuli Kurniawati Sugiyo.2011. Kecerdasan etika anak usia prasekolah, (Online), (http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/edukasi/article/view/962 ), diakses 27 September 2012.
Sanchez , Tony . 2009. Story-Telling As An Effective Strategy In Teaching Character Education In Middle Grade Social Studies. Journal for the Liberal Arts and Sciences, (Online), 13(2) :14. (www.oak.edu/…/Sanchez_Zam_Lambert_JLAS_S… ), diakses 23 November 2012.
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Erlangga
Sarbaini. 2012. Model Pembelajaran Berbasis Kognitif Moral Dari Teori Ke Aplikasi. Yogyakarta:Aswaja Presindo
Sari, Anna Juwita Puspita. 2010. Hubungan Antara Patoh (Kepatuhan) dan Todus (Malu) Dengan Pengambilan Keputusan Menikahkan Anak Pada Usia Dini. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Ppsi UM
Setiawan, Epta. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus model online/daring (dalam jaringan) (Online), (http://kbbi.web.id/), diakses 26 Maret 2013
Soetjiningsih, Christiana Hari. 2012. Seri Psikologi Perkembangan: Perkembangan Anak Sejak Pertumbuhan Sampai Dengan Kanak-Kanak Akhir. Jakarta: Prenada Media Group.
Sukmaya, Yeye. 2013. Efektivitas Model Pembelajaran dengan Metode Dongeng Menggunakan Media Wayang Golek untuk Mengembangkan Karakter Persahabatan Anak Usia Dini.(Online),( http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pd_1004639_chapter1.pdf ) diakses 10 April 2013.
Suwangsih , Dede. 2009. Membentuk Moralitas Anak Usia Dini Melalui Penerapan Metode Storytelling Dengan Media Wayang (Kelompok B Taman Kanak-kanak hati Mekar Kabupaten Sumedang). (Online). (repository.upi.edu/…/pro_2011_iecs_dede_metode_storytelling_dengan…), diakses 6 Oktober 2012.
Tp. Pkk Kota Tasikmalaya. 2010. Seminar Nasional “Manfaat Dongeng Untuk Membentuk Kepribadian Anak”. (Online), ( ), diakses 16 September 2012.
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan observasi. Malang: UM Press.
Widyasari, Kartika Nita. 2012. Pelatihan Dongeng Dan Bercerita di Kantor Perpustakaan Umum Dan Arsip Daerah Kota Malang : Dongeng Ala Kak Nitnit Ekpresif-Imaginatif-Efektif. Handout Tidak diterbitkan. Malang: Perpustakaan Umum Dan Arsip Daerah Kota Malang