Makalah Perbandingan Psikologi Komunikasi Umum dan Islam dan Kemampuan Manusia Menurut Al-Qur’an dalam Mata Kuliah Psikologi Komunikasi Dakwah
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Komunikasi sangat vital dalam menumbuh kembangkan kepribadian insan. Berbicara perihal komunikasi tidak akan pernah terlepas dari perilaku serta pengalaman kesadaran manusia. Sejarah panjang observasi fenomena komunikasi menunjukkan keterkaitan yang bersahabat antara psikologi dan komunikasi.
Komunikasi dan Psikologi ialah bidang yang saling berkaitan satu sama lain, utamanya sama-sama memerlukan manusia selaku perantaranya. Komunikasi ialah kegiatan menyebarkan info yang dikerjakan oleh insan dalam keseharian untuk mengganti usulan atau perilaku manusia lainnya. Sedangkan sikap insan merupakan objek bagi ilmu psikologi. Sehingga, terbentuklah teori psikologi komunikasi.
Psikologi komunikasi yaitu ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan kejadian mental dan behavioral (tingkah laris) dalam komunikasi. Pengertian tersebut merupakan psikologi komunikasi secara umum, berlainan hal nya dengan psikologi komunikasi dalam perspektif, alasannya adalah substansi keilmuannya bersumber dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan fatwa ulama Islam. Maka dalam makalah ini kami akan menerangkan mengenai perbandingan antara psikologi komunikasi umum dan psikologi komunikasi dalam perspektif Islam serta kesanggupan insan menurut Al-Qur’an
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan persoalan makalah ini yaitu selaku berikut :
1. Apa yang di maksud dengan psikologi komunikasi biasa dan Islam ?
2. Bagaimana perbandingan psikologi komunikasi biasa dan Islam ?
3. Bagaimana kesanggupan insan berdasarkan Al-Qur’an ?
- Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan Makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian psikologi komunikasi lazim dan Islam.
2. Mengetahui perbandingan psikologi komunikasi biasa dan Islam.
3. Mengetahui kesanggupan manusia berdasarkan Al-Qur’an.
- Manfaat Penulisan
Supaya kami dan para pembaca mampu mengenali serta mengetahui pengertian dari psikologi komunikasi umum dan Islam, perbandingan psikologi komunikasi umum dan Islam serta kesanggupan insan berdasarkan Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
1) Pengertian Psikologi Komunikasi Perspektif Umum
Komunikasi sebagai ilmu yang multidisiplin mempunyai banyak pemahaman dan makna sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang memberi pengertian. Sehingga komunikasi mampu diartikan dalam perspektif sosiologis, psikologi, psikologi sosial, antropologi, dan lain sebagainya.
Dalam desain ilmu komunikasi, keterkaitan psikologi memang tidak bisa ditinggalkan. Bahkan para Bapak Komunikasi tiga diantaranya adalah pakar psikologi yaitu Kurt Levin, Paul Lazarzfeld dan Carl I Hovland. Meskipun demikian komunikasi bukanlah subdisiplin psikologi. Komunikasi selaku ilmu tersendiri memang menembus banyak disiplin ilmu.
Bagaimanapun komunikasi merupakan bab yang esensial untuk pertumbuhan kepribadian insan dan komunikasi akrab kaitannya dengan perilaku dan pengalaman kesadaran insan. Karenanya komunikasi senantiasa menarik perhatian psikolog.
Psikologi komunikasi mempunya batas-batas makna yang sungguh luas, mencakup segala penyampaian energi, gelombang bunyi, tanda diantara kawasan, metode atau organisme. Kata komunikasi sendiri dipergunakan sebagai proses, selaku pesan, sebagai pengaruh atau secara khusus selaku pesan pasien dalam psikoterapi.
Kaprikornus, psikologi komunikasi ialah ilmu yang berupaya menguraikan, meramalkan, dan mengontrol peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi. Peristiwa mental yakni internal meditiation of stimuli sebagai balasan berlangsungnya komunikasi. Sementara insiden behavioral yakni apa yang nampak saat seseorang sedang berkomunikasi.
2) Pengertian Psikologi Komunikasi Perspektif Islam
Psikologi ialah salah satu dari kajian-kajian persoalan-problem keislaman. Ia memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu yang lain, seoerti Ekonomi Islam, Politik Islam, Sosiologi Islam dan lain sebagainya. Penempatan kata “Islam” memiliki arti corak, cara pandang, teladan pikir, paradigma atau anutan, artinya psikologi dapat dibangun bercorak atau memiliki teladan pikir sebagaimana yang berlaku pada tradisi keilmuan dalam islam, sehingga dapat membentuk pedoman tersendiri yang unik dan berlawanan dengan psikologi konteporer kebanyakan, yang terikat pada kerangka ontologi (hakikat jiwa), epistemologi (bagaimana cara mempelajari jiwa), dan aksiologi (tujuan mempelajari jiwa) dalam Islam.
Psikologi islam membahas aspek-aspek dan sikap kejiwaan insan, tidak hanya mengkaji sikap kejiwaan, psikologi islam juga membahas apa hakikat jiwa yang bergotong-royong. Psikologi islam bukanlah ilmu yang netral etik (terlepas dari akhlak) melainkan syarat akan nilai etik. Karena tujuan hakiki dari psikologi Islam adalah merangsang kesadaran diri biar mampu membentuk mutu diri yang lebih sempurna untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat.
Psikologi islam ini pada dasarnya timbul sebagai disiplin ilmu gres, alasannya terdapat integrasi antara Islam dan Psikologi. Dalam kaitan antara keduanya, ternyata tidak semudah yang diperlukan, alasannya perbedaan 2 karakteristik antara Islam dan Psikologi. Padahal kalau di pelajari lebih mendalam antara Psikologi dan Islam ini dapat saling melengkapi. Psikologi dalam perspektif islam ini dimaksudkan perihal kajian perihal islam yang dilihat dari pendekatan psikologis. Kaitannya dalam psikologi lewat perspektif islam ini dimana substansi keilmuannya terhadap Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan pemikiran ulama Islam. Artinya apa yang termuat dalam Al-Qur’an dan Al-sunnah menjadi tolak ukur dan dipakai untuk hal-hal yang terkait dengan kejiwaan.
- Perbandingan Psikologi Komunikasi Umum dan Islam
Berikut yaitu tabel yang membedakan antara Psikologi Komunikasi berdasarkan perspektif lazim dan Islam :
Psikologi Komunikasi Secara Umum |
Psikologi Komunikasi Perspektif Islam |
1. Landasan Filosofis · Humanisme – Rasional · Pragmatisme – Positivisme 2. Intensitas Paradigma · Sumber : Etos · Gaya Bahasa : Patos · Argumen : Logos · Isi Pesan : Realistik |
1. Landasan Filosofis · Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW 2. Intensitas Paradigma · Karakter sumber gosip : mempunyai dua sifat utama, terpuji, dan juga memberikan pola. · Gaya bahasa diselaraskan dengan nilai islam yang membimbing kehidupan. · Metafora (majaz) perlu sering diacu, karena Al-Qur’an juga memakai gaya bahasa majazi ini. · Mutu argumen besar lengan berkuasa jika mengembangkan logika deduktif Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. · Isi pesan berdasarkan pada filosofi Al-Qur’an dan Hadits untuk meraih kehidupan yang sejahtera di dunia maupun di akhirat.
|
Terdapat beberapa perbedaan yang bisa ditarik dalam kehidupan yaitu :
a. Pada psikologi komunikasi lazim acuan untuk memersuasinya atau membujuk secara halus, baik ditujukan kepada logika maupun perasaan. Sedangkan pada psikologi komunikasi Islam, adanya upaya untuk meyakinkannya adalah dengan melalui metode al-hikmah dan al-maw’izhah al-hasanah atau mampu disebut sebagai metode nasihat dan pelajaran yang bagus.
b. Pada psikologi komunikasi lazim, tujuan khususnya yaitu untuk mendapatkan kebaikan duniawi, sedangkan tujuan psikologi komunikasi (perspektif islam) ialah membangun kebahagiaan dunia dan alam baka lewat pesan-pesan keagamaan secara mudah dan bertanggung jawab, baik itu secara normatif maupun secara metodologi.
c. Psikologi komunikasi secara biasa mengetengahkan metode positivistik, dan sedangkan dalam perspektif islam lebih mengacu kepada akal-logika deduktif yang dibangun menurut Aqidah Islam.
- Kemampuan Manusia Menurut Al-Qur’an
Banyak orang yang dapat mendengar, namun tidak mampu menyimak kebenaran bahwa hatinya terkunci. Psikologi dalam perspektif islam menekankan bahwa semua kesempatandiri insan akan berfungsi dengan baik apabila hati terbuka. Hati menjadi kesempatanpenting manusia yang hendak membuka berbagai khazanah keilmuan Tuhan, baik yang ada dalam diri maupun alam raya dan juga dogma yang berada di dalam hati. Manusia dituntun untuk dapat mendayagunakan kemampuan hati nuraninya secara maksimal, kalau tidak, insan akan kesasar (QS. Al-Araf : 179). Manusia memahami dan menawan final (inferensi) terhadap berbagai fenomena yang terdapat dalam alam raya, baik pribadi maupun tidak eksklusif. Kata-kata “fa’tabiru” menunjukkan aneka macam kemungkinan yang mampu dibaca dan diketahui oleh aneka macam segi kehidupan ini.
1) Hati (Qalb)
Dalam Lisan al-‘arab, qalb ialah bentuk mashdar dari kata qallaba yuqallibu (yang bolak-balik) kadang benar dan juga kadang salah, tergantung dari (metode) nilai yang ditanam. Hati yakni kawasan bersemayamnya niat yang menentukan nilai tindakan seseorang yang berharga atau yang tidak berguna, maupun tindakan seseorang yang mulia atau nistanya. Selanjutnya, niat diproses oleh logika fikiran supaya mampu direalisasikan dengan efektif dan efesien oleh jasad kita dalam bentuk amal (Gymnastiar, 2004 : XVI).
Hati ialah sebuah daerah antara wilayah kesatuan (roh) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepaskan selubung nafs yang menempel padanya, hati akan berada di bawah dampak roh, hati dalam makna yang bantu-membantu yang sudah bersih dari kotoran keragaman. Sebaliknya, jikalau hati dikuasai oleh nafs, hati akan menjadi keruh oleh kotoran keanekaragaman nafs (Nurbakhsy, 1998 : 135).
Hati ialah kawasan dari semua wawasan dan kesempurnaan roh serta daerah terlihatnya penelisikan perwujudan ketuhanan melalui tingkat esensi yang berlawanan-beda. Bila al-nafs sudah mencapai tingkat kesempurnaan, akan sampai pada tingkat perkembangan hati. Al-Nafs yang hening ialah hati. Kalbu diciptakan oleh Allah SWT sesuai dengan fitrah-Nya dan berkecenderungan mendapatkan kebenaran dari-Nya. Kalbu berperan sebagai pamandu, pengontrol dan pengendali semua tingkah laku insan.
Hati memperlihatkan pengertian pada logika yang lalu memerintahkan anggota tubuh untuk bergerak. Manusia bergerak bukan tanpa motif, melainkan – dalam pandangan psikologi Islami Iebih dari itu alasannya manusia memiliki niat. Motif berlainan dengan niat. Motif ialah dorongan-dorongan yang terdapat dalam diri manusia ketika akan bertindak, misalnya orang lapar ingin makan, orang haus ingin minum. Bila ditanyakan mengapa ia makan dan minum, jawabannya untuk menetralisir lapar dan dahaga. Sedangkan niat lebih terarah kepada “perbuatan hati ketika akan melaksanakan pekerjaan”.
Terkadang logika bersifat otonom, dalam artian menawarkan pertimbangan terhadap hati ketika akan melakukan suaru pekerjaan. Oleh alasannya itu, Al-Qur’an mengemukakan kata ‘tadabbur’ dan ‘tafaqquh’ tentang sesuatu yang objeknya yakni kitabullah, tujuannya mendayagunakan potensi qalb dan afidah Sedangkan apabila kata yang dipergunakan untuk mengerti objek alam raya. potensi akal yang dikedepankan menggunakan kata-kata yanzhuru, ya’qilu dan tafakkur.
Terdapat 3 (tiga) jenis hati, ialah (1) QaIbun salim, hati yang selamat dan makmur dari penyakit serta dalam kondisi fitrah ruhiyyah (QS. Asy-Syu’ara : 76-89). Ciri-cirinya yakni berbagi tauhidullah dengan ‘ilm al-yaqan; terhimpun nilai kehidupan (pesan yang tersirat dan amal saleh); berupaya melaksanakan amalan ahli nirwana; membebaskan diri dari belenggu fitnah dunia dan syahwat (materialistik dan hedonistik). (2) Qalbun Mayyit (hati yang mati), hati yang tidak mengenal Tuhannya dan tidak beribadah kepada-Nya; menjadi hamba setan dan tidak mendapatkan hidayah-Nya. Ciri-cirinya: buta dengan kebenaran, bahagia dengan kegelapan; bahagia dengan hal yang mudah terbakar (impulsive) atau berbahaya; tidak tergerak untuk membuatkan kesempatandiri ke arah roh uluhiyyah. (3) Qalb Maradh (hati yang sakit), hati yang hidup, namun mengandung penyakit.
Hati yang memiliki potensi mahabbatullah (mencintai Allah) dan juga menyayangi nafsu amarah sehingga kadang memunculkan perilaku penyesalan atas perbuatannya (nafs al-Iawwamah). Ciri-ciri hati yang sakit ialah jelek sangka kepada Allah, Rasulullah Saw, dan orang lain; tidak bahagia melihat nikmat yang diterima oleh orang lain (iri) dan berupaya melenyapkannya (dengki); selalu berbohong kalau bersaksi; sumpahnya dijadikan penghalang untuk menolak hukum Allah; banyak maksiat. Kehidupan akan berkhasiat kalau manusia melakukan komunikasi secara vertikal dan horizontal. Manusia mampu mengetahui kebenaran, namun insan tidak dapat memastikan bahwa dia mesti bertindak dengan kebenaran itu, selama itu ada perintah Tuhan untuk melakukannya.
2) Akal
Akal ialah dukungan Allah SWT yang membedakan insan dengan makhluk yang lain. Potensi ini harus digunakan secara baik oleh umat manusia semoga mampu mengetahui secara sempurna tentang alam raya dan siapa yang ada di balik alam raya ini. Dengan akalnya, insan tidak gampang ditipu, baik oleh insan lain ataupun oleh alarn di sekitarya. Alam raya memiliki kaidah-kaidah yang bagus yang hams didayagunakan oleh manusia agar menerima kebaikannya secara tepat. Dengan nalar, manusia mencermati banyak sekali kemungkinan yang ada di dalam raya, baik di bumi ataupun di luar angkasa; baik yang bersifat sosial maupun kealaman dalam lingkungan jagad raya ini. Manusia tidak dapat mengerti seluruhnya, kecuali beliau memanfaatkan akalnya secara sempurna, lewat pelatihan dan belajar dari pengalaman hidup.
Manusia ada yang memakai akal secara baik, sebaliknya ada pula yang tidak mau mengoptimalkan akalnya sehingga tidak bisa menunjukkan faedah bagi dirinya dan masyarakat. Dalam kajian Al-Qur’an tidak didapatkan kata benda ‘aqal, tetapi yang didapatkan adalah afala ta’qilun, la ya’qilun, la yatafakkarun. Salah satu hikmah yang dapat kita selami yaitu bahwa akal sebagai kata benda tidak penting untuk dibahas dalam Al-Qur’an alasannya adalah otak manusia bukan ranah kajian kitab suci, melainkan kajian ilmu-ilmu kemanusiaan. Yang dibahas oleh Al-Qur’an adalah fungsi dan tugas dari nalar itu sendiri.
3) Jiwa (al-Nafs)
Jiwa ialah piranti lunak yang hendak dapat tersambung dengan sesuatu yang bersifat abstrak. Dalam diri insan ‘al-nafs‘ memiliki ikatan dengan jenis pribadi, sifat, atau wataknya. Karakter kehidupan selalu berkaitan dengan jati diri seseorang. Dunia sufi lebih sering memanfaatkan kata al-nafs sebagai terminologi terapan. Terdapat 3 jenis al-nafs, adalah nafs ammarah, nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah. Nafsu ammarah ialah jiwa yang dipengaruhi oleh berbagai kekuatan nafsu syaithaniyah sehingga langkahnya selaku langkah yang menyimpang atau disebut selaku tindakan setan (Khutuwat al-syaithan). Nafs lawwamah ialah jiwa yang dipengaruhi yang telah kembali pada kebaikan; meratapi segala perbuatan yang kemudian. Sedangkan nafs muthamainnah yakni nafsu yang damai karena semenjak awal telah melakukan kebaikan dan menjauhi segala larangan yang digariskan oleh Allah SWT. Apa yang diajarkan oleh agama, dikerjakan dengan sarat keikhlasan, ketaatan, dan penghayatan. Apa yang diturunkan selaku wahyu, dijalani tanpa banyak pertanyaan. Selain itu, ada nafsu lawwamah, nafsu yang sudah disempurnakan sehingga menjadi mantap. Nafsu ini sudah tertempa dengan berbagai ujian dan cobaan serta mendapatkannya dalam kondisi takwa.
Jiwa mendasari kelakuan, mengarahkan asumsi, dan tindakan insan. Dalam pandangan Islam jiwa memengaruhi mental insan. Jiwa yang gundah melahirkan keadaan mental yang rapuh, sementara jiwa yang hening membentuk mental yang handal. Badan kita diarahkan oleh jiwa. Mental insan diselimuti batin yang dilandasi oleh jiwanya (al-nafs). Jiwa melahirkan abjad yang menjadi ciri khas seseorang. Karakteristik menandai adanya suatu ciri khas yang terpatri pada diri seseorang. Hakikatnya, manusia berlawanan sopan santun, namun pada ketika merespon suatu stimulus beliau mampu mengambil posisi yang secara berdekatan dilaksanakan. Jiwaa mampu mengirimkan kehidupan menuju suatu ketahanan pada muara tertentu. Mental menjadikan seseorang tahan dalam menghadapi langkah-langkah dan tantangan yang menghadang.
Warisan budaya Barat, mulai dari Athena, Yunani, dikenal selaku Sparta yang menawarkan perhatian besar pada kemampuan nalar dan fisik sehingga mereka menyatakan “man sana incorpore sano”, yang oleh orang Arab diambil alih secara bundar dengan ungkapan “al-aql al-salim fil-jism al-salim” (didalam fisik yang sehat terdapat jiwa yang berpengaruh). Pengandaian tersebut membawa kita pada suatu kondisi yang perlu dicermati, baik secara analitis maupun empiric. Bila melihat kenyataan, kita mengetahui bahwa banyak orang yang sehat secara fisik, tetapi jiwanya tidak. Sebaliknya, kita menyaksikan banyak orang yang sehat secara fisik, tetapi jiwanya tidak. Sebaliknya, kita menyaksikan banyak orang yang jiwanya dan rohaninya sakit yang kuat pada kesehatan fisiknya. Ini menawarkan bahwa kesehatan jiwa dapat memengaruhi kesehatan fisik, yang dalam istilah klasik disebut sebagai psikosomatis.
4) Pancaindra
Pancaindra ialah suatu piranti keras yang inheren dalam kehidupan insan. Semua makhluk diberi potensi indrawi yang harus dijaga, dikembangkan, dan dimanfaatkan secara baik. Manusia mengkaji fenomena alam yang dipandu oleh Al-Qur’an. Akal asumsi merespon semua itu dengan memakai kemampuan potensinya untuk menghadapi aneka macam ragam tantangan kehidupan yang belum disinggung secara eksklusif dan terperinci oleh agama. Lahirlah ijtihad dengan banyak sekali kriterianya yang memungkinkan manusia mendalami semua yang ada dengan menautkan diri.
Al-Qur’an memerintah orang yang terpelajar untuk menular banyak sekali faktor kehidupan secara dinamis dan substansif. Islam disebarluaskan dengan cara yang tenang dan sarat kasih sayang. Doktrin perdamaian dalam Islam memastikan bahwa Islam disebarluaskan dengan cara sarat akhlak, sebisa mungkin menyingkir dari pertempuran. Semua manusia adalah makhluk yang sama, hendaknya tidak menonjolkan perbedaan.
Umat Islam, juga pemeluk agama lain, berhak untuk mendapatkan kehidupan yang makmur dan bermartabat. Kehidupan yang dilangsungkan secara tenang dan penuh persaudaraan. Teman-sobat yang didapat oleh umat Islam mampu dipergunakan oleh semua umat insan. Demikian pula temuan penduduk lain mampu dipergunakan oleh umat Islam, selama menenteng faedah dan kebaikan bagi seluruh umat Islam. Sebaliknya, jika temuan tersebut menenteng mudharrat (kerusakan), mesti dihindarkan. Pandangan wacana keterbukaan dalam menerima peradaban ini disebut sebagai kosmopolit dan para pengusungnya disebut sebagai kosmopolitan.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Kesimpulan yang mampu diambil dari pembahasan makalah ini adalah :
1) Psikologi komunikasi adalah ilmu yang berupaya menguraikan, meramalkan, dan mengatur insiden mental (berlangsungnya komunikasi) dan behavioral (yang nampak ketika seseorang sedang berkomunikasi). Sedangkan Psikologi dalam perspektif Islam merupakan substansi yang keilmuannya berhubungan terhadap Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan aliran ulama Islam yang menjadi tolak ukur dan dipakai untuk hal-hal yang terkait dengan kejiwaan.
2) Berikut perbandingan antara psikologi komunikasi lazim dan Islam : Psikologi komunikasi lazim : Acuan membujuk secara halus yang ditujukan kepada nalar maupun perasaan, tujuan terutama ialah untuk memperoleh kebaikan duniawi dan mengetengahkan tata cara positivistik.
Psikologi komunikasi Islam : Upaya meyakinkan dengan melalui sistem pesan yang tersirat dan pelajaran yang bagus, tujuan utamanya ialah membangun kebahagiaan dunia dan akhirat melalui pesan-pesan keagamaan secara mudah dan bertanggung jawab, baik itu secara normatif maupun secara metodologi dan lebih mengacu kepada nalar-nalar deduktif yang dibangun menurut Aqidah Islam.
3) Kemampuan manusia menurut Al-Qur’an yakni dengan memaksimalkan kesanggupan hati nuraninya, sehingga potensi diri manusia akan berfungsi dengan baik, sebagaimana dalam QS. Al-‘Araf ayat 179.
- Saran
Dengan dibuatnya makalah ini biar dapat berfaedah bagi para pembaca dan kami sebagaipembuat makalah. Serta dengan dibuatnya makalah, kami meminta usulan kepada para pembaca untuk mengoreksi apabila ada kesalahan dalam sistematika penulisan dan isi pembahasan pada makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A. (2009). Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartati. (2004). Islam dan Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. (2002). Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ma’arif, B. S. (2015). Psikologi Komunikasi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yudiantoro, H. N. (2007). Psikologi Agama. Jakarta: UIN Jakarta Press.