Artikel yakni karangan yang berisi uraian atau pemaparan yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
· isi karangan bersumber pada fakta bukan sekadar kenyataan
· bersifat aktual dengan mengungkapkan data-data yang dikenali pengarang bukan yang telah biasa dimengerti (realita)
· uraian tidak sepenuhnya ialah hasil fatwa pengarang, tetapi mengungkapakan fakta sesuai objek atau narasumbernya
· isi postingan dapat memaparkan hal apa saja mirip, pariwisata, dongeng perjalanan, profil tokoh, dongeng pengalaman orang lain, satir, atau humor.
Contoh postingan, berisi dongeng perjalanan:
“MENAPAK TANAH BADUI”
Neda agungnya paralun / neda panjangnya hampua / bisi nebuk sisikunya / bisi nincak lorongananya /Aing dek nyaritakeun/ urang Badui ….. / (Mohon ampun sebesarnya / mohon maaf selalu / bila menjamah intinya / bila menginjak larangannya / Akan kuceritakan ihwal orang Badui …..).
Dan, Judistira Garna, sang antropolog dari UNPAD itu pun bercerita ihwal kearifan orang Badui, yang dalam kesederhanaan hidup bisa membendung gencarnya kedatangan alam modern. Wawasan mereka yang dalam ihwal kehidupan seakan menunjukkan gambaran yang kebalikannya, bahwa masyarakat Badui yakni penduduk terasing.
Penasaran sebab melihat begitu hormatnya Judistira yang ialah pakar yang paling top dalam Badui ini, sampai-sampai ia harus meminta maaf sebelum beliau bercerita perihal mereka, saya merasa ingin segera mengangkat ransel menuju Banten, Jawa Barat, kawasan suku yang begitu ketat mempertahankan tradisinya itu bermukim.
Ajakan ringan yang dilemparkan seorang sahabat pun secepatnya kutanggapi serius. Dan secepatnya, berempat, kami berangkat ke sana.
Goyangan kereta api Tanah Abang-Rangkas Bitung, gojlokan mobil colt tua yang berlari kencang, membawa kami ke tempat tinggal Pak Sarkaya, penduduk Pasar Simpang, Desa Cibungur, Kecamatan Lewi Damar, Rangkas Bitung.
Pak Sarkaya populer sering main ke kawasan Badui. Sebetulnya ada kawasan lain yang mampu meraih tempat Badui lebih cepat, mirip yang disediakan kenek-kenek mobil colt di Rangkas Bitung, tetapi kami tidak merasa tergesa-gesa.
Malam itu juga, disertai doa dan titipan salam Pak Sarkaya untuk Jaya, anak kepala suku Cibeo, kami bergerak perlahan menuju Cibeo, satu dari tiga perkampungan Badui Dalam.
Sebetulnya, empat jam berlangsung telah akan dapat menenteng kami, para peloncong alam, dari Ciboleger ke’pintu gaerbang’ pemukiman Suku Badui. Namun, prinsip ’menikmati alam’ yang kami anut menciptakan Ciboleger gres mulai kelihatan tujuh jam lalu.
Desa Keduketuk yakni desa pertama yang kami temui, salah satu dari sekian banyak desa suku Badui Luar yang ‘memagari’ tiga suku Badui Dalam. Hitam yaitu kesan menyeluruh penampilan orang-orang Badui Luar.
Celana komprang hitam selutut, baju kampret hitam lurik, dan ikat kepala berwarna biru bau tanah dan hitam ialah busana sehari-hari khas mereka. Rokok yang mereka isap memperlihatkan sikap ‘mendapatkan’ kemajuan zaman.
Setelah ngobrol sedikit dengan warga desa ini, kami kembali melanjutkan perjalanan. Kurang lebih lima buah bukit kami jejaki lewat jalan setapak yang kadang-kadang terjal mendaki. Kelelahan selalu terobat oleh h.aunya alam yang indah dan keramah-tamahan warga Badui Dalam yang sedang berada di huma (ladang) masing-masing.
Keasyikan kami melangkah dikejutkan seorang gadis cilik yang nyelonong ngelewati kami.
Lho, ia ‘kan yang tadi nyelonong di Ciboleger bersama ayahnya sambil menunggu kayu bakar siap? Ya, di belakangnya, sang ayah melangkah damai memikul kayu bakar. Mereka tersenyum ramah, tidak ada tanda-tanda mengejek kami yang telah kekurangan napas.
Begitu cepat mereka menyusuri jalan mendaki dengan kaki terlanjang! Gelap turun. Si cilik dengan ayahnya sudah lama menghilang. Hati-hati kami menapak bukit dengan sumbangan senter-senter kecil menerang jalan.
Senda gurau warga Badui Dalam yang sedang dalam perjalanan pulang dari humanya menciptakan kami tidak merasa sendirian atau takut salah jalan.
Dengan ramah, mereka memimpin jalan menuju perkampungan, kalem melenggang tanpa penerangan. Senter memang tabu bagi mereka. Tidak ada larangan bagi kami untuk tetap menggunakannya, tetapi mereka pun tetap berpatokan pada bintang-bintang di langit.
Andai tak ada bintang? Sebatang lilin yang diposisikan di batok kepala cukuplah buat mereka.
Jaya menyambut kami di perkampungan. Di persilakan nya kami membersihkan diri dengan air dari dalam potongan-potongan bambu sepanjang setengah meter, yang tampaknya memang ada di tiap teras rumah masyarakatCibeo.
Rumah-rumah panggung beratap daun nira itu tidak berpaku sebuah pun. Hanya pasak-pasak yang membuat rumah-rumah itu tegak bangkit. Ventilasi berupa jendela cuma di rumah kepala suku, sedangkan rumah–rumah lain telah cukup puas dengan menciptakan lobang-lobang kecil di dinding yang yang dibuat dari gedek.
Tidak ada bangku, meja, atau tempat tidur. Pakaian pun cuma di-buntel, diletakkan di daerah khusus di langit-langit rumah. Perlengkapan memasak yang sungguh tradisional ditaruh saja tanpa bantalan di lantai rumah yang terbuat dari bambu.
Dengan perlengkapan memasak yang tradisional itulah, mereka ramah menawarkan diri mengolah masakan supermi yang kami bawa. Bersama kami memakan hidangan hangat itu. Tidak ada sendok, garpu, cuma daun yang dilipat membentuk cengkok. Gelas juga cuma dari bambu. Bambu dan kayu memang merupakan bahan baku utama hampir seluruh perkakas yang mereka gunakan.
Cerita-cerita yang diungkapkan Jaya ialah pelepas letih bagi kami. Jaya, satu-satunya warga Cibeo yang dapat berbahasa Indonesia, menjawab semua keingintahuan kami.
Sunda Wiwitan, begitulah mereka menyebut agama mereka. Dan dengan mengikuti penanggalan mereka sendiri, mereka berpuasa selama kurang lebih tiga bulan setiap tahunnya, mulai saat subuh belum lagi sempat menyapa, sampai saat matahari telah meringkuk di sudut bumi, setiap harinya.
Jika abad panen simpulan, tokoh-tokoh penduduk Badui Dalam menyambangi tampat arca Domas suci, di hulu Sungai Ciujung. Di sana, mereka melaporkan apa-apa yang sudah terjadi dalam setahun itu dan memohon berkah untuk tahun mendatang.
Kerja dan kerja. Itulah yang selalu mereka lakukan. Itulah ibadah yang senantiasa mereka sucikan. Itulah yang mereka sebut ‘bertapa’. Sepembahasan dengan terus ‘bertapa’, dengan kata lain terus bekerja, mereka tidak lagi punya waktu untuk menyimak iri, dengki, tamak, malas, atau perasaan dan tindakan jahat lainnya.
Sebuah perjalanan tidak mampu dilakukan semau hati sebab tidak ada kendaraan yang boleh digunakan. Jaya pun cuma mengandalkan kekuatan kakinya selama empat hari menyusuri rel kereta api menuju Jakarta. Juga, tidak setiap warga boleh meninggalkan daerah Badui Dalam ini. Bahkan kepala suku mempunyai kewajiban untuk tinggal saja di kampungnya.
Malam sudah larut. Di tengah damainya perkampungan suku Cibeo ini, kami tertidur. Dan saat subuh belum lagi pantas disebut, Jaya sudah pergi ke huma bareng warga kampung lain. Berladang tanpa cangkul, bajak, apalagi traktor.
Begitu sederhananya, sesederhana busana mereka yang hanya celana komprang plus baju kampret, serta ikat kepala putih, yang membedakan mereka dari orang-orang Badui Luar. Sementara ibu–ibu bertelanjang dada keluar menyapu halaman rumah mereka sambil menyusui anak.
Matahari meninggi. Kami pamit menuju Cikertawana dan Cikeusik, dua tempat perkampungan Badui Dalam lain. Kembali kami melangkah kaki di jalan setapak yang membelah bukit-bukit dan menyusuri sungai–sungai yang menarik.
Di Cikeusik kami cuma menerima seorang penduduk yang kemudian menjamu kami dengan pisang besar yang dibakar begitu saja di bara api. Gula aren khas Badui menjadi adonan susu yang kami buat, ditambah menu buah asam kranji, sangat menghibur hati kami yang kecewa alasannya adalah sepinya kampung, ditinggal warganya pergi ke huma.
Tak usang kami di sana sebab waktu telah mewajibkan kami beranjak pulang. Dua hari berada di tengah orang-orang Badui, cukup membuat kami memahami rasa hormat yang tumbuh di dalam hati Judistira Garna, karena kami pun merasakan hal yang sama.
Di balik sikap sederhana dan sorot mata yang lugu dan polos, ada ‘sesuatu’ yang menciptakan mereka mampu begitu berpengaruh menggenggam tradisi mereka, ‘sesuatu’ yang menciptakan jiwa terasa begitu tenang di tengah-tengah mereka.
Larangan–larangan yang tidak pernah dilanggar, dan tidak adanya cita-cita untuk berontak, ialah hal yang terasa sukar dibayangkan. Namun dengan kesederhanaan mereka, orang-orang Badui menunjukan suatu kekuatan yang bisa mengekang emosi, dan ini merupakan salah satu sifat terpelajar dan b.ak.
Badui yaitu suku yang jauh di pelosok hutan, namun rasanya banyak yang mampu dipelajari manusia-manusia terbaru ihwal arti sebuah eksklusif yang tegar dan kokoh.
Hanya sebuah pikukuh (ketentuan mutlak) sederhana, yang sudah tertanam dalam di nadi orang-orang Badui, yang menciptakan mereka begitu menakjubkan: Gunung jangan dilebur. Lembah jangan dirusak. Larangan jangan diubah.
(Ditulis oleh Nuria Widyasari)