Daftar Isi
Menjadi Arena Sumpah Pocong
Persengketaan yg sulit dicari penyelesaiannya karena susah dibuktikan, biasanya mendorong orang mencari penyelesaian dgn cara bersumpah. Namun, tak di sembarang tempat orang dapat puas & yakin untuk mengambarkan siapa yg benar & siapa yg salah. Dan, kawasan yg dipercayai banyak orang sebagai tempat yg ampuh adalah Masjid Madekan Sampang, Madura.
Menurut suatu sumber, Masjid Madekan dibangun oleh Ario Langgar cucu Lembupetang seorang kamituwo yg waktu itu berkuasa di Sampang. Lembupetang adalah putra Raja Majapahit yg terakhir dr perkawinannya dgn seorang putri Campa (salah satu provinsi di Kamboja). Ia kemudian belajar pada Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Surabaya & meninggal di sana.
Sumber lain menyebutkan, masjid yg terletak di pinggiran kota Sampang itu dibangun pada masa pemerintahan Cakradiningrat IV yg berasal-undangan pada Ratu Ebu di Bangkalan. Sedangkan, Ratu Ebu yaitu putri Sunan Giri yg dinikahi Raden Praseno, bergelar Cakradiningrat I.
Meskipun belum dimengerti dengan-cara pasti siapa & kapan berdirinya Masjid Madekan, namun tak mampu disangkal, masjid ini memang dibangun oleh raja yg berkuasa di Sampang. Hal itu dapat dibuktikan dgn adanya sisa gapura yg masih berdiri kuat di samping kiri masjid. Raja yg pernah berkuasa di Sampang antara lain: Lembupetang, Cakraningrat I, Raden Ario Purbonegoro putra Cakraningrat H, Adipati Pamadekan, & lain-lain. Bukti lain yg memperlihatkan isyarat bahwa masjid ini didirikan oleh Raja Sampang ialah terdapatnya pesarean raja-raja di sekitarmasjid. Antara lain Pesarean Ario Langgar yg disangka berpengaruh pembangun masjid. Kemudian, di belakang masjid terdapat bangunan (congkop, Madura) yg di dalamnya terdapat makam raja- raja.
Sedangkan, di samping kiri terdapat pula bangunan serupa yg di dalamnya disemayamkan Raden Baharuddin anak keturunan Ratu Ebu. Anak keturunannya yg lain ialah Moh. Noer mantan Gubernur Jawa Timur.
Sumpah Pocong
Perihal kenapa Masjid Madekan menjadi masyhur sebagai tempat melakukan sumpah pocong (penduduk Sampang & sekitarnya menyebut “Sompa Madekan”) tak dikenali dengan-cara niscaya. Abdul Halim yg sudah 15 tahun bertugas sebagai “penyumpah” mengaku tak mengetahui apa sebabnya. Menurutnya, pekerjaan itu diwarisinya dr orang tuanya.
Hanya saja berdasarkan Abdul Halim, kemasyhurannya itu diduga karena “keampuhannya” mendatangkan bala. Lebih lanjut dikatakan, tatkala ayahnya dahulu bertugas menyumpah, mereka yg bersalah akan mendapat bala pribadi tatkala turun dr masjid usai bersumpah.
Menurut pengalamannya, sekarang, orang yg disumpahnya mampu terkena bala dlm tempo yg beraneka ragam. Ada yg 40 hari, sepekan, sehari semalam, bahkan ada yg belum tiba di rumahnya, bala sudah turun.
Bentuk bala yg menimpa mereka ialah meninggal dunia. Abdul Halim kemudian menunjuk contoh modern yg katanya hanya sehari semalam kemudian meninggal dunia setelah didahului muntah darah yg ahli. Bentuk yang lain ada yg sekujur tubuhnya tiba-tiba menjadi kaku sehingga tak bisa berdiri & selalu dlm posisi jongkok. Untuk bala yg demikian sulit disembuhkan kecuali menanti kematian tiba.
Oleh karena akibat yg fatal itulah, orang yg bersengketa yg tiba minta bersumpah tak begitu saja dilayani. Pemda Sampang yg pula turun tangan dlm penyumpahan ini sebelum sumpah dijalankan, melaksanakan aneka macam upaya semoga mereka yg bersengketa mengurungkan niatnya.
Selain upaya & pesan tersirat, untuk menggagalkan niat orang melakukan “Sompa Madekan”, Pemerintah Sampang menetapkan sumpah yg cukup mahal. Menurut sebuah sumber, besarnya ongkos penyumpahan itu dapat mencapai satu juta lebih. Dengan ongkos yg besar itu dibutuhkan mereka yg bersengketa mampu menuntaskan masalahnya dengan-cara damai.
Pada lazimnya , mereka yg bersumpah itu yakni mereka yg dengan-cara ekonomi termasuk lemah sehingga ada pula yg mengurungkan niatnya lantaran ongkos yg besar itu. Namun demikian, tidak sedikit yg memaksakan diri.
Macam-macam sengketa yg memaksa orang bersumpah. Umumnya menyangkut hal-hal yg sepele. Misalnya, tuduhan mencuri korek api, bantal, & lain-lain yg semestinya tak menempuh cara yg berisiko tinggi. Tetapi, ada pula yg tergolong berat seperti kehamilan yg tak diakui suami seperti yg terjadi di selesai tahun 1994, sengketa warisan, santet, & lain-lain.
Memasuki halaman Masjid Madekan memang agak menakutkan, terutama lantaran lokasinya yg berada di tengah kuburan serta dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Pada hari Kamis sore banyak orang yg datang berkunjung membaca Al-Qur’an di sana.
Barangkali lantaran terdapat bekas kerajaan itulah, Masjid Madekan kerap didatangi oleh wisatawan mancanegara untuk menyaksikan dr dekat peninggalan sejarah yg sungguh penting.
Untuk sejarah Madura kebanyakan memang belum terdapat buku yg memadai. Buku-buku yg ada lazimnya berbahasa Belanda. Kalaupun ada yg berbahasa Indonesia belum cukup mencukupi untuk dijadikan rujukan dlm penyelidikan sejarah. Penelitian perihal Madura, khususnya yg berkait dgn penyebaran Islam di “Pulau Garam” ini, amat patut untuk dilaksanakan & akan sangat berharga untuk generasi mendatang.