Cadaver, Membuka Mata Hatiku

Saat itu tahun 1989 yaitu semester di mana aku mesti melaksanakan praktikum pelajaran anatomi ba& manusia selama enam bulan. Tidak terbayg sebelumnya jikalau ternyata saban hari selama satu semester saya harus berhadapan dgn jenazah yg telah diawetkan, kita biasa menyebut cadaver.

Pelajaran anatomi menciptakan mahasiswa menjadi faham seluruh anatomi ba& insan mulai organ ba& yg besar hingga pembuluh darah, syaraf serta cabang-cabangnya yg kecil-kecil. Dengan tutorial buku anatomi serta dosen pembimbing, seorang mahasiswa diperlukan bisa mengetahui letak, bentuk serta nama-nama setiap bagian ba& manusia yg sangat rumit itu, terlebih nama-nama yg digunakan memakai bahasa Latin. Saya merasa hampir putus asa di semester anatomi ini.

Tetapi di sela-sela kesibukanku kuliah, alhamdulillah aku dipertemukan dgn kakak kelas yg mengajak untuk berguru Islam secara menyeluruh. Jadilah setiap Jum’at aku bareng beberapa sobat mulai mempelajari Al Qu’an dgn bimbingan seorang Ustadz. Perlahan–lahan saya mulai mengetahui bahwa Islam itu digunakan mulai bangun tidur sampai mau tidur. Bukan hanya ketika kita mengaji atau shalat saja kita menggunakan hukum Islam, tetapi 24 jam kita mesti berislam.

Sejak dikala itu saya mulai berupaya menghubungkan fenomena peristiwa yg aku lihat & alami dgn Al Qur’an & puncaknya adalah dikala praktikum pelajaran anatomi. Pagi itu semua mahasiswa telah rapi dgn jas putih praktikum bersiap memasuki ruang anatomi yg cukup luas itu, aroma khas formalin menusuk hidung & menciptakan mata cukup perih. Deg-degan juga pertama kali masuk ruang ini. Ada 10 cadaver yg siap di-’bedah’ oleh mahasiswa fakultas kedoteran & masing-masing cadaver ditidurkan di meja kayu panjang serta dikelilingi oleh kurang lebih 15 mahasiwa. Saya terus terang gemetar melihat cadaver yg terbujur kaku di meja kayu itu.

  Puisi Rintihan Sang Pendosa

Setelah dosen pembimbing menjelaskan tata cara praktikum anatomi, masing-masing mahasiswa mengawali mem-’bedah’. Saya termasuk salah satu mahasiswa yg terlambat pembiasaan dgn praktikum anatomi ini. Di ketika sahabat-sobat telah memulai praktikum, aku hanya bisa bangun sambil meman&gi cadaver itu, sambil merenung: “Ya Rabb, sebuah ketika saya juga akan jadi mayit mirip cadaver ini, & gres sungguh-sungguh menyadari saat sudah mati maka tak satupun yg mau mampu membantu kecuali amal sholeh kita, jangankan kulit mayat tersebut disayat, konon jenazah itu juga masih mampu mencicipi kesakitan, buktinya dikala kita memandikan mayat maka mesti dgn kelembutan dikala menyentuhnya”.

Sesampai di rumah saya masih merenung perihal nasib cadaver tadi dikala praktikum. Saya tak membaygkan bila ternyata tiba-datang Allah SWT mencabut nyawa saya sementara amal shalih belum cukup untuk bekal di darul baka. Hati aku seketika itu juga terjaga & berjanji akan selalu taat dgn perintah & larangan Allah SWT.. Alhamdulillah sehabis itu saya membulatkan niat untuk menutup aurat. Sekarang sudah genap 26 tahun peristiwa itu berlalu & masih membekas paras cadaver yg telah membuka mata hatiku itu. [DwiKap]