Paramartha International Center for Tashawwuf Studies (PICTS)
Abstrak
Spiritual Quotient (SQ) merupakan tawaran ajaran mengenai kecerdasan yg berhubungan dgn proses pemaknaan insan kepada setiap tindakan & jalan hidupnya. “Spiritualitas” yg digunakan dlm SQ tidaklah menunjuk pada sumber atau proses hidup (spirit, ruh). Karena itu, SQ dapat dipandang sebatas upaya terapi kepada segenap kompleks & permasalahan eksistensialnya, tanpa mesti memiliki hubungan dgn agama. Karena dlm pemaknaan acap kali yg pasti hanyalah faktor materialnya saja, sedangkan maknanya dapat menunjuk ke segala arah, tetapi SQ dlm hal ini mencoba untuk berperan mengintegralkannya sebagai satu kesatuan utuh. Namun pada dasarnya, pemaknaan, apalagi pemaknaan hidup, senantiasa berkaitan akrab dgn segenap pengalaman psikis & budaya yg dialami insan. Inilah salah satu upaya paling canggih dr dunia (diskursus) Barat dlm mencoba mengintegralkan pengertian mereka atas diri mereka sendiri, utamanya yg berhubungan dgn segi-sisi psikis yg masih misterius & sejauh ini kurang memperoleh perhatian ilmu wawasan.
Now, at the end of century, an array of recent but so far undigested scientific data shows us that there is a third ‘Q’. The full picture of human intelligence can be completed with a discussion of our spiritual intelligence—SQ for short“, begitu klaim Danah Zohar & Ian Marshall dlm buku modern mereka, SQ: Spiritual Intelligence, the Ultimate Intelligence. Kemunculan “kecerdasan ketiga” ini ternyata cukup mendapatkan sambutan & antusiasme dr khalayak Indonesia yg sepertinya sedang & selalu menunggu akreditasi terhadap “spiritualitas” dr dunia (diskursus) Barat. Tulisan mengenai buku ini pun marak di media-media cetak, selain rangkaian seminar atau kursus perihal hal ini.
Sebenarnya apakah SQ tersebut? Apakah maksud dr klaim Danah Zohar & Ian Marshall bahwa SQ merupakan “the ultimate intelligence“? Gambaran yg utuh dr insan? Benarkah ia merupakan fondasi yg penting untuk memfungsikan dengan-cara efektif baik IQ maupun EQ, dua kecerdasan yg telah dikenal terlebih dulu?
SQ: Kecerdasan Memaknai Hidup
“SQ has no necessary connection to religion,” sebab SQ berdasarkan Zohar & Marshall yakni “intelligence with which we address and solve problems of meaning and value, the intelligence with which we can place our actions and our lives in a wider, richer, meaning-giving context, the intelligence with which we can assess that one course of action or one life-path is more meaningful than another.”
Mereka kemudian menjajal menciptakan analogi : menggambarkan IQ selaku komputer yg senantiasa tahu mengenai aturan & mampu mengikutinya tanpa kesalahan; EQ mereka lihat sebagai insting, sebuah dorongan dasar (basic drive) yg sudah tertanam dengan-cara natural pada binatang, misalnya. Sedangkan manusia walaupun masih menjadi pertanyaan apakah memang mempunyai insting, bisa dibilang “bisa melepaskan diri dr insting.” Adapun SQ, menurut mereka, yakni sesuatu yg bisa membuat manusia keluar dr batasan-batasan tersebut, karena “SQ allows human being to be creative, to change the rules and to alter situations.”
Jantung dr SQ yaitu “makna”, alasannya adalah manusia berdasarkan mereka adalah: “driven, indeed we are defined, by a longing to find meaning and value in what we do and experience.” Memang, di pecahan awal buku, mereka mengutip definisi spiritual dr kamus Webster sebagai “the animating or vital principle; that which gives life to the physical organism in contrast to its material elements; the breath of life,” tetapi dlm penjelasan berikutnya konteks spiritual pada SQ menyimpang menjadi “proses pemaknaan” & bukan pada konteks aslinya sebagai spirit atau ruh.
Karena penekanannya pada “proses pemaknaan” itu pulalah, maka spiritualitas dlm SQ tak terkait dgn agama, terlebih mereka pun memandang agama konvensional sebagai “an externally imposed set of rules and beliefs…inherited from priests and prophets and holy books, or absorbed through the family and tradition.” Mereka pun menyatakan bahwa “many humanists and atheist have very high SQ; many actively and vociferously religious people have very low SQ.” Bahkan mereka pun menandaskan lebih jauh lagi bahwa “A person high in SQ might practise any religion, but without narrowness, exclusiveness, bigotry or prejudice. Equally, a person high in SQ could have very spiritual qualities without being religious at all.”
Lebih jauh lagi, SQ berdasarkan mereka ialah “soul’s intelligence…with which we heal ourselves and with which we make ourselves whole.” Karena SQ tak bergantung pada budaya & nilai-nilai yg telah ada di luar diri manusia, maka SQ pun “prior to all specific values and to any given culture. It is, therefore, prior to any form of religious expression that it maight take. SQ makes religion possible (perhaps even necessary), but SQ does not depend upon religion.”
Dalam mengaitkan SQ dgn bukti-bukti ilmiah alasannya kata mereka “existing science is not equipped to study things that can’t objectively be measured“, maka Zohar & Marshall pun menunjukkan beberapa observasi yg dijalankan oleh para neurolog tentang beberapa acara otak yg mereka klaim sebagai suatu bukti ilmiah akan SQ. Satu hal yg bisa dianggap merupakan jantung eksistensi SQ yaitu ditemukannya penggalan otak yg disebut God spot, yg merupakan “built-in spiritual centre…located among neural connections in the temporal lobes of brain.” Namun ada satu hal yg mereka tandaskan pula bahwa “‘God spot’s does not prove the existence of God, but it does show that the brain has evolved to ask ‘ultimate questions’, to have and to use a sensitivity to wider meaning and value.”
Mengenai adanya kaitan antara aktivitas otak dgn kecerdasan memang sudah menjadi sesuatu yg taken for granted, alasannya kecerdasan apa pun namanya acap kali akan mengambil kegiatan pada jaringan syaraf. Pembuktian ilmiah terhadap sesuatu yg spiritual, ritual keagamaan contohnya, sering pula terjadi pada umat Islam seperti mengaitkan shalat tahajjud dgn pencegahan penyakit kanker, & sehatnya badan alasannya adalah gerakan-gerakan shalat lainnya.