Pendidikan Menurut HAMKA

Ada tiga term yg dipakai para hebat untuk menawarkan perumpamaan pendidikan Islam, yakni ta’lim, tarbiyah & ta’dib. HAMKA memosisikan pendidikan sebagai proses (ta’lim) & memberikan suatu misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah nampaknya mengandung arti yg lebih kompre¬hensif dlm memaknai pendidikan Islam, baik vertikal maupun hori¬zontal. Prosesnya merujuk pada pemeliharaan & pengembangan seluruh potensi (fitrah) akseptor didik, baik jasmaniah maupun rohaniah. Misi pendidikan Islam menitik-beratkan pada tujuan penghambaan & kekhalifahan manusia, yakni hubungan pemeliharaan manusia kepada makhluk Allah lainnya, selaku perwujudan tanggung jawabnya selaku khalifah di tampang bumi, serta kekerabatan timbal balik antara insan dgn alam sekitarnya dengan-cara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan HAMKA tarbiyah mengandung makna:

  1. Menjaga & memelihara per-tanaman fitrah (potensi) akseptor didik untuk mencapai kedewasaan.
  2. Mengembangkan seluruh kesempatanyg dimilikinya, dgn berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal & budinya).
  3. Mengarahkan seluruh peluangyg dimiliki akseptor didik menuju kebaikan & kesempurnaan seoptimal mungkin.
  4. Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan dengan-cara sedikit demi sedikit sesuai dgn irama pertumbuhan diri akseptor didik.

HAMKA membedakan makna pendidi-kan & pengajaran. Menurutnya, pen-didikan Islam merupakan serangkaian upaya yg dikerjakan pendidik untuk membantu membentuk watak, budi, moral, & kepribadian akseptor didik, sehingga ia tahu membedakan mana yg baik & mana yg jelek. Sementara pengajaran Islam yaitu upaya untuk mengisi intelektual akseptor didik dgn sejumlah ilmu pengetahuan.

Dalam mendefinisikan pendidikan & pengajaran, ia cuma membedakan makna pengajaran & pendidikan pada pengertian kata. Akan tetapi dengan-cara esensial ia tak membedakannya. Kedua kata tersebut (pendidikan & pengajaran) merupakan suatu sistem yg saling berkelindan. Setiap proses pendidikan, di dalamnya terdapat proses pengajaran. Keduanya saling melengkapi antara satu dgn yg lain, dlm rangka meraih tujuan yg sama. Tujuan & misi pendidikan akan tercapai lewat proses pengajaran. Demikian pula sebaliknya, proses pengajaran tak akan banyak mempunyai arti jika tak dibarengi dgn proses pendidikan. Dengan pertautan kedua proses ini, manusia akan memperoleh kemuliaan hidup, baik di dunia maupun di alam baka.

  Pemahaman Ketahanan Nasional

Bila dilihat dr dataran filsafat, batas-batas definisi pendidikan Islam yg dikemukakannya dapat dipandang selaku ontologi pendidikan Islam. Definisi di atas merupakan salah satu titik perbedaan pendapatnya dgn batasan pendidikan dewasa ini yg mendikotomikan kedua ungkapan tersebut dengan-cara parsial. Ia menjajal membangun proses pengajaran & pendidikan dlm sebuah konstruksi yg integral. Dalam pandangannya, proses pendidikan tak hanya berorientasi pada hal-hat yg bersifat material belaka. Pendekatan yg demikian itu tak akan dapat menenteng insan pada kepuasan batin (rohani). Pendidikan yg baik adalah pendidikan yg dapat mengintegralkan peluangfitrah-Nya yg tinggi dgn potensi akal asumsi, perasaan & sifat-sifat kemanusiaannya yg lain dengan-cara serasi & sebanding.

Melalui integrasi kedua komponen potensi tersebut, maka akseptor didik akan mampu mengenali belakang layar yg tertulis (Al-Qur’an & Hadis) & fenomena alam semesta yg tak tertulis (QS. Faathir: 28). Melalui pendekatan ini manusia (akseptor didik) akan mampu menyelisik diam-diam keagungan & kebesaran-Nya, sekaligus untuk memper-tebal keimanannya pada Allah. Namun demikian, pendidikan bukan mempunyai arti hanya berorientasi pada hal-hal yg bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh, insan pula memerlukan pendidikan yg bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut, manusia akan mampu melaksanakan peran & fungsinya di paras bumi ini dgn sebaik mungkin.

Di sini ia memaknai insan sebagai khalifah fi al-ardh sebagai makhluk yg telah diberikan Allah potensi akal sebagai sarana untuk mengenali aturan-Nya, me-nyingkap diam-diam alam & meman-faatkannya bagi kemaslahatan umat manusia.

Menurut HAMKA, melalui akalnya manusia mampu membuat peradabannya dgn lebih baik. Fenomena ini mampu dilihat dr sejarah manusia di tampang bumi. Disamping itu, fungsi pendidikan bukan saja selaku proses pengembangan intelektual & kepribadian peserta didik, akan tetapi pula proses sosialisasi peserta didik dgn lingkungan di mana ia berada. Secara inheren, pendidikan merupakan proses penanaman nilai-nilai keleluasaan & kemerdekaan pada akseptor didik untuk menyatakan asumsi serta menyebarkan totalitas dirinya. Dengan kata lain pendidikan (Islam) merupakan proses transmisi fatwa Islam dr generasi ke generasi selanjutnya. Proses tersebut melibatkan tak saja faktor kognitif pengetahuan ihwal aliran Islam, tetapi pula faktor afektif & psiko¬motorik (menyangkut bagaimana sikap & pengamalan ajaran Islam dengan-cara kaffah).

  Cara Mudah Mengatasi Error Instalasi Aplikasi Dapodik Versi 2023c

HAMKA menekankan pentingnya pendidikan jasmani & rohani (jiwa yg diwarnai oleh roh agama & dinamika intelektual) yg sepadan. Integralitas kedua faktor tersebut akan menolong keseimbangan & kesempurnaan fitrah akseptor didik. Hal ini disebabkan karena esensi pendidikan Islam berusaha melatih perasaan penerima didik sesuai dgn fitrah-Nya yg dianugrehkan pada setiap insan, se¬hingga akan tercermin dlm perilaku hidup, tindakan, keputusan & pendekatan mereka kepada semua jenis & bentuk pengetahuan dipengaruhi nilai-nilai ajaran Islam.

Menurut HAMKA, untuk membentuk akseptor didik yg memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian untuk diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian, dlm dataran operasional prosesnya tak ha¬nya dilaksanakan sebatas transfer of knowledge, akan namun jauh lebih penting yaitu bagaimana ilmu yg mereka dapatkan mampu membuahkan suatu perilaku yg baik (moral al-karimah), sesuai dgn pesan nilai ilmu yg dimilikinya. Lembaga pendidikan agama yg tak bisa membina & membentuk penerima didik berkepribadian paripuma, samalah kedudukannya dgn lembaga pendidikan umum yg sama sekali tak mengajarkan agama, sebagaimana yg dikembangkan pada lembaga pen¬didikan kolonial. Hal ini disebabkan, karena dengan-cara epistemologi, pada dasarnya ilmu pengetahuan mempunyai nilai murni yg bermuara pada aliran Islam yg hanif. Pandangannya di atas merupakan kritik kepada proses pendidikan umat Islam waktu itu. Di mana banyak forum pendidikan yg mengajar¬kan agama, akan namun tak bisa ‘mendidikkan’ agama pada langsung akseptor didiknya. Akibat proses yg demikian, mereka memang sukses melahirkan out put yg memiliki pengetahuan keagamaan yg luas, & fasih berbahasa Arab, akan tetapi memiliki budi pekerti yg masih rendah.

Referensi: Nizar, Samsul. 2008. Memperbincangkan Dinamika Intelektual & Pemikiran HAMKA perihal Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Grip Jakarta.