Teori Perkembangan yang Sering Menjadi Acuan dalam Bidang Pendidikan

Teori Perkembangan yg Sering Menjadi Acuan dlm Bidang Pendidikan Teori Perkembangan yg Sering Menjadi Acuan dlm Bidang Pendidikan

Ada banyak sekali teori kemajuan. Pada goresan pena ini akan dibahas beberapa teori yg sering menjadi teladan dlm bidang pendidikan, yakni teori yg termasuk teori menyeluruh/global (Rousseau, Stanley Hall, Havigurst), & teori yg termasuk khusus/spesifik (Piaget, Kohlbergf, Erikson).

    Nana Saodih Sukmadinata (2009) menguraikannya sebagai berikut:

    A. Jean Jacques Rousseau

    Jean Jacques Rousseau merupakan ahli pendidikan beraliran liberal yg menjadi pendorong pembelajaran discovery. Rousseau mulai mendakan kajian pada 1800an. Menurutn Rousseau, kemajuan anak terbagi menjadi empat tahap, yaitu:

    1) Masa bayi infancy (0-2 tahun), usia antara 0-2 tahun yakni masa kemajuan fisik. Kecepatan pertumbuhan fisik lebih lebih banyak didominasi dibandingkan perkembangan faktor lain, sehingga anak disebut sebagai binatang yg sehat;

    2) Masa anak/childhood (2-12 tahun), disebut pula masa kemajuan sebagai manusia primitif. Kecuali masih terjadi pertumbuhan fisik dengan-cara pesat, faktor lain sebagai insan pula mulai berkembang, contohnya kemampuan mengatakan, berfikir, intelektual, moral, dll;

    3) Masa remaja permulaan/pubescence (12-15 tahun), disebut masa remaja awal/pubescence, ditandai dgn pertumbuhan pesat intelektual & kemampuan bernalar pula disebut masa bertualang;

    4) Masa remaja/adolescence (15-25 tahun). Pada masa ini tejadi pertumbuhan pesat aspek seksual, social, moral, & nurani, pula disebut masa hidup selaku manusia beradab.

    B. Stanley Hall

    Stanley Hall, seorang psikolog dr Amerika Serikat, merupakan salah satu perintis kajian ilmiah tentang siklus hidup (life span) yg berteori bahwa perubahan menuju dewasa terjadi dlm sekuens (urutan) yg universal potongan dr proses evolusi, parallel dgn pertumbuhan psikologis, namun demikian, faktor lingkungan mampu mensugesti cepat lambatnya perubahan tersebut. Misalnya, usia enam tahun ialah usia masuk sekolah di lingkungan tertentu, tetapi ada yg mengawali sekolah pada usia lebih lambat di lingkungan yg lain. Konsekuensinya, irama pertumbuhan anak di kedua lingkungan tersebut mampu berbeda.

    Stanley Hall membagi masa pertumbuhan menjadi empat tahap, yakni:

    1) Masa kanak-kanak/infancy (0-4 tahun). Pada usia-usia ini, kemajuan anak disamakan dgn hewan, yakni melata atau berjalan;

    2) Masa anak/childhood (4-8 tahun). Masa ini disebut masa pemburu, anak haus akan pengertian lingkungannya, sehingga akan berburu kemanapun, mempelajari lingkungan sekitarnya;

    3) Masa puber/youth 8-12 tahun). Pada masa ini anak tumbuh & meningkat tetapi sebhagai makhluk yg belum beradab. Banyak hal yg masih mesti dipelajari untuk menjadi makhluk yg beradab di lingkungannya, mirip yangt berkaitan dgn sosial, emosi, moral, intelektual;

    4) Masa remaja/adolescence (12 – remaja). Pada masa ini, anak mestinya sudah menjadi insan beradab yg dapat mengikuti keadaan dgn lingkungan & dunia yg senantiasa berganti.

    Perspektif life span mirip yg dipelopori oleh Stanley Hall dkk., dapat dibuktikan pada tahap masa remaja hingga dewasa. Misalnya, pada masyarakat tertentu yg masih terbelakang, anak justru cepat menjadi remaja. Karena pendidikan cuma tersedia sampai sekolah dasar, masayrakat condong mulai melakukan pekerjaan & berkeluarga dlm usia muda. Sebaliknya, pada penduduk yg semua warganegaranya meraih pendidikan tinggi, belum dewasa menjadi akil balig cukup akal pada usia yg lebih lanjut.

      Hierarchical Clustering Untuk Aplikasi Automated Text Integration

    C. Robert J. Havigurst

    Robert J. Havigurst dr Universitas Chicago mulai membuatkan rancangan developmental task (peran kemajuan) pada tahun 1940an, yg memadukan antara dorongan tumbuh/berkembang sesuai dgn kecepatan pertumbuhannya denga tantangan & peluang yg diberikan oleh lingkungannya. Havigurst menyusun tahap-tahap kemajuan menjadi lima tahap menurut problema yg mesti dipecahkan dlm setiap fase, yaitu: 1) Masa bayi/infancy (0 – ½ tahun); 2) Masa anak awal/early childhood (2/3 – 5/7 tahun); 3) Masa anak/late childhood (5/7 tahun – pubesen); 4) Masa adolesense permulaan/early adolescence (pubesen – pubertas); 5) Masa adolescence/late adolescence (pubertas – remaja).

    Menurut teori ini, dlm kemajuan, anak melewati delapan tahap perkembangan (developmental stages). Ada sepuluh peran kemajuan yg harus dikuasai anak pada setiap fase, yaitu: 1) Ketergantungan – kemandirian; 2) Memberi – menerima kasih sayang; 3) Hubungan social; 4) Perkembangan kata hati; 5) Peran biososio & psikologis; 6) Penyesuaian dgn pergantian tubuh; 7) Penguasaan pergantian badan & motoric; 8) Memahai & mengendalikan lingkungan fisik; 9) Pengembangan kesanggupan konseptual & tata cara simbol; 10) Kemampuan melihat relasi dgn alam semesta.

    Dikuasai atau tidaknya tugas kemajuan pada setiap fase akan menghipnotis penguasaan tugas-peran pada fase selanjutnya.

    D. Jean Piaget

    Jean Piaget latar belakangnya yakni pakar biologi dr Swiss yg hidup pada tahun 1897 hingga tahun 1980 (Harre & Lamb), 1988). Teori-teorinya dikembangkan dr hasil observasi terhadap tiga orang anak kandungnya sendiri, pada umumnya berdasarkan hasil observasi pembicaraanya dgn anak atau antar bawah umur sendiri. Piaget lebih memfokuskan kajiannya dlm aspek kemajuan kognitif anak & mengelompokkannya dlm empat tahap, yakni:

    1)Tahap sensorimotorik (0-2 tahun). Tahap ini pula disebut masa discriminating & labeling. Pada masa ini kesanggupan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa permulaan, & ruang waktu kini saja.

    2)Tahap praoperasional (2-4 ahun). Pada tahap praoperasional, atau prakonseptual, atau disebut pula dgn masa intuitif, anak mulai berbagi kesanggupan mendapatkan stimulus dengan-cara terbatas. Kemampuan bahasa mulai meningkat , pemikiran masih statis, belum dapat berfikir absurd, & kemampuan pandangan waktu & ruang masih terbatas.

    3)Tahap operasional konkrit (7-11 tahun). Tahap ini pula disebut masa performing operation. Pada masa ini, anak sudah mampu menuntaskan tugas-peran memadukan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, & membagi.

    4)Tahap operasonal formal (11-15 tahun). Tahap ini pula disebut masa proportional thinking. Pada masa ini, anak sudah bisa berfikir tingkat tinggi, mirip berfikir dengan-cara deduktif, induktif, menganalisis, mensintesis, mampu berfikir dengan-cara abstrak & dengan-cara reflektif, serta bisa memecahkan berbagai problem.

    E. Lawrence Kohlberg

    Mengacu pada teori kemajuan Piaget yg berkonsentrasi pada perkembangan kognitif, Kohlberg lebih berfokus pada kognitif moral atau moral reasoning. Kemampuan kognitif moral seseorang dapat diukur dgn menghadapkannya dgn dilemna moral hipotesis yg terkait dgn kebenaran, keadilan, pertentangan terkait aturan & keharusan moral.

    Menurut Kohlberg, kemajuan moral kognitif anak terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:

    1. Preconventional moral reasoning, yaitu:

    a) Obidience and paunisment orientation. Pada tahap ini, orientasi anak masih pada konsekuensi fisik dr perbuatan benar – salahnya, yaitu eksekusi & kepatuhan. Mereka hormat pada penguasa, penguasalah yg memutuskan aturan/undang-undang, mereka berbuat benar untuk menyingkir dari eksekusi;

      Makalah Bahasa Inggris

    b) Naively egoistic orientation. Pada tahap ini, anak beorientasi pada instrument relative. Perbuatan benar ialah tindakan yg dengan-cara instrument membuat puas keinginannya sendiri & (kadang-kadang) pula orang lain. Kepeduliannya pada keadilan/ketidakadilan bersifat pragmatic, yaitu apakah mendatangkan laba atau tidak.

    2. Conventional moral reasoning, yaitu:

    a) Good boy orientation. Pada tahap ini, orientasi tindakan yg baik ialah yg menyenangkan, menolong, atau diepakati oleh orang lain. Orientasi ini pula disebut good/nice boy orientation. Anak patuh pada abjad tertentu yg dianggap alami, cenderung mengembangkan niat baik, menjadi anak baik, saling berafiliasi baik, peduli kepada orang lain;

    b) Authority and social order maintenance orientation. Pada tahap ini, orientasi anak adalah pada aturan & hukum. Anak menilai perlunya mempertahankan ketertiban, memenuhi kewajiban & peran biasa , mencegah terjadinya kesemrawutan sistem. Hukum & perintah penguasa yaitu mutlak & final, pemfokusan pada keharusan & peran terkait dgn kiprahnya yg diterima di penduduk & publik.

    3. Post conventional moral reasoning, yakni:

    a) Contranctual legalistic orientation. Pada tahap ini, orientasi anak pada legalitas kesepakatan social. Anak mulai peduli pada hak azasi individu, & yg baik yakni yg disepakati oleh mayoritas masyarakat. Anak menyadari bahwa nilai (benar/salah, baik/jelek, suka/tidak senang, dll) adalah relatif, menyadari bahwa hukum adalah intrumen yg disetujui untuk mengontrol kehidupan penduduk , & itu mampu diubha lewat diskusi apabila hukum gagal mengetur masyarakat;

    b) Conscience or principle orientation. Pada tahap ini, orientasi ialah pada prinsip-prinsip etika yg bersifat universal. Benar-salah mesti diadaptasi dgn tuntutan prinsip-prinsip etika yg bersifat ini sari dr etika universal. Aturan hukum legal mesti dipisahkan dr aturan moral. Masing-masing (hukum legal & moral) mesti diakui terpisah, masing-masing mempunyai penerapannya sendiri, tetapi tetap mengacu pada nilai-nilai etika/moral.

    F. Erick Homburger Erickson

    Erickson merupakan salah seorang tokoh psikoanalisis pengikut Sigmund Freud. ia memusatkan kajiannya pada kemajuan psikososial anak. Menurut Erickson (dalam Harre & Lamb, 1988), dlm pertumbuhan, anak melewati delapan tahap pertumbuhan (developmental stages), disebut siklus kehidupan (life cycle) yg ditandai dgn adanya krisis psikososial tertentu. Teori Erickson ini dengan-cara luas banyak diterima, lantaran menggambarkan perkembangan manuasia meliputi seluruh siklus kehidupan & mengakui adanya interaksi antara individu dgn konteks sosial. Kedelapan tahap tersebut digambarkan pada table di bawah ini.

    Teori Perkembangan yg Sering Menjadi Acuan dlm Bidang Pendidikan Teori Perkembangan yg Sering Menjadi Acuan dlm Bidang Pendidikan

    Pada tahap basic trust vs mistrust (infancy – bayi), anak gres mulai mengenal dunia, perhatian anak ialah mencari rasa aman & nyaman. Lingkungan & sosok yg bisa menyediakan rasa tenteram/kondusif itulah yg diandalkan oleh anak, sebalinya, yg membuat sebaliknya, condong tak dipercaya. Rasa aman & nyaman ini terkait dgn kebutuhan utama mirip makan, minum, pakaian, kasih sayang. Sosok ibu atau pengasuh biasanya sangat dipercaya lantaran setiap menghadirkan kenyamanan. Sedangkan orang yg dianggap aneh akan ditolaknya.

    Pada tahap autonomy vs shame and doubt (toddler – masa bermain), anak tak ingin sepenuhnya tergantung pada orang lain. Anak mulai mempunyai harapan & kemauan sendiri. Dalam masa ini, orangtua perlu menawarkan keleluasaan yg terkendali, lantaran apabila anak terlalu dikendalikan/didikte, pada diri anak mampu tumbuh rasa selalu was-was, tidak yakin, kecewa.

      Urgensi Pendidikan Abjad (2)

    Pada tahap Initiative vs guilt (preschool – prasekolah), pada diri anak mulai berkembang inisiatif yg perlu difasilitasi, didorong, & dibimbing oleh orang sampaumur disekitarnya. Anak mulai bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Berbagai aktifitas fisik seperti bermain, berlari, lompat, banyak dikerjakan. Kurangnya dukungan dr lingkungan, misalnya terlalu dikendalikan, kurangnya fasilitas, sehingga inisiatifnya menjadi terkendala, pada diri anak akan timbul rasa kecewa & bersalah.

    Pada tahap ini, industry vs inferiority (schoolage – masa sekolah), anak condong luar biasa sibuk melakukan banyak sekali aktifitas yg diharapkan mempunyai hasil dlm waktu erat. Keberhasilan dlm aktifitas ini akan membuat anak merasa puas & gembira. Sebaliknya, jika gagal, anak akan merasa rendah diri. Oleh lantaran itu, anak membutuhkan bimbngan & fasilitasi semoga tak gagal & setiap aktifitasnya.

    Pada tahap identity vs role confusion (asolescence – remaja), anak dihadapkan pada kondisi pencarian identittas diri. Jatidiri ini akan akan kuat besar pada masa depannya. Pengaruh lingkungan sangat penting. Lingkungan yg baik akan menjadikan anak memiliki jati diri sebagai orang baik, sebaliknya lingkunganh yg tak baik anak membawanya menjadi eksklusif yg kurang baik. Orang renta harus menjamin bahwa anak berada dlm lingkungan yg baik, sehingga hal-hal yg tak diharapkan tak terjadi, contohnya menjadi anggota geng anak bandel, anak jalanan, pemabuk, narkoba, dll., yaitu disebabkan lantaran anak keliru dlm membangun identitas diri.

    Pada tahap intimacy vs isolation (young adulthood – remaja permulaan), anak mulai menyadari bahwa meskipun dlm banyak hal memerlukan komunikasi dgn masyarakat & sobat sebaya, dlm hal-hal tertentu, ada yg memang harus bersifat privat. Ada hal-hal yg cuma dibicarakan dgn orang tertentu, ada orang tertentu kawasan mencurahkan isi hati, memerlukan orang yg lebih dekat dengan-cara eksklusif, tergolong pasangan lawan jenis. Kegagalan pada tahap ini mampu menimbulkan anak merasa terisolasi di kehidupan penduduk .

    Tahap generativity vs stagnation (middle adulthood – akil balig cukup akal tengah-tengan) menandai hadirnya rasa tanggungjawab atas generasi yg akan tiba. Bentuk kepedulian ini tak cuma dlm bentuk peran selaku orangtua, tetapi pula perhatian & kepeduliannya pada anak-anak yg merupakan generasi penerus. Ada rasa was-was akan generasi penerusnya (keturunannya), seperti apakah mereka nanti, bahagiakah, tercukupi kebutuhannyakah? Atau akan stagnan, bertenti sama sekali.

    Tahap ini, ego integrity vs despair (later adulthood – sampaumur final), adalah tahap selesai dr siklus kehidupan. Individu akan melaksanakan introspeksi, mereview kembali perjalanan kehidupan yg telah dilalui dr hari ke hari, dr tahun ke tahun, dr karier satu ke karier yang lain. Yang paling diperlukan adalah jika tak ada penyesalan.

    Daftar Pustaka

    Clark, b. (1984). Growing Up Gifted. Boston, MA: Prentice Hall.

    Harre, R. and Lamb, R. (eds). (1988). The encyclopedic Dictionary of Psychology. Cambridge, MA: MIT Press.12.

    Sugiman, Sumardiyono, Marfuah (2016). Guru Pembelajar: Modul Matematika SMP – Karakteristik Siswa. Jakarta: Dtjen Guru Dan Tenaga Kependidikan.

    Sukmadinata, N. S. (2009). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Sunardi & Imam Sujadi (2016). Sumber Belajar Penunjang PLPG 2016 (Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Direktorat Jenderal Guru & Tenaga Kependidikan 2016).