Ia yang Bertemu Malaikat | Cerpen Guntur Alam

Mulanya, laki-laki itu tak hendak menterakan kisahnya ini. Cerita ihwal ia yg pernah bertemu dgn malaikat pada satu pagi lembab. Duganya, orang-orang akan sepakat memberi ia cap gila, lalu lamat-lamat orang sekampung akan mengucilkan anak bininya pula. Hal itulah yg menciptakan lelaki itu berpengaruh mendekap mulutnya. Akan tetapi, makin lama ia menyimpan kisah itu, kian tak berpengaruh ia mengunci mulutnya. Lidahnya terasa mirip seekor ular yg melata, menggeliat-geliat, memaksanya membuka ekspresi. Hingga, ia pun tak kuasa, & dongeng itu bergulir begitu saja tanpa mampu ia tahan.

Beruntungnya, gue menjadi orang pertama yg mendengar kisah itu, & kau yg menyimak yakni orang kedua. Pada diriku, laki-laki yg bertemu malaikat itu berpesan: Janganlah gue mengisahkan cerita ini pada siapa saja, tersebab ia takut orang-orang akan menyampaikan ia gila & jiran kiri-kanan pun karib-kerabat akan mengucilkan anak-bininya. Aku pun mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi, lepas gerimis turun petang tadi, lelaki itu menyambangiku, tiba-tiba saja ia memintaku untuk menceritakan kisah ini padamu. Aku berkrenyit. Lelaki itu berujar: Aku tak sanggup untuk menyimpannya sendiri, pun kuyakin dirimu. Atas permintaannya itulah, gue menguraikan dongeng ini padamu.

Beginilah ceritanya.

Di pagi lembab pada bilangan bulan yg senantiasa kuyup oleh rinai hujan, lelaki itu berjumpa dgn malaikat. Pada awalnya, lelaki itu tak tahu bila orang yg ia temui itu yaitu malaikat. Rupanya mirip halnya manusia yang lain, tak ada pembeda sedikit pun. Hanya saja, laki-laki itu merasa, wajah orang yg ia temui itu begitu berkilau. Ah, tak terasa sungguh lezat untuk dilihat lama-usang.

Pagi itu, mirip biasa, laki-laki yg mengangkat dirinya sendiri menjadi tukang bersih-higienis masjid di samping rumahnya itu, sudah ada di masjid sebelum azan subuh berkumandang. Tak ada sesiapa – & memang lebih sering tak ada siapa-siapa, tatkala ia datang. Masjid masih pekat, apalagi rintik gerimis masih saja asyik berkejaran ke paras tanah. Tentu waktu mirip itu, orang-orang akan lebih memilih untuk mempesona selimut bahkan memperbesar ketebalannya.

Lelaki itu menyalakan lampu masjid, berjalan menuju lemari yg menyimpan tape recorder, merogoh saku bajunya, mengeluarkan kunci, & memutar kunci lemari. Ia menawan kabel tape & menyambungkan dgn colokan listrik. Tak lama, pelan-pelan terdengar suara orang mengaji mengudara dr corong toa renta yg ada di atas wuwungan masjid. Seperti itulah, mirip pagi yg sudah-sudah. Kemudian, laki-laki itu akan berwudhu, duduk diam sembari berzikir diatas sajadah, sesekali matanya akan melirik jarum jam yg berlangsung pelan. Bila jarum jam itu sudah berjumpa menit yg ia tunggu, laki-laki itu akan mematikan tape & mengubahnya dgn suara seraknya, mengajak orang-orang untuk ke masjid, setelah itu ia akan mengumandang azan. Begitulah. Dan senantiasa begitu.

  Kolak | Cerpen Teguh Affandi

Aku pun kerap mendengar bunyi serak laki-laki itu di subuh buta yg mengudara & menerobos mimpi-mimpiku. Aku memang menyalangkan mata bila mendengar suaranya, tetapi setelah itu gue lebih kerap melanjutkan mimpi yg terbuyar. Entah, rasanya sungguh berat untuk terjaga di subuh seingusan itu, terlebih bila menyentuh air. Walau sesekali, gue pun akan datang, itu pun bila lelaki itu sudah berkali-kali bercerita padaku betapa ia selalu tidak memiliki kawan untuk berjamaah Subuh.

Nah, pada subuh yg lembab itu, ia berjumpa dgn malaikat. Tepatnya seseorang yg ia duga malaikat. Setelah azan berkumandang lima menit yg lalu, lelaki itu masih saja menunggu, bila-jika ada seseorang yg tiba di bawah gerimis. Sayangnya, tak seorang pun yg tiba. Hingga lelaki itu memutuskan untuk sembahyang sendiri.

Lepas ia bertakbir & mulai mengeja al-Fatihah, seseorang menepuk pundaknya. Mafhumlah ia, seorang makmum sudah ada di sampingnya.

“Usai sembayang, gue menyaksikan rupanya. Ia laki-laki yg rupawan, berjenggot tipis, dgn baju putih bersih, wajahnya berkilau, bibirnya basah oleh zikir yg tak henti dilafaz,” lelaki itu menerawang, seperti tengah menggambarkan wajah malaikat yg menjadi makmumnya Subuh itu. Aku berjinjit mendengarnya. Tidakkah itu terasa ganjil?

“Hampir setengah jam, lelaki itu duduk di sajadahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit. Ah, betapa gue takjub melihatnya.” Lagi, laki-laki itu menerawang & gue menjadi ikut-ikutan membayangkan rupa seseorang yg ia duga malaikat itu.

“Lalu, apa yg ia bicarakan? Apakah Mas bercakap-piawai dengannya?” mendadak saja, gue begitu penasaran dgn ceritanya.

“Ya, kami bercerita sebentar. Karena gue tak pernah menyaksikan rupanya, tentu hal yg pertama kutanya ialah asalnya. Dan ia menjawab, ia orang baru di sini. Baru dua hari pindah, menyewa sepetak kamar di salah satu kos-kosan di kompleks kita. Ia bilang dr Sumatera. Mendengar itu, pastinya gue tahu tak akan mampu mengajaknya ngobrol dgn bahasa Jawa.”

  Dalam Kardus Pukul Dua | Cerpen Diego Alpadani

“Di kosan mana?” gue mengejarnya.

“Entah, gue lupa menanyakan itu, sebab gue sudah terpesona dgn dongeng yg ia uraikan,” kembali mata laki-laki itu menerawang seperti memperoleh hal yg indah di pelupuknya.

“Cerita apa?” gue kian tak mampu menahan diri & menutupi rasa penasaran yg bergumul-gumul dlm dada.

“Ia berkisah wacana taman Firdaus. Taman yg akan diisi oleh orang-orang yg meramaikan masjid di subuh kelam. Ada bidadari-bidadari bermata jeli yg bersuara mendayu lagi penuh rindu. Dan tahukan kau, Id, orang itu menyampaikan, bidadari-bidadari itu paling rindu pada orang yg mengumandangkan azan Subuh. Tentu saja, bidadari-bidadari itu pula sungguh merindukan orang-orang yg berjamaah Subuh di masjid. Ah, tidakkah kamu merasa betapa ceritanya itu luar biasa?” mata laki-laki itu berbinar, sarat nyala jelas & bintang gemintang. Kudukku meremang menyaksikannya.

“Lelaki itu kerap datang dikala subuh & sembahyang berjamaah denganku. Bahkan beberapa hari ini, ia tiba bareng serombongan lelaki lain. Wajah mereka seragam, penuh binar yg aduhai. Janggut tipis, bibir lembap oleh zikir, & tentu saja kesegaran tiba-tiba terasa begitu kental ketika gue duduk di sekeliling mereka. Dan lagi, mereka akan mengisahkan perihal taman Firdaus, para bidadari, & hal-hal indah yg selama ini tertera dlm Quran. Aku senantiasa hanyut dlm kisah mereka.”

Aku senyap, teramat senyap tatkala mendengar dongeng lelaki itu. Entah, gue merasa kudukku begitu meremang mendengar kisah ajaibnya, terlebih tatkala ia mengatakan ini kepadaku.

“Sayang, gue senantiasa kehilangan jejak laki-laki itu & kawan-kawannya dikala keluar masjid. Begitu gue berbalik membenahi tape & mikrofon ke dlm lemari masjid, usai percakapan itu, mereka sudah raib. Gegas sekali mereka pergi. Lantaran rasa penasaran pulalah yg membuatku berulang kali mengitari kompleks kita ini, menyambangi kos para laki-laki, sekadar berbasa-basi sembari mencari tahu di mana lelaki itu menyewa kamar. Entah, gue senantiasa ingin mendengar ceritanya lagi. Tetapi, gue belum jua menemukannya. Nah, tidakkah pantas bila kuduga ia ialah malaikat yg turun ke bumi untuk sembahyang Subuh berjamaah denganku? Meramaikan masjid kompleks kita yg senantiasa saja lengang di pagi & petangnya.”

  Gema Takbir Masih Kudengar | Cerpen Pipiet Senja

Aku tiba-tiba saja merasa baiklah dgn duga laki-laki itu. Mungkin saja benar apa yg ia sangkakan. Bukankah itu terdengar sangat masuk nalar? Malaikat tiba untuk sembahyang Subuh sembari meramaikan masjid besar yg senantiasa lengang di tengah perumahan yg demikian padat ini. Dan secara tiba-tiba saja, gue ingin sekali bertemu dgn malaikat itu. Aku ingin mendengar ceritanya, gue ingin menyaksikan rupanya, gue pun ingin mengajukan pertanyaan banyak hal, khususnya masa depan: Mungkinkah ia tahu siapa jodohku? Nasib karierku? Dan segumpal besar pertanyaan yg melenat-lenat.

“Apakah setiap subuh lelaki itu datang?”

“Iya, hampir setiap subuh, sejak satu purnama ini. Kenapa, Id?” laki-laki itu balik bertanya.

“Aku ingin sekali melihatnya.”

“Kau datanglah subuh nanti, gampang-mudahan saja ia datang & sembahyang berjamaah dgn kita.” Mataku berbinar mendengarnya. Perasaan itu meluap-luap, gue ingin sekali bertemu dgn malaikat itu. Hal itu membuatku tak tabah menunggu subuh yg tiba begitu lambat.

*****

Mungkin, kau pun akan kagetserupa diriku begitu tiba ke masjid subuh ini. Setelah melalui malam yg demikian gusar, gue sungguh gegas bersiap & melesat ke masjid lantaran keinginan untuk bertemu malaikat. Lalu, apa yg kutemui di sana sungguhnya aneh sekali. Masjid begitu ramai. Lelaki, tua muda, berkumpul mirip hendak Jumatan. Kukenal seluruhnya, tetangga kiri-kanan, penghuni kompleks yg ada di blok paling ujung pun datang. Ada apa gerangan?

“Mereka pun hendak bertemu dgn malaikat yg gue ceritakan tadi petang,” itulah tanggapan laki-laki itu tatkala gue menanyakan keajaiban ini.

“Siapa yg menceritakan pada mereka? Sedang gue pun belum sempat mengisahkan kisah Mas pada siapa-siapa,” keningku sungguh berlipat dibuatnya.

“Aku betul-betul tak sanggup menyimpan cerita itu sendiri. Kaprikornus, kuceritakan saja. Ternyata, ketakutanku tak berdasar. Justru, orang-orang ramai tiba untuk sembahyang Subuh berjamaah & pastinya hendak bertemu dgn malaikat.”

Aku melamun, benar-benar diam dibuatnya. Tidakkah gue merasa kisah ini kian ganjil terasa? Mungkinkah lelaki itu tengah mengarang semata agar orang-orang ramai sembayang Subuh berjamaah. Entah, mendadak saja gue sungguh-sungguh menyaksikan segerombolan malaikat tengah berwudhu di luar sana. Mereka tersenyum menyaksikan masjid yg sesak & wajah semringah lelaki yg mengaku telah bertemu malaikat itu. (*)